Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sabra-Shatila Menghantui Begin

Pemerintah Begin akhirnya menyetujui dibentuknya komisi yang meneliti pembantaian di sabra dan shatila. PM. Begin bersama 8 pembantu terdekatnya diperintahkan mempersiapkan pembelaannya.(ln)

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERISTIWA berdarah Sabra-Shatila tak bisa dilupakannya begitu saja. Pengusutan berlarut-larut. Akibatnya, Israel guncang. PM Menachem Begin yang baru saja kematian istri diberi waktu hanya 2 minggu untuk mempersiapkan pembelaan diri. Dia, bersama 8 pembantu terdekat, harus sudah siap dengan bahan bukti dan pengacara, kalau perlu. Ini sesuai dengan anjuran Ketua Mahkamah Agung Yitzhak Kahan pekan silam. Termasuk ke dalam yang delapan itu Menhan Ariel Sharon, Menlu Yitzhak Shamir, Kastaf AB Israel Jenderal Rafael Eitan dan pemimpin Mossad (dinas intelijen Israel) yang tidak disebut namanya. Adalah pemerintahan Begin sendiri-lewat perdebatan seru --akhirnya menyetujui dibentuknya komisi yang mneliti pembantaian di Beirut Barat, sesudah PLO mengungsi. Yitahak Kahan yang mendapat wewenang dan kemerdekaan penuh untuk penelitian tersebut -- memang sesuai dengan tuntutannya semula -- sampai pada kesimpulan sementara yang rupanya saling bertentangan. "Para pejabat bisa dirugikan atas petunjuk dan bukti-bukti yang kami dengar atau kami peroleh dalam proses penelitian," katanya. Karena itulah, Kahan minta supaya Begin dkk. bersiap-siap, mungkin supaya kebenaran mutlak segcra bisa ditemukan. Singkatnya, supaya tidak simpang-siur. Terlepas dari maksud baiknya, sikap Kahan pastilah mengejutkan. Tapi keterangan Letkol. Ze'ev Zeharin, yang diperbantukan pada Kastaf Rafael Eitan agaknya juga sama mengejutkan. Dalam kesaksiannya di hadapan komisi peneliti, Zeharin 100% yakin bahwa Menhan Sharon telah membahas rencana penyerbuan pasukan Phalangis ke Sabra dan Shatila (kamp pengungsi Palestina) di Beirut Barat, 14 September, yaitu dua hari sebelum pembantaian terjadi. Ini berarti rencana itu bukan saja sudah dipersiapkan, bahkan sudah direstui. Dan ini juga berarti membantah kesaksian Sharon yang mengatakan rencana tersebut baru dibikin 15 September. Di samping Sharon, Begin juga terpojok oleh Zeharin. Jenderal Eitan, demikian Zeharin, menerima telepon Begin pada Sabtu pagi, 18 September, menanyakan tentang Gaza, rumah sakit di kamp pengungsi Sabra-Shatila. Padahal dalam kesaksiannya, Begin mengaku ia baru mendengar tentang pembantaian itu di hari yang sama tapi sudah larut siang, lewat siaran BBC lagi. Mordechai Zipori, Menteri Perhubungan, malah mengetahui lebih cepat sehari dari Begin dan segera memberitahu Menlu Yitzhak Shamir yang membantahnya kemudian. Ricuh dan rancu bukan? Semula, poll pendapat umum yang .1iselenggarakan koran Jerusalem Post nencatat popularitas Begin naik dari 42, 9% (September) menjadi 44,8% (Oktober). Kini ia bernasib bagaikan orang yang sudah jatuh ditimpa ungga pula. Tapi "Begin akan tabah seperti biasa," kata jurubicaranya, Uri Porat. Sementara itu ada beberapa hal yang tidak biasa. Pertengahan November, di Tyre, Libanon Selatan, markas militer Israel meledak, menewaskan 75 tentaranya. Tel Aviv amat terpukul. Lalu, Presiden Amin Gemayel mengisyaratkan sikap yang membuat jarak dengan Begin. Ini tercermin dalam kunjungan ke AS dan Marokko, saat ia bertemu dengan Reagan dan Pangeran Fahd. Dalam peringatan kemerdekaan Libanon (22 November) Gemayel bahkan menyindir, "Kita tidak akan berunding atas dasar keamanan negeri lain." Siapa lagi yang dimaksudnya kalau bukan Israel. Hatta, Sabtu silam diberitakan bahwa pemimpin PLO Yasser Arafat dalam keadaan marah berangkat dari Damaskus ke Amman, ibukota Yordania. Dia sudh menunggu Presiden Suriah Hafc Assad sampai 4 jam, tapi pertemuan yang susah payah direncanakan itu tidak juga terjadi. Arafat geram karena Assad, menurut berita, menyimpan maksud agar PLO tunduk pada kepentingan Suriah, sementara negeri itu tidak berusaha membantu PLO bahkan tidak sama sekali dalam saat-saat entin di Libanon. Konflik Suriah-PLO ini dikhawatirkan uerugikan gerakan pembebasan Palestina, khususnya perjuangan merebut kembali Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dalam kaitannya dengan itu, Dewan Sentral PLO beranggotakan 60 orang mengeluarkan pernyataan yang intinya mengecam rencana perdamaian Reagan karena tidak menjamin berdirinya sebuah negara Palestina merdeka. Arafat sendiri, yang kini akrab dengan Raja Husscin, telah ikut merumuskan pernyataan itu. Sebenarnya sejak mula ia sudah bersikap lunak, bahkan menegaskan begitu negara Palestina berdiri, dia pun siap membicarakan kemungkinan pembentukan federasi dengan Yordania. Kuat dugaan dalam pertemuan Raja Hussein dengan Presiden Reagan (21 Desember) gagasan federasi itu akan dibicarakan. Bagaimana hasilnya sulit diramalkan, apalagi rencana Reagan pada dasarnya bertentangan dengan tekad Begin yang--sesudah berhasil merebut Golan kemudian berhasil pula mengembalikan Sinai pada Mesir--kini berjuang mempertahankan Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai penjelmaan mimpi lama yang bernama Yudea dan Samaria.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus