Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peunajoh timphan, piasan rapai.
Kaya cit than, nyang peunteng na kupi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
(Kudapan timphan, kesenian rapai.
Kaya sudah tak mungkin, yang penting ada kopi.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEPATAH itu menggambarkan kondisi sosial-budaya orang Aceh. Bagi orang Aceh, timphan dan kopi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Di mana ada kedai kopi, di sana lazimnya ada timphan.
Seperti di kedai kopi Solong, Ulee Kareng, Banda Aceh, Rabu, 1 November lalu. Aryos, 41 tahun, pengunjung kedai, memesan kopi robusta yang ditambah gula aren. “Jangan lupa bawa timphan dan bingkang, ya,” kata Aryos meminta kudapan teman minum kopi kepada pramusaji.
Timphan adalah penganan sejenis lepat yang terbuat dari tepung ketan, pisang, dan santan. Sedikit berbeda dengan di kedai-kedai lain, timphan yang disajikan di Solong adalah timphan srikaya. Timphan yang dibungkus daun pisang itu dicampur dengan kuning telur.
“Ini timphan ketan juga, tapi diaduk dengan telur ayam, dicampur srikaya. Makanya tekstur timphan licin. Kalau dimakan terasa renyah,” ujar M. Subhan Nurdinis, pekerja kedai kopi Solong yang akrab disapa Nurdin.
Nurdin sudah bekerja belasan tahun di kedai kopi legendaris yang beroperasi sejak 1974 tersebut. Selama bekerja di kedai itu, ia menjumpai banyak pengunjung yang memesan timphan sebagai kudapan teman minum kopi. “Timphan sudah menjadi kudapan favorit pengunjung,” ujarnya.
Selain menyajikan timphan, kedai Solong menyediakan bingkang alias bikang dan pulut srikaya sebagai kudapan unggulan. Ada beberapa jenis bikang yang menjadi kudapan tradisional Aceh, seperti bikang tepung dan ubi. Nurdin menuturkan, bikang yang disuguhkan di kedai itu adalah bikang tepung. Sebagian besar orang Aceh menyebut bikang sebagai kue adee.
Setiap hari kedai Solong menyajikan timphan, bikang, canai, kue lapis, dan pulut srikaya sebagai kudapan pendamping minum kopi. “Dulu ada juga pisang goreng, tapi timphan, bikang, dan pulut srikaya tetap yang jadi andalan di sini,” ucap Nurdin.
Yusri Yusuf, pelanggan Solong, mengatakan kue yang paling ia sukai di kedai itu adalah canai. Namun sekarang canai sudah jarang ada. Dulu Yusri selalu memesan canai bila mampir ke kedai Solong. “Kadang saya makan di Solong sambil minum kopi. Kadang saya bungkus juga untuk dibawa ke kantor,” kata Yusri, pengajar di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Seusai salat subuh, Yusri kerap singgah di kedai kopi Solong. Bersama sesama anggota jemaah salat subuh, mantan Wakil Rektor Institut Seni Budaya Indonesia Aceh itu sering meminum kopi Solong sembari menikmati kudapan tradisional Aceh. “Solong kan dekat dengan Masjid Besar Ulee Kareng. Selesai salat, kami langsung ke Solong. Namun itu tadi, sekarang sudah jarang terlihat canai. Kalau pulut srikaya masih ada setiap hari,” ujarnya.
Timphan dan kudapan pendamping minum kopi di kedai kopi Solong, Ulee Kareng, Banda Aceh, NAD, 1 November 2023/Herman RN
Kudapan teman minum kopi khas Aceh juga bisa dijumpai di kedai Dekmie/Chek Yuke/Taufiq milik Hilmi. Pria 50 tahun yang biasa dipanggil Dekmie itu mengatakan timphan dan pulut srikaya paling diminati pengunjung. “Kudapan tradisional ini ada sejak lampau, sejak zaman Kerajaan Aceh,” katanya.
Siang itu, terlihat sembilan pria meriung di meja panjang di kedai tersebut. Muhammad Nasir, salah satu pria itu, tampak sedang menikmati pulut srikaya. Sebagai pelanggan tetap kedai Dekmie, Nasir hampir setiap pagi singgah. Menurut dia, pulut srikaya sudah menjadi kudapan umum di setiap kedai kopi di Aceh, khususnya di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Menu lain favorit Nasir adalah boh godok kacang hijau. “Godok kacang hijau di Dekmie ini khas, tidak keras dan tidak terlalu manis,” tutur dosen di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Aceh, itu. Nasir menunjuk sebuah piring kecil yang berisi empat boh godok kacang hijau, kue bulat pipih yang terbuat dari tepung. Di dalamnya terdapat kacang hijau.
Lain halnya dengan Basri, lelaki asal Pidie yang menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala. Ia mengaku lebih menyukai boh rom-rom kalau sedang menikmati kopi di kedai Dekmie. Boh rom-rom adalah makanan khas Aceh yang juga biasa disebut onde-onde.
Berbeda dengan di daerah lain, onde-onde di Aceh terbuat dari tepung ketan yang diremas-remas dengan air hangat, dibikin bulatan-bulatan, lalu bagian dalamnya diberi inti. “Intinya bisa dari gula putih, boleh juga gula merah, tergantung selera,” ucap Basri.
Menurut Basri, dulu kudapan tradisional itu hanya ada pada bulan puasa atau Ramadan. Namun sekarang boh rom-rom menjadi kudapan pendamping kopi yang lazim dijumpai di beberapa kedai kopi.
Tak lama berselang, Nasir, Basri, dan rekan-rekan mereka beranjak dari kedai Dekmie. Di meja kasir, mereka berdiskusi singkat: siapa yang akan membayar? Mudatsir, bagian dari kelompok itu, menyela sambil mengeluarkan selembar uang, “Tenang, masih ada sisa yang kemarin,” ujarnya.
Sudah menjadi kebiasaan mereka jika ada acara minum kopi mentraktir secara bergantian. Hal itu selaras dengan pepatah Aceh: “Meski kaya sudah tak mungkin, minum kopi tetap harus ada sebagai pengikat silaturahmi”.
•••
PADU padan kopi dengan kudapan atau coffee pairing adalah pemadupadanan dan pengharmonisan cita rasa kopi dengan makanan yang mendampinginya. “Misalnya keasaman atau kepahitan kopi dengan kemanisan atau kegurihan kue atau kudapan yang menyertainya,” kata Yuswohady, penulis buku Kedai Kopi di Nusantara: Otentisitas Kedai Kopi Indonesia Mendunia, kepada Tempo di sela acara Indonesia Coffee Summit 2023 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Ahad, 22 Oktober lalu.
Salah satu acara Indonesia Coffee Summit adalah lomba coffee pairing. Menurut Yuswohady, salah satu penggagas acara, lomba itu bertujuan mengedukasi masyarakat mengenai coffee pairing. Setidaknya ada 14 peserta lomba yang menghadirkan kudapan khas Nusantara, dari serabi, pisang goreng, hingga deppa tori—penganan khas Toraja.
“Kreativitas mengkombinasikan kopi dengan kudapan bisa dimunculkan sebagai satu identitas karena setiap daerah mempunyai keunikan masing-masing,” ujar Yuswohady. “Kopi dan kudapannya itu bisa menjadi identitas yang akan menarik wisatawan ke Indonesia sebagai salah satu destinasi wisata.”
Selain di Aceh, kedai-kedai yang menyajikan kudapan khas pendamping minum kopi bisa dijumpai di Pontianak. Salah satunya di Aming Coffee, Jalan Putri Candramidi, Pontianak, Kalimantan Barat. Limin Wong, 40 tahun, membuka kedai kopi itu pada 2002. Kedai itu berawal dari usaha penggilingan kopi milik ayah Limin yang ada sejak 1970-an. Perlahan usaha tersebut menurun, tergerus keberadaan kopi instan.
Limin kemudian membuka warung kopi kecil-kecilan di depan rumah orang tuanya di Jalan Haji Abbas, Pontianak, yang menjadi cikal-bakal Aming Coffee. “Awalnya semua saya tangani sendiri. Saya yang bikin kopi, saya yang racik, saya juga yang menyajikan ke pelanggan,” ucap Limin saat ditemui Tempo di Aming Coffee, Rabu, 1 November lalu.
Aming Coffee mengusung konsep seperti kebanyakan warung kopi warga peranakan Tionghoa di Pontianak, yakni menyuguhkan kopi bubuk, kopi saring, dan kopi susu. Sebagai pendamping minum kopi, kedai ini menghadirkan penganan tradisional Melayu Pontianak dan peranakan Tionghoa.
Salah satunya pisang dengan selai kaya. Selai ini terbuat dari gula, telur, dan santan. Bahan-bahan tersebut dimasak bersamaan, diaduk hingga mengental. Untuk menghilangkan amis dari telur, ditambahkan daun pandan sebagai pewangi alami.
Selai itu disuguhkan dengan pisang goreng khas Pontianak yang menggunakan bahan dari pisang nipah atau pisang kepok. Pelanggan juga dapat meminta roti khas Pontianak dengan olesan selai tersebut.
Aming Coffee juga menyajikan kudapan pendamping kopi lain, yakni chai kue atau choi pan. Penganan ini disuguhkan dengan dua isian: bengkuang dan daun kucai. “Warga peranakan Tionghoa biasanya lebih beragam untuk isian chai kue. Ada isi talas, ada juga kacang hijau yang dibuang kulitnya. Rasanya lebih mengenyangkan,” ujar Limin.
Menu lain yang disuguhkan sebagai pendamping minum kopi adalah bakwan ebi. Rasa asin dari ebi membuat bakwan menjadi gurih. Terlebih bakwan ini juga memadukan cita rasa daun bawang kucai dengan terigu dan saus asam pedas cocol khas Pontianak.
Roti khas Pontianak dengan selai srikaya di Aming Coffee di Jalan Putri Candramidi, Pontianak, Kalimantan Barat, 1 November 2023/Tempo/Aseanty Pahlevi
Meski belakangan Aming Coffee juga menyajikan makanan berat seperti nasi goreng dan kwetiau, Limin tetap menjaga konsep warung kopi (warkop). “Pilihan makanan utama memang tidak sebanyak makanan pendamping kopi karena konsep kami tetap warkop. Warkop tempat orang bercengkerama menikmati kopi dan makanan pendamping,” kata Limin.
Limin juga selalu berupaya menjaga konsistensi rasa kopi dan penganan pendampingnya. Kopi yang digunakan adalah jenis robusta yang dibeli di Sumatera tapi diolah dengan cara semitradisional di Pontianak. Limin masih menggunakan kayu api untuk memanggang kopi.
Vanda Hutapea, 26 tahun, menjadikan Aming Coffee tempat untuk bekerja. Biasanya dia memilih kudapan bakwan ebi dan chai kue isi bawang kucai. Menurut dia, kopi yang disuguhkan Aming Coffee cukup cocok disandingkan dengan kudapan dengan rasa yang cenderung gurih. “Kopi dan camilannya enak. Harganya pas di kantong,” tutur karyawan swasta ini.
Adapun Heriansyah, 42 tahun, menjadikan Aming Coffee tempat bersilaturahmi dengan teman-temannya. Menurut dia, datang ke kedai kopi untuk bersilaturahmi merupakan budaya orang di Kalimantan Barat, khususnya Pontianak. “Setiap Kamis malam ke sini untuk mengobrol dengan teman-teman,” ucapnya.
Menu favorit Heriansyah di kedai tersebut adalah kopi hitam tanpa gula. “Sesuai dengan usia, sih. Jaga agar tidak terlalu banyak konsumsi gula. Makanannya ada singkong goreng Aming dan tahu goreng,” ucapnya.
Dengan mengusung konsep warung kopi, Aming Coffee kini telah mempunyai beberapa cabang di Pontianak. Selain itu, kedai tersebut melebarkan sayap usahanya ke kota-kota lain seperti Singkawang, Sintang, Ketapang, bahkan hingga ke Jakarta. Semua kedai Aming Coffee mempunyai menu kopi dan kudapan khas yang sama.
•••
KUDAPAN pendamping kopi juga tersaji di kedai kopi Nan Yo di kawasan Pondok, Kampung Pecinan, Padang, Sumatera Barat. Pagi itu, Selasa, 31 Oktober lalu, aroma kopi yang sedang diseduh menguar dari arah dapur kedai tersebut, yang hanya dibatasi tembok rendah. Kedai kopi itu hiruk-pikuk sejak pukul 7 pagi. Kapasitas warung yang bisa menampung 40 orang ini hampir selalu penuh setiap pagi.
Beberapa tamu yang sedang menikmati kopi terlihat berasal dari berbagai usia, tapi yang berusia lanjut paling banyak. Di salah satu meja depan, dua lelaki tua tampak asyik berbincang sambil menyantap sate Padang dengan ditemani secangkir kopi robusta sonder ampas. Selain itu, terdapat kudapan ringan seperti pinukuik (kue apam), kue talam, kue susu, kue moci, roti goreng, bika ambon, kue bawang, lumpia, risoles, bakwan, pastel, dan telur asin. Semuanya terbungkus dalam kantong plastik.
“Ini kue sudah lama sekali, saya suka kue pinukuik ini. Untuk kue dan kopi, saya enggak suka yang rasanya macam-macam,” kata Indra, 65 tahun, pengunjung kedai Nan Yo, kepada Tempo. “Selera saya masih seperti dulu.”
Sejak 1995, Indra kerap singgah di kedai kopi Nan Yo, yang saat itu masih dikelola ayah Victor Bostani, pengelola saat ini. Pada usia saat ini, Indra lebih suka bersantai sambil menyantap sate Padang, menyeruput kopi hangat, dan menutupnya dengan dua kue pinukuik. “Rasa kopi dan kue pinukuik-nya tidak berubah sejak dulu,” ujarnya.
Kedai kopi Nan Yo milik Than Tek Tjiaw ini berdiri pada 1932. Victor Bostani, 45 tahun, adalah generasi ketiga. Dia kini mengelola kopi bersama istrinya, Linda. Mereka berdua sama-sama melayani tamu—bahkan terlihat akrab. “Dulu engkong saya yang membuka kedai kopi ini saat muda. Yang dijual ya hanya kopi. Ini tempat orang minum kopi. Dulu kawasan ini adalah pusat kota yang ramai,” tutur Victor.
Sejak dulu kopi yang diolah di kedai ini berasal dari jenis robusta yang tumbuh di Sumatera Barat. Biji kopi mentah dibeli dari petani, kemudian dipanggang dan digiling sendiri oleh paman Victor.
“Pelanggan yang datang juga berbaur dari berbagai etnis, Cina dan Minang. Kebanyakan pelanggan lama, saat mereka remaja sudah ngopi di tempat ini,” ujar Victor.
Victor mengatakan kedainya hanya menjual kopi. Semua kudapan yang ada di meja kedai Nan Yo adalah titipan pembuat kue. Sejak dulu, kudapan seperti pinukuik, kue talam, kue moci, roti goreng, bika ambon, kue bawang, lumpia, dan risoles disuplai oleh para pembuat kue. “Dulu pernah ada kacang tojin, rakik maco (peyek khas Padang), tapi sekarang pedagangnya enggak datang lagi,” tutur Victor.
Pinukuik menjadi kudapan terlaris. Menurut Victor, kopi robusta yang menjadi ciri khas kedainya begitu cocok disandingkan dengan penganan tradisional. Kadang ada pula pengunjung yang memadukan kopi bikinannya dengan telur asin. Secangkir kopi hitam panas yang disebut kopi O dihargai Rp 15 ribu, sementara harga penganan kecil di atas meja Rp 4.000-8.000.
Rizky Arya, pemilik kedai kopi anak muda Hey Jude di kawasan Universitas Negeri Padang, mengaku menjadi pelanggan Nan Yo sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas, sekitar 2009. Biasanya dia memesan menu sarapan seperti mi ayam. Setelah itu, dia memesan kopi robusta racikan Victor sambil menyantap sepotong kue pinukuik atau kue susu. “Ini dua macam kue yang ada dari dulu sejak saya ke sini. Bedanya kue susunya dulu seperti es krim, sekarang jadi bulat,” ucap Rizky.
•••
DI Yogyakarta, salah satu kedai kopi yang menyuguhkan kudapan khas adalah Kopi Klotok. Pagi itu, Rabu, 1 November lalu, kedai kopi di Jalan Kaliurang Kilometer 16, Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, tersebut cukup ramai pengunjung.
Sunandar, 45 tahun, duduk seorang diri di meja kayu bundar di teras belakang kedai Kopi Klotok. Dua piring bekas isi pisang goreng sudah tandas, seperti gelas kopi klotok-nya yang tinggal endapan ampas.
Pagi itu, Sunandar baru saja meriung bersama rombongan wisatawan asal Malaysia di warung Kopi Klotok. Pemandu wisata asal Lumajang, Jawa Timur, yang menetap di Yogyakarta itu selalu mengantar tamu-tamunya ke lokasi sajian kuliner khas Yogyakarta. Salah satunya Kopi Klotok.
Di kedai itu, dia selalu memesan kopi klotok hitam dengan sepiring pisang goreng yang menjadi kudapan pendamping. “Rasa manis terasa langsung dari pisangnya. Cocok sama kopinya. Dan ini khas di sini,” kata Sunandar.
Pisang goreng khas warung Kopi Klotok juga menjadi alasan Eka Widyastuti, 38 tahun, mengajak keluarga kecilnya ke sana. Sembari mengambil santapan sarapan berupa nasi sayur lodeh, tempe garit goreng, dan telur dadar krispi, dia memesan kopi klotok campur susu dan sepiring pisang goreng. “Pisang gorengnya nikmat,” tutur karyawan lembaga keuangan dari Karanganyar, Jawa Tengah, itu lalu menggigit pisangnya. Dari bagian pinggir yang berupa lelehan tepung yang digoreng garing, muncul bunyi “kresss” saat digigit.
Nirwan Pandjaitan, 43 tahun, mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada asal Medan yang tengah merampungkan disertasinya, berbeda. Menurut dia, kudapan pisang goreng yang menjadi teman segelas kopi adalah santapan biasa. Santapan tersebut juga bisa dijumpainya di tempat asalnya. “Kalau nongkrong di warmindo (warung Indomie), pesan kopi ya temannya gorengan. Ada pisang, tempe, bakwan,” ucap Nirwan. “Tapi memang pisang goreng di sini empuk.”
Manajer Kopi Klotok, Prita Damayanti, mengatakan penyajian pisang goreng sebagai kudapan pendamping minum kopi memang bisa dijumpai di mana pun. “Orang zaman dulu kalau minum kopi kan temannya pisang goreng,” kata Prita.
Namun, untuk menghasilkan pisang goreng yang secara rasa berbeda dengan pisang goreng lain, warung Kopi Klotok memilih jenis pisang khusus, yakni kepok kuning. Pisang ini punya tekstur lembut dan berwarna kuning saat matang. “Dan kami sudah tes beragam pisang, ya. Yang cocok cuma kepok kuning,” ujar Prita.
Dalam sehari, sekitar 200 sisir pisang habis digoreng dari pagi hingga malam. Khusus pada akhir pekan, jumlah pisang yang disajikan bisa dua kali lipat hari biasa. Pisang-pisang itu didatangkan dari beberapa pemasok, seperti dari Kulon Progo dan Sleman di Yogyakarta serta Magelang, Jawa Tengah.
Kopi Klotok membatasi jumlah pesanan pisang goreng lantaran kedai itu buka sejak pukul 07.00 hingga 21.30. Jumlah porsi pisang goreng disesuaikan dengan jumlah pemesannya, setidaknya satu orang per porsi. Satu porsi terdiri atas dua pisang goreng seharga Rp 6.500.
Tak hanya menyediakan pisang goreng, Kopi Klotok juga menyajikan jadah goreng sebagai teman ngopi. Jadah terbuat dari ketan putih yang direbus, dikukus, lalu ditumbuk. Kemudian tumbukan itu dicetak pada tampah bambu yang berbentuk bundar, lantas dipotong-potong menjadi balok-balok kecil. Barulah setelah itu ketan digoreng.
Biasanya pengunjung langsung mengambil makanan dan minuman secara prasmanan. Namun untuk bisa menikmati kopi klotok, pisang goreng, dan jadah goreng, para tamu harus memesan dulu. Minuman kopi akan datang lebih dulu. Adapun untuk menikmati pisang goreng dan jadah goreng, pengunjung harus sabar menanti. “Karena harus menunggu pisang dan jadah digoreng dulu,” ucap Mail, karyawan yang bertugas menggoreng pisang.
•••
BUKAN hanya kedai-kedai kopi legendaris di sejumlah daerah di Indonesia yang menyuguhkan kudapan khas pendamping kopi. Banyak pula kedai kopi yang relatif baru menyajikan penganan khas Nusantara sebagai teman minum kopi. Misalnya Rumah Kopi Ranin di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Dari meja kasir, seorang barista Rumah Kopi Ranin berbicara melalui pelantang suara, memanggil nama pengunjung yang pesanannya sudah tersaji: pisang goreng dengan krim espreso dan Kopi Sentosa yang menggunakan biji campuran. Ryandra Hanif Pratama, 21 tahun, langsung mengambil pesanannya tersebut. Tiba di meja yang dia tempati bersama tiga temannya, Ryandra segera mencuil pisang goreng dan menyeruput Kopi Sentosa hangat. "Ini kombinasi yang pas, pahitnya dari kopi, manisnya dari pisang," kata Ryandra saat berbincang dengan Tempo, Rabu, 1 November lalu.
Kedai kopi ini juga menyajikan kudapan lain seperti singkong goreng sambal roa dan bubur sumsum. "Kami ingin menghadirkan Nusantara di dalam perkopian. Jadi itu dengan sengaja. Makanya kami tidak pernah bikin kopi dengan menu luar," tutur co-founder Rumah Kopi Ranin, Tejo Pramono.
Berdiri pada 2012, Rumah Kopi Ranin juga menyuguhkan makanan berat khas Indonesia sebagai pendamping kopi. Salah satunya sego tempong khas Desa Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur. Sajian ini terdiri atas nasi, ikan gurame, ikan asin, tahu, tempe, kemangi, kenikir, dan mentimun. Yang menjadi penambah rasa ialah sambal tempong yang disajikan mentah dengan tambahan perasan jeruk.
Terdapat pula megibung khas Bali asal Karangasem. "Megibung" berarti makan bersama. Makanan ini terdiri atas ayam betutu, sate lilit, lawar putih kacang panjang, dan sambal matah. “Selain keindonesiaan, menu di sini terinspirasi makanan sehari-hari dari keluarga petani kopi,” kata Tejo sambil menjelaskan perjumpaannya dengan masakan-masakan itu.
Menurut Tejo, singkong goreng sambal roa di kedainya sangat cocok disajikan dengan minuman kopi jenis arabika. Sedangkan pisang goreng krim espreso pas menemani secangkir kopi hangat robusta. “Kalau bubur sumsum arabika cocok, robusta juga cocok,” tuturnya.
Pengunjung kedai kopi Nan Yo dan kudapan pendampingnya di Pondok, Kampung Pecinan, Padang, Sumatera Bara, 30 Oktober 2023/Tempo/Febriyanti
Selain Rumah Kopi Ranin, Atjeh Connection di Bendungan Hilir, Jakarta, adalah salah satu kedai kopi yang menyajikan kopi khas sanger (hangat) dan sangeran (dingin) lengkap dengan teman kudapan asal Aceh. Biasanya, para pengunjung memadukan segelas kopi sanger dengan timphan hingga roti ari. “Paling favorit kue adee," ucap Fajar, leader kedai kopi Atjeh Connection, kepada Tempo, Selasa, 31 Oktober lalu.
Fajar menjelaskan, menu kudapan di Atjeh Connection ditentukan manajemen. Selain bisa dinikmati bersama kopi sanger, kue adee cocok dipadukan dengan kopi hitam Aceh yang bisa disajikan secara tubruk ataupun disaring. “Tapi kalau di Aceh sendiri memang seperti kue adee dan canai paling diminati, memang disediakan sebagai teman minum kopi. Sama ada satu lagi, namanya roti srikaya,” katanya.
Pengunjung yang senior biasanya memesan kopi hitam dan kue adee. Kalangan muda biasanya akan memesan sangeran dan roti ari. "Kalau mereka pesan kopi dan kudapan biasanya pagi atau malam. Sebab, waktu siang orang pada makan siang,” ujar Fajar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ecka Pramita, Herman R.N dari Banda Aceh, Febrianti dari Padang, Aseanty Pahlevi dari Pontianak, dan Pito Agustin Rudiana dari Yogyakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Padu Padan Kopi dan Kudapan"