Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Jokowi Merusak Banyak Sendi Demokrasi

Indonesianis R. William Liddle soal skandal Mahkamah Konstitusi dan peluang tiga calon presiden-wakil presiden.

5 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI R. William Liddle, pada mulanya Joko Widodo menjanjikan banyak harapan memperbaiki Indonesia yang terseok-seok bangkit kembali seusai Reformasi 1998. Bill Liddle—panggilannya—meneliti Indonesia sejak 1960-an. Ilmuwan politik dari Ohio State University, Amerika Serikat, ini paham akan sejarah politik Indonesia dari zaman ke zaman. Ia tahu problem pelik Indonesia dan solusi-solusinya yang mungkin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika Jokowi naik ke panggung politik nasional, Bill Liddle melihatnya sebagai figur yang menjanjikan. Jokowi bukan bagian dari jaringan politik lama yang ditumbangkan mahasiswa pada 1998. Ia datang dari keluarga sederhana dan meniti karier politik dari bawah. Dengan pragmatismenya, Jokowi terlihat hendak menciptakan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan melihat latar belakang seperti itu, Liddle bahkan memprediksi Jokowi menjadi presiden yang paling memakmurkan Indonesia setelah Soeharto. Kebijakan-kebijakan ekonomi mereka mirip, berfokus pada infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Liddle pun mengaku sebagai pengamat Indonesia yang mengagumi mantan Wali Kota Solo, Jawa Tengah, itu.

Tapi Jokowi berubah. Perubahan Jokowi, di mata Liddle, terjadi begitu masuk periode kedua kekuasaannya. Jokowi, yang pernah mengatakan tidak takut lagi membuat kebijakan-kebijakan di masa jabatan keduanya, rupanya memulai periode kedua pemerintahannya dengan menghancurkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Lewat revisi Undang-Undang KPK, Jokowi menempatkan lembaga ini berada di bawahnya, tak lagi independen.

Setelah itu, pembuatan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja yang merugikan buruh dan mengancam lingkungan. Puncak kerusakan institusional dibuat Jokowi ketika iparnya, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, membuat putusan atas gugatan Undang-Undang Pemilihan Umum yang memberi jalan politik bagi anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka

Liddle mengaku terlambat melihat perubahan sikap Jokowi itu. “Memang, dia masih menginginkan kebijakan ekonomi yang tidak berbeda dengan zaman Soeharto. Tapi, dari segi politik, dia mementingkan kekuasaan pribadi,” katanya kepada Abdul Manan dan Iwan Kurniawan dari Tempo pada Kamis, 2 November lalu.  

Dalam wawancara secara daring sekitar satu setengah jam, dengan bahasa Indonesia yang fasih, Liddle memberikan analisis tentang kekuatan dan kelemahan tiga pasang calon presiden-wakil presiden: Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud Mahmodin, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Liddle juga menggarisbawahi tiga isu krusial bagi demokrasi Indonesia, yaitu ekonomi terbuka, demokrasi elektoral, dan masyarakat madani.

Jadi kini Anda berubah melihat Jokowi?

Jokowi membunuh harapan saya tentang dia. Jokowi meneruskan, mungkin dengan lebih keras, kebijakan ekonomi yang diciptakan Soeharto, yakni kebijakan ekonomi yang membuat masyarakat Indonesia makmur dan adil. Di era Soeharto dimulai dengan kebijakan ekonomi Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan, lalu diteruskan Sri Mulyani sekarang. Tapi dia kurang mendapat dukungan dari anggota kabinet lain yang pro-proteksi. Kalau Indonesia mau memanfaatkan kesempatan global, harus membuka ekonomi. Itu harapan kepada Jokowi. 

Dari segi ekonomi, Jokowi mungkin lebih berhasil dibanding Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam sejarah nanti mungkin Jokowi akan dilihat sebagai presiden yang paling memakmurkan Indonesia setelah Soeharto. Soeharto jago dalam soal ekonomi. Dia menciptakan basis kemakmuran yang dinikmati bangsa Indonesia sekarang. Jadi saya banyak berharap kepada Jokowi. Performa Jokowi dan kinerjanya cukup tinggi. Tapi belakangan dia membuktikan atau memperlihatkan bahwa ia ingin terus berkuasa.

Sejak kapan Anda melihat perubahan Jokowi?

Teman-teman saya para sarjana di Australia mendahului saya dalam hal ini. Mereka mulai menulis tentang kegagalan Jokowi dalam buku Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression? yang diedit Thomas Power dan Eve Warburton. Buku itu hampir semua berisi kritik kepada Jokowi. Saya meresensinya di salah satu jurnal. Saya mengatakan buku itu berlebihan. Namun, tahun demi tahun, saya juga melihat Jokowi bukan seorang demokrat. Dari segi politik, yang paling penting bagi dia adalah kekuasaan pribadi. 

Apa persisnya kekeliruan Jokowi?

Kelanjutan demokrasi makin terancam. Jokowi merusak banyak sendi demokrasi, terutama Mahkamah Konstitusi. Tak sulit membayangkan konflik tak terkontrol kalau hasil pemilihan presiden digugat pada 2024. Akibatnya bisa saja tentara mengambil alih kekuasaan. Ada pengalaman pada 1960-an, yakni ketidakstabilan politik yang diciptakan politikus partai. Hal seperti itu bisa saja terjadi lagi.

Apakah hanya soal skandal di Mahkamah Konstitusi yang membuat Anda risau?

Ada sejumlah perilakunya yang merusak demokrasi sejak awal masa jabatan kedua. KPK dihancurkan. Tidak ada lagi KPK yang jujur. Tapi mungkin yang menimpa Mahkamah Konstitusi yang paling penting sekarang. Sebab, MK yang akan menentukan keputusan seandainya Prabowo kalah (dan menggugat). Prabowo sudah kalah dua kali. Seandainya kalah lagi, kemungkinan besar dia akan menggugat. Banyak prediksi yang mengatakan dia akan menang. Tapi, kalau tidak menang, bisa saja dia menggugat. Pada waktu itu kita belum jelas apa yang bisa terjadi. Jangan-jangan saya terlalu takut. Tapi itu memang salah satu kemungkinan. Demokrasi di Indonesia masih muda, baru 20 tahun. Dan sebelumnya ada demokrasi tahun 1950-an yang tidak berjalan lama karena dibunuh tentara dengan alasan macam-macam.

Apakah mungkin tentara mengambil alih kekuasaan ketika situasi politik nasional dan internasional berbeda dengan pada 1960-an?

Memang banyak faktor. Saya cuma ingin membunyikan alarm. 

Apakah periode pertama Jokowi baik-baik saja?

Cukup oke. Kita tidak begitu sadar pada masa jabatan pertama. Dalam buku saya, Empat Tokoh, tokohnya adalah Jokowi, Obama, Trump, dan Yudhoyono. Dalam buku itu saya hampir tidak sampai hati mengkritik Jokowi. Sebab, dia tokoh ekonomi. Kebijakan ekonomi Jokowi adalah sesuatu yang seharusnya diharapkan semua orang. Dia betul-betul berkomitmen pada pembangunan ekonomi. Kalau ada kelebihan Jokowi, memang di segi itu. Dan pada masa jabatan periode pertama bisa saja dimaafkan beberapa kesalahan yang dimaksudkan untuk tujuan ekonominya. Tapi, dari awal masa jabatan kedua, makin jelas yang diinginkan Jokowi bukan kebijakan ekonomi saja. Dia ingin berkuasa terus. Kita melihat dengan jelas bahwa Jokowi ingin menggunakan Prabowo untuk memperpanjang masa jabatannya sendiri. Anaknya, Gibran, diletakkan sebagai calon wakil presiden.

William Liddle/Dok. Pribadi

Kenapa Anda sangat khawatir terhadap masa depan Indonesia?

Semua orang tidak percaya pada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi ini lembaga yang diciptakan pada awal reformasi tapi dikorup oleh Jokowi pada masa jabatan kedua, dengan pengangkatan iparnya. Pokoknya seperti mahkamah keluarga yang dibicarakan, bukan Mahkamah Konstitusi. Itu yang saya khawatirkan. Bisa seperti Indonesia pada 1950-an. Mungkin para politikus tidak bisa menguasai dunia mereka lagi. Tapi mereka bisa mempersoalkan hasil Pemilu 2024.


R. William Liddle

Tanggal lahir:

18 Januari 1938

Pendidikan:

  • S-1 Yale University, Amerika Serikat, 1959
  • S-2 Yale University, 1961
  • S-3 Yale University, 1967

Karier:

  • Pengajar di Ohio State University, Amerika Serikat, 1965-sekarang

Penghargaan:

  • Achmad Bakrie Award, 2022
  • Anugerah Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2018

Buku:

  • Cultural and Class Politics in New Order Indonesia, Institute of Southeast Asian Studies, 1977
  • Ethnicity, Party, and National Integration: An Indonesian Case Study, Yale University Press, 1970
  • Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, LP3ES, 1992
  • Partisipasi dan Partai Politik: Indonesia pada Awal Orde Baru, PT Grafiti, 1992
  • Islam, Politik, dan Modernisasi, Sinar Harapan, 1997
  • Crafting Indonesian Democracy, Mizan, 2001
  • Revolusi dari Luar: Demokratisasi di Indonesia, Nalar and Freedom Institute, 2005
  • Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia: Sebuah Perdebatan, Yayasan Wakaf Paramadina, 2012
  • Kuasa Rakyat, bersama Saiful Mujani dan Kuskridho Ambardi, Mizan, 2012
  • Piety and Public Opinion: Understanding Islam and Political Behavior, bersama Thomas Pepinsky dan Saiful Mujani, Oxford University, 2018
  • Voting Behavior in Indonesia since Democratization: Critical Democrats, bersama Saiful Mujani dan Kuskridho Ambardi, Cambridge University Press, 2019
  • Dua Negeri, Empat Pemimpin, Penerbit Buku Kompas, 2021

Majunya Gibran sebagai calon wakil presiden adalah bentuk dinasti politik yang dibangun Jokowi. Anda setuju?

Concern pada dinasti itu valid sekali. 

Seharusnya kan bisa diperkirakan jauh hari?

Memang sudah diduga sebelumnya. Gibran menjadi Wali Kota Solo pada 2021 dan anggota keluarga lain sudah dipilih di tempat lain. Dalam hal ini, Jokowi tidak berbeda dengan politikus lain. Cuma, keberaniannya minta ampun. Yudhoyono lebih menaati ketentuan demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi pada masa jabatannya. Semua politikus di Indonesia tampaknya melihat kesempatan itu untuk menggunakan anak-anaknya. Sebab, anak kan bisa dipercaya. Atau begitulah harapannya. Tapi yang kita lihat Jokowi lebih dari yang lain. Maka saya bilang beraninya minta ampun. 

Banyak ahli menilai demokrasi Indonesia mengalami regresi, yang ditandai dengan rendahnya peringkat secara global….

Indonesia memang bukan demokrasi sempurna. Tapi kita akan melihat skor Indonesia kalau Prabowo menang, kalau Jokowi berkampanye secara tidak jujur dan adil, misalnya. Atau kalau Prabowo menang dan dia mencoba menyabot lembaga-lembaga demokrasi, institusi internasional akan melihatnya. Skor Indonesia akan lebih rendah. 

Demokrasi secara global bukannya memang mundur?

Benar. Tapi saya tidak melihat hubungan itu di Indonesia. Di Hungaria atau Turki dan sabotase institusi-institusi demokrasi. Indonesia kan menuju ke situ sekarang. Sebab, Mahkamah Konstitusi lembaga yang sangat penting yang disalahgunakan Jokowi.

Dengan keadaan sekarang, Indonesia masih bisa memperbaiki demokrasi? Apa syaratnya?

Ada tiga hal. Pertama, kebijakan ekonomi yang seterbuka mungkin seperti era Widjojo. Kedua, fokus pada penyelamatan demokrasi elektoral. Sebab, ini yang terancam oleh Jokowi. Apalagi nanti kalau Prabowo menjadi presiden. Dia jelas tidak percaya kepada demokrasi. Dia mau kembali kepada ide besar Sukarno seperti patriotisme, nasionalisme, yang tidak punya makna, tidak punya isi. Seperti Donald Trump, seorang populis yang tidak tahu apa yang harus dilakukan. Fokus ketiga adalah perlindungan dan pengembangan masyarakat madani. Masyarakat madani juga diabaikan atau direpresi Jokowi. Padahal setiap masyarakat modern memerlukan civil society yang sehat dan mampu mewakili kepentingan berbagai golongan. 

Bagaimana Anda melihat tiga calon presiden saat ini? Apakah mereka mewakili ideologi yang berbeda?

Ada unsur ideologi yang berbeda, tapi tidak setajam pada 1950-an dan 1960-an. Pada waktu itu ada Partai Komunis Indonesia yang sangat ideologis. Juga ada Masyumi dan Nahdlatul Ulama yang waktu itu pro-syariah Islam. Kini sistem patronase dominan. Kepentingan individu terlihat pada tokoh-tokoh partai, pemimpin partai, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan sebagainya. Mereka tidak tertarik pada perang ideologi. Sistem sekarang dibanding pada 1950-an lebih stabil. Patronase berarti bahwa setiap orang menginginkan kehidupan individunya. Namun kita bisa melihat tidak ada politikus di Indonesia yang percaya pada demokrasi. Bagi semuanya, soal praktis saja. Tapi mungkin Yudhoyono yang paling teruji dalam hal itu. Dia tidak mengancam demokrasi. Ada juga desas-desus pada masa jabatan keduanya dia akan mencoba memperpanjang kekuasaan, merevisi konstitusi. Tapi tidak terjadi.

Apa kelebihan atau kekurangan ketiga calon presiden saat ini?

Banyak sekali faktor yang menentukan. Kalau Prabowo, kebetulan kelebihan dan kelemahannya sama: dukungan Jokowi. Coba bandingkan Prabowo sekarang dengan lima tahun dan sepuluh tahun lalu. Dia kalah dua kali. Dan dia akan kalah juga kalau dia tidak didukung Jokowi. Saya mau memasukkan sesuatu yang mungkin belum Anda pikirkan. Siapa tahu pemilih pada pemilihan presiden tahun depan tidak mau digiring seperti sepuluh tahun lalu? Waktu itu Jokowi betul-betul a man of the people. Dia menang meski elite Jakarta sangat meremehkannya dari awal. 

Menurut survei, Jokowi masih didukung kuat masyarakat. Kira-kira 80 persen percaya Jokowi kinerjanya baik. Saya juga percaya. Tapi hal itu tidak berarti masyarakat ingin kekuasaan Jokowi diperpanjang. Saiful Mujani, murid saya dan juga pollster di Indonesia, membuat beberapa survei ketika Jokowi jelas ingin memperpanjang masa jabatannya. Hasilnya, masyarakat tidak mau. Masyarakat pemilih di Indonesia cukup pintar. Mereka membedakan antara kinerja Jokowi sebagai presiden dan keinginan Jokowi menjadi presiden selanjutnya. Jadi inilah optimisme saya tentang Indonesia.

Catatan Anda soal Anies?

Kelebihannya sama dengan kelemahannya: dukungan Islam kanan. Saya tidak pernah membayangkan bahwa dia akan menjadi tokoh islamis di Indonesia. Tapi hal itu yang terjadi pada saat pemilihan Gubernur Jakarta. Dan sekarang dia dikenal sebagai tokoh Islam, kan? Dan karena itu dia bisa mendapat cukup banyak dukungan. Tapi kurang juga untuk menjadi presiden, untuk menang dalam pemilu. 

Bagaimana dengan Ganjar?

Kelemahannya adalah dukungan Jokowi kepada Prabowo. Siapa saja yang didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan seharusnya menang. Tapi dia dilawan oleh Jokowi. Jelas Jokowi sudah memilih Prabowo. Apakah Prabowo akan menang atau tidak, kita tentu belum tahu. Tapi Ganjar dipersulit dukungan Jokowi kepada Prabowo.  

Jadi perpisahan Jokowi dengan PDIP menjadi problem?

Dari awal ini mungkin terlalu dalam, terlalu berbelit-belit. Jokowi satu-satunya tokoh sebuah partai (dan menjadi presiden) yang tidak menjadi ketua partai itu. Yudhoyono dulu membuat partai sendiri. Dan partai itu tidak pernah berbeda pendapat dengan dia. Begitu juga Prabowo dengan Gerindra-nya. Jadi tidak akan mengganggu. 

Anda melihat ini jadi masalah bagi pemerintahan Jokowi? 

Sejak awal itu masalah besar. Jokowi harus memperbaiki hubungannya dengan Megawati terus. Itu juga yang akan terjadi pada Ganjar nanti kalau terpilih jadi presiden.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jokowi Merusak Banyak Sendi Demokrasi"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus