PERISTIWA berdarah Sabra-Shatila tak bisa dilupakannya begitu
saja. Pengusutan berlarut-larut. Akibatnya, Israel guncang. PM
Menachem Begin yang baru saja kematian istri diberi waktu hanya
2 minggu untuk mempersiapkan pembelaan diri. Dia, bersama 8
pembantu terdekat, harus sudah siap dengan bahan bukti dan
pengacara, kalau perlu. Ini sesuai dengan anjuran Ketua Mahkamah
Agung Yitzhak Kahan pekan silam. Termasuk ke dalam yang delapan
itu Menhan Ariel Sharon, Menlu Yitzhak Shamir, Kastaf AB Israel
Jenderal Rafael Eitan dan pemimpin Mossad (dinas intelijen
Israel) yang tidak disebut namanya.
Adalah pemerintahan Begin sendiri-lewat perdebatan seru
--akhirnya menyetujui dibentuknya komisi yang mneliti
pembantaian di Beirut Barat, sesudah PLO mengungsi. Yitahak
Kahan yang mendapat wewenang dan kemerdekaan penuh untuk
penelitian tersebut -- memang sesuai dengan tuntutannya semula
-- sampai pada kesimpulan sementara yang rupanya saling
bertentangan. "Para pejabat bisa dirugikan atas petunjuk dan
bukti-bukti yang kami dengar atau kami peroleh dalam proses
penelitian," katanya. Karena itulah, Kahan minta supaya Begin
dkk. bersiap-siap, mungkin supaya kebenaran mutlak segcra bisa
ditemukan. Singkatnya, supaya tidak simpang-siur.
Terlepas dari maksud baiknya, sikap Kahan pastilah mengejutkan.
Tapi keterangan Letkol. Ze'ev Zeharin, yang diperbantukan pada
Kastaf Rafael Eitan agaknya juga sama mengejutkan. Dalam
kesaksiannya di hadapan komisi peneliti, Zeharin 100% yakin
bahwa Menhan Sharon telah membahas rencana penyerbuan pasukan
Phalangis ke Sabra dan Shatila (kamp pengungsi Palestina) di
Beirut Barat, 14 September, yaitu dua hari sebelum pembantaian
terjadi. Ini berarti rencana itu bukan saja sudah dipersiapkan,
bahkan sudah direstui. Dan ini juga berarti membantah kesaksian
Sharon yang mengatakan rencana tersebut baru dibikin 15
September.
Di samping Sharon, Begin juga terpojok oleh Zeharin. Jenderal
Eitan, demikian Zeharin, menerima telepon Begin pada Sabtu pagi,
18 September, menanyakan tentang Gaza, rumah sakit di kamp
pengungsi Sabra-Shatila. Padahal dalam kesaksiannya, Begin
mengaku ia baru mendengar tentang pembantaian itu di hari yang
sama tapi sudah larut siang, lewat siaran BBC lagi. Mordechai
Zipori, Menteri Perhubungan, malah mengetahui lebih cepat sehari
dari Begin dan segera memberitahu Menlu Yitzhak Shamir yang
membantahnya kemudian. Ricuh dan rancu bukan?
Semula, poll pendapat umum yang .1iselenggarakan koran Jerusalem
Post nencatat popularitas Begin naik dari 42, 9% (September)
menjadi 44,8% (Oktober). Kini ia bernasib bagaikan orang yang
sudah jatuh ditimpa ungga pula. Tapi "Begin akan tabah seperti
biasa," kata jurubicaranya, Uri Porat.
Sementara itu ada beberapa hal yang tidak biasa. Pertengahan
November, di Tyre, Libanon Selatan, markas militer Israel
meledak, menewaskan 75 tentaranya. Tel Aviv amat terpukul. Lalu,
Presiden Amin Gemayel mengisyaratkan sikap yang membuat jarak
dengan Begin. Ini tercermin dalam kunjungan ke AS dan Marokko,
saat ia bertemu dengan Reagan dan Pangeran Fahd. Dalam
peringatan kemerdekaan Libanon (22 November) Gemayel bahkan
menyindir, "Kita tidak akan berunding atas dasar keamanan negeri
lain." Siapa lagi yang dimaksudnya kalau bukan Israel.
Hatta, Sabtu silam diberitakan bahwa pemimpin PLO Yasser Arafat
dalam keadaan marah berangkat dari Damaskus ke Amman, ibukota
Yordania. Dia sudh menunggu Presiden Suriah Hafc Assad sampai
4 jam, tapi pertemuan yang susah payah direncanakan itu tidak
juga terjadi. Arafat geram karena Assad, menurut berita,
menyimpan maksud agar PLO tunduk pada kepentingan Suriah,
sementara negeri itu tidak berusaha membantu PLO bahkan tidak
sama sekali dalam saat-saat entin di Libanon.
Konflik Suriah-PLO ini dikhawatirkan uerugikan gerakan
pembebasan Palestina, khususnya perjuangan merebut kembali Tepi
Barat dan Jalur Gaza.
Dalam kaitannya dengan itu, Dewan Sentral PLO beranggotakan 60
orang mengeluarkan pernyataan yang intinya mengecam rencana
perdamaian Reagan karena tidak menjamin berdirinya sebuah negara
Palestina merdeka. Arafat sendiri, yang kini akrab dengan Raja
Husscin, telah ikut merumuskan pernyataan itu. Sebenarnya sejak
mula ia sudah bersikap lunak, bahkan menegaskan begitu negara
Palestina berdiri, dia pun siap membicarakan kemungkinan
pembentukan federasi dengan Yordania.
Kuat dugaan dalam pertemuan Raja Hussein dengan Presiden Reagan
(21 Desember) gagasan federasi itu akan dibicarakan. Bagaimana
hasilnya sulit diramalkan, apalagi rencana Reagan pada dasarnya
bertentangan dengan tekad Begin yang--sesudah berhasil merebut
Golan kemudian berhasil pula mengembalikan Sinai pada
Mesir--kini berjuang mempertahankan Tepi Barat dan Jalur Gaza
sebagai penjelmaan mimpi lama yang bernama Yudea dan Samaria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini