KRISIS Teluk seperti dipenuhi dengan bensin. Siap menyala dan meledak jadi peperangan mahadahsyat. Upaya perundingan terakhir dengan Saddam Hussein sebelum batas waktu 15 Januari, oleh sang perunding sendiri, Sekjen PBB Perez de Cuellar, dinyatakan tidak menghasilkan seperti yang dia harapkan. "Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi di Timur Tengah," kata De Cuellar, yang tiba Senin pagi di Paris, untuk bertemu dengan para pemimpin Masyarakat Eropa -- setelah harus menunggu Saddam sekitar 5 jam untuk mengadakan pembicaraan yang berlangsung sekitar 3 jam pekan lalu. Sementara itu, suasana di Baghdad, menurut laporan koresponden TEMPO Yuli Ismartono, sepeninggal De Cuellar, seperti perang segera meledak. Ahad malam, pukul 22.30 waktu setempat, De Cuellar terbang ke Paris. Beberapa jam kemudian, tepat pukul 01.30 Senin dini hari, televisi Irak menyiarkan pidato Saddam. "Kuwait melambangkan tekad rakyat melawan musuh-musuhnya," kata pemimpin Irak yang kini jadi sorotan dunia itu. Dengan tegas ia menyatakan, inisiatif damai harus datang dari Amerika dan sekutunya. "Bangsa Arab akan menang!" Dan sejak itu suasana Baghdad berubah dibanding hari sebelumnya. Tiba-tiba air minum dalam botol produksi lokal menghilang dari pasaran. Dicadangkan buat tentara? Boleh jadi. Wartawan-wartawan beberapa hari sebelumnya mengalir masuk Baghdad, mulai awal pekan ini terjadi arus sebaliknya. Repotnya, pesawat ternyata selalu penuh. Harus menunggu. Tampaknya, usul lima pasal De Cuellar ditolak Saddam. Adapun usul itu, pertama, jaminan bahwa Irak tak akan diserang asal bersedia keluar dari Kuwait. Kedua, pengiriman tim untuk memantau penarikan itu. Ketiga, penempatan pasukan perdamaian PBB di Kuwait setelah Irak angkat kaki. Keempat, penyelenggaraan suatu konperensi internasional untuk mencari perdamaian di Timur Tengah setelah Irak mudur. Kelima, penarikan pasukan-pasukan multinasional dari kawasan Teluk. Bagi sejumlah pengamat Teluk, bila Saddam menolak usul itu, bukan terutama karena materinya. Sebab utamanya adalah kenyataan bahwa organisasi dunia itu telah telanjur ngutuk tindakan Irak dan telah mengeluarkan perintah yang dibarengi ancaman agar Saddam menarik tentaranya dari Kuwait. Pesimisme itu dipertebal dengan ucapan Menlu Tareq Aziz seusai pertemuan De Cuellar-Saddam. Kata Tareq, "Usul PBB itu tak perlu ada, lantaran Kuwait adalah provinsi Irak yang ke-19 dan kami tak bermaksud berkompromi untuk itu." Walaupun demikian, ada juga yang masih menyiratkan harapan. Yasser Arafat, yang bertemu De Cuellar di Baghdad sebelum Sekjen PBB itu terbang ke Paris -- dan sebelumnya Arafat juga mengadakan pembicaraan dengan Saddam -- mengatakan pada para wartawan bahwa perang tak akan meletus. "Perang tak akan ada dan Baghdad aman," kata Arafat, yang dalam pada itu menyetujui pernyataan pemimpin Irak bahwa kalau Irak diserang, seluruh wilayah Teluk akan jadi medan pertempuran. Presiden Negara Palestina itu juga menyangkal kalau 15 Januari adalah batas, waktu terakhir bagi Irak untuk mundur dari Kuwait. "Yang saya tahu, tanggal itu adalah hari kelahiran Gamal Abdul Naser," katanya. Dan seperti Saddam, ia tetap menuntut jalan keluar konflik Teluk harus dikaitkan dengan masalah Palestina. Yang juga optimistis adalah pemimpin Libya Muammar Qadhafi. Dalam suatu wawancara dengan wartawati Jepang Itsuko Hirata dan dimuat dalam majalah AERA (Asahi Shimbun Extra Report and Analysis) yang diterbitkan harian Asahi, Tokyo, edisi 22 Januari mengatakan, "Saya kira Saddam tak berminat berperang." Lalu tambahnya, "Tentu saja ia bersiap-siap buat berperang. Tapi orang bisa lain di mulut lain di hati." Menyinggung soal berpihaknya Syria pada Amerika, Qadhafi mengatakan, Amerika adalah musuh bangsa Arab, dan kalau Presiden Assad dari Syria mengambil sikap anti-Irak, itu hanya terbatas pada masalah agresi Saddam ke Kuwait. Kepergian De Cuellar ke Baghdad itu adalah upaya terakhir untuk mencegah meletusnya perang setelah kegagalan pertemuan Baker-Tareq di Jenewa pada 8 dan 9 Januari lalu. Ternyata, di Jenewa pembicaraan antara kedua pihak tak menghasilkan apa-apa. "Saya sangat kecewa karena selama enam jam saya tak mendengar satu pertanda pun yang menunjukkan sikap fleksibel Irak," kata Baker pada para wartawan. Namun, yang paling menjengkelkan Baker adalah penolakan Tareq Aziz untuk menyampaikan surat Presiden Bush kepada Saddam, yang meminta agar Irak keluar dari Kuwait dengan segera. Karena itu pula Baker mengeluarkan pernyataan paling keras. Katanya, "Para pemimpin Irak mestinya tidak ragu akan kenyataan bahwa 28 negara sudah bertekad dan memiliki kekuatan untuk memaksanya keluar dari Kuwait. Kalau tidak, mereka akan menghadapi konfrontasi militer yang tak mungkin dimenangkannya, yang akibatnya adalah kehancuran bagi Irak." Presiden George Bush nampaknya makin bertekad bulat. Apalagi pada Sabtu lalu Senat dengan suara 52 lawan 47 telah memberinya kekuasaan untuk melancarkan perang. House of Representative juga memberinya wewenang itu dengan 250 suara lawan 183. Di kertas, front belakang sudah berada di tangannya -- salah satu modal paling penting baginya kalau ia kepingin bebas dari belenggu undang-undang. Sehubungan dengan itulah Bush telah mengeluarkan perintah memobilisasi negara dan bangsa menghadapi perang. Perintah itu antara lain mengharuskan segenap perusahaan industri swasta dan badan-badan pemerintahan untuk "menyerahkan dengan segera" kepada pemerintah semua benda, bahan-bahan mentah, materi, dan produk "demi kepentingan nasional". Perusahaan-perusahaan swasta harus memprioritaskan segala pesanan pemerintah apabila bahaya sudah mengancam. Karena keadaan makin meruncing, pemerintah Amerika juga memerintahkan agar semua warganya pergi dari seluruh wilayah Timur Tengah. Berita-berita tentang kesiagaan tentara Amerika di front sangat dibatasi. Tapi sudah bisa ditebak bahwa tentara Amerika dan sekutu-sekutunya sudah disiapkan apabila perintah serangan sudah dikeluarkan. Sudah sejak permulaan kedatangan pasukan multinasional di padang pasir Arab berbagai latihan telah diadakan untuk menjamin keberhasilan operasi Perisai Padang Pasir -- nama sandi gerakan militer untuk mengusir Irak dari Kuwait. Sebelum batas waktu, Amerika dan sekutunya telah berhasil menghimpun lebih dari 600 ribu tentara, 3.600 tank, 140 kapal perang, 8 kapal induk, dan 1.700 kapal terbang. Sementara itu, sudah sejak sebelum pembicaraan Baker-Tareq, Amerika dan sekutu-sekutu Baratnya telah mengatur rencana pengungsian para diplomat dari warga sipil mereka di Baghdad. Berdasarkan rencana tersebut, semua personel 12 kedutaan Barat akan diangkut dalam pekan ini juga. Suasana perang sudah mencekam di kedutaan Amerika di Baghdad. Arsip-arsip lama sudah dilumatkan mesin penghancur, sedangkan catatan-catatan yang sensitif, terutama mengenai kegiatan rahasia kedutaan, sudah lama dipunahkan. Semua fasilitas militer Amerika yang tersebar di seluruh dunia juga disiagakan. Penjagaan dilakukan dengan superketat atas dasar anggapan bahwa kalau perang pecah, kegiatan yang akan menonjol adalah serangan-serangan dan aksi teror atas segala fasilitas militer dan sipil Amerika di seluruh dunia. Sementara itu, Irak telah menyiagakan 500 ribu tentaranya didukung 4.000 tank di front Kuwait. Di front belakang ia punya setengah juta tentara, ditambah pasukan cadangan serta dibantu oleh hadirnya 800 pesawat terbang, 5.000 tank, dan 15 kapal perang. Untuk membendung serangan pasukan multinasional, Irak telah memasang ranjau dan berbagai penjebak lainnya di sepanjang perbatasan Kuwait dengan Arab Saudi dan pantai Teluk. Tapi pasukan yang langsung berhadapan dengan Irak bukanlah pasukan Amerika dan Eropa, melainkan sekitar 130 ribu tentara Dewan Kerja Sama Teluk, Arab Saudi, Mesir, Bangladesh, Pakistan, Maroko, Senegal, dan entah mengapa, Prancis. Suasana genting juga terasa di Kairo sejak pekan lalu. Orang makin rajin mendengarkan radio: di kafe, warung kelontong, dan toko buku. Para petugas jalanan dan orang-orang di stasiun metro sangat asyik dengan radio kecilnya. Dan meski lokasi perang jauh dari Mesir, Laut Merah dan Terusan Suez mendapat perhatian khusus dan dijaga ekstraketat. Pekan lalu tersiar kabar bahwa Terusan Suez akan diblokir Irak apabila perang meletus. Caranya, sebuah kapal yang bermuatan semen atau apa saja akan ditenggelamkan, sehingga menghalangi lalu-lalang kapal di terusan yang strategis itu. Belakangan ini isu itu dibantah pemerintah. Toh, tak urung kapal-kapal yang membawa muatan dan dicurigai ditolak berlayar masuk terusan itu. Pendapat umum di negeri itu sebagian besar mendukung langkah Presiden Husni Mubarak, yang memihak Arab Saudi. Malah rakyat pada umumnya menganggap perang nampaknya tak bisa dielakkan lagi. Sampai sekarang pikiran rakyat belum banyak berubah: mereka mengutuk tindakan Irak menyerbu Kuwait. Hanya saja, dalam menyelesaikan konflik itu, mereka mengusulkan pendapat-pendapat berbeda. Ada yang ingin damai, ada juga yang ingin perang. Dalam sebuah wawancara TV akhir pekan lalu, Ibrahim Nafie, pemimpin redaksi koran Al-Ahram, mengatakan bahwa usaha mencari jalan damai belum seluruhnya gagal. "Perundingan bisa dikatakan gagal apabila sampai seperempat jam sebelum tanggal 15 Januari tak ditemukan jalan keluar," katanya dengan optimistis. Israel, pihak yang berada di luar garis konflik, tak kurang sibuknya. Ancaman Irak untuk menyerang negara itu kalau ia diserang ditanggapi dengan serius. Yerusalem sibuk mengadakan latihan menghadapi serangan gas dan peluru kendali. Bahkan, menurut Reuters, menjelang batas waktu, para pilot Israel sudah duduk di dalam kokpit untuk setiap saat melesat ke udara. Apabila senapan belum menyalak, meriam dan peluru kendali belum menggelegar, perang propaganda di front lain telah lama berlangsung. Propaganda Irak yang ditujukan ke negara-negara Arab telah lama memuji-muji Saddam sebagai pejuang Islam dan pembela bangsa Palestina. Saddam digambarkan sebagai Sultan Saladin, pahlawan Islam semasa Perang Salib di Timur Tengah dulu, yang menentang para penyerbu Kristen dari Eropa. Jauh sebelum itu, ia digambarkan pula sebagai keturunan Nabi Muhammad, ada hubungan darah dengan keluarga kerajaan Hashemit, dan malahan penerus kekuasaan raja-raja Babilonia. Propaganda Arab tak kurang cerdiknya. Saddam digambarkan sebagai tukang pukul yang sok jago, yang lebih suka menginjak-injak Kuwait yang notabene negeri bangsa Arab ketimbang menyerang Israel, musuh bersama bangsa Arab. Propaganda Mesir mengatakan, mana mungkin Saddam bisa dibandingkan dengan Saladin, leluhur orang Kurdi, bangsa yang dibom dengan gas beracun oleh Saddam. Yang menarik disimak, motif kedua pihak yang bersikeras pada sikap semula tanpa keluwesan, yang risikonya sudah jelas: pecahnya perang. Sebenarnya tak ada alasan-alasan militer yang memaksa Bush memerintahkan penyerangan setelah 15 Januari ini. Namun para analis militer mengatakan, faktor-faktor politik akan memaksanya berbuat demikian. Memilih saatnya yang tepatlah yang jadi masalah sekarang. Menurut perkiraan, Bush akan punya waktu sampai akhir Februari atau awal Maret untuk melakukan tindakan militer. Setelah itu, keadaan padang pasir akan menjadi halangan untuk suatu gerakan militer darat walaupun untuk serangan udara keadaan itu tak akan banyak mengganggu. Bekas Menteri Pertahanan Harold Brown mengatakan, kalau Bush tak berbuat apa-apa dalam beberapa pekan setelah 15 Januari, ia akan kehilangan momentum. Alasannya, karena Bush selalu mengulang-ulang menyebut tanggal tersebut dalam hampir semua pernyataannya. Brown juga mengatakan, pertimbangan-pertimbangan pendapat umum dan politik internasional akan memaksa Bush bertindak secara militer. Brown boleh jadi benar. Bayang-bayang sejarah ketika Hitler pada 1930-an mencaplok negara-negara lemah sekelilingnya telah menyadarkan Amerika. Ketika itu pendapat internasional tak mengutuk tindakan Hitler, yang mula-mula mencaplok Polandia. Itulah yang membawa dunia terseret ke Perang Dunia II. Baker dan Bush sangat khawatir, sejarah akan berulang andai kata sepak terjang Saddam dibiarkan. Selain itu, ada lagi motivasi Bush yang lain. Sebagai penghalalan keputusannya untuk mengumpulkan kekuatan militer mengurung Irak, ia mengatakan pada rakyatnya bahwa itu adalah upaya menjaga agar harga minyak tetap murah. Namun, apabila disimak lagi, alasan itu banyak salahnya. Kalau perang pecah, yang akan turut hancur adalah ladang-ladang minyak di Kuwait, Irak, dan malahan di Arab Saudi. Sebagai akibatnya, dunia akan kekurangan minyak dan harga minyak dengan sendirinya akan mahal -- gejala yang berlainan dengan yang diharapkan Bush. Dengan demikian, Bush lebih banyak menginginkan untuk memelihara citra Amerika sebagai negara besar dan "polisi dunia". Lemahnya posisi Uni Soviet telah memberi angin lebih besar untuk ambisi itu. Berita terakhir dari Baghdad, Dewan Nasional (parlemen) Irak Senin pagi pekan ini membuka sidang khusus. Hasilnya, Dewan memberi mandat kepada kepala negara untuk melancarkan perang. Sebelum soal mandat itu, sidang mengesahkan Kuwait sebagai provinsi ke-19, dan karenanya setiap serangan terhadap Kuwait adalah serangan terhadap Irak. Mengapa Saddam Hussein begitu nekat? Tak pelak lagi, ia punya kartu-kartu truf yang dianggapnya tinggi. Analisa yang paling masuk akal adalah perkiraan bahwa pada perhitungannya, begitu peluru pertama meledak, Israel akan terlibat atau paling tidak akan dilibatkannya. Untuk itu, satu-satunya alasan termudah baginya adalah dengan mempropagandakan bahwa ia pembela bangsa Palestina. Sebaliknya, Israel pun tak akan tinggal diam kalau diserang. Dan apabila Israel sudah terlibat -- hal yang sangat ditunggu Saddam -- persatuan Amerika dengan sekutu-sekutu Arab akan goyah, dan perang akan berubah menjadi konflik Arab-Israel dengan Amerika yang terjepit di tengah (lihat Bisakah Israel Menahan Diri). Saddam juga selalu memompakan propaganda sebagai pembela negara-negara miskin di tanah Arab. Propagandanya setiap hari selalu dipenuhi dengan adanya ketidakadilan: tentang para syeikh dari negara-negara minyak yang hidup bermewah-mewah di tengah kemiskinan bangsa Arab lainnya. Alasan ini ada benarnya juga. Saddam banyak belajar dari pengalamannya sebagai "tukang pukul" negara-negara Arab kaya yang mencukonginya memerangi Iran selama delapan tahun. Ada juga anggapan bahwa Saddam adalah suatu pribadi yang kompleks. Menurut Yevgeni Primakov, utusan Uni Soviet ke wilayah Teluk, Saddam memandang dirinya sebagai sasaran suatu komplotan internasional yang canggih. Komplotan itu, kata Primakov, yang telah mengenal Saddam selama 20 tahun, menginginkannya jatuh. Karena itu, Saddam memilih berperang daripada harus mundur. "Setelah mengobrol dengan Saddam, saya yakin kata-katanya bukan gertakan belaka, tapi serius," kata Primakov lagi. Jadi-tidaknya perang nampaknya tergantung hal-hal yang akan dilaporkan Perez de Cuellar di muka para anggota DK PBB Selasa ini. Boleh jadi, ia membawa pesan Saddam yang menawarkan jalan keluar tapi dengan syarat-syarat yang pada pendapat De Cuellar sukar diterima oleh PBB, apalagi Amerika. Karena itulah, De Cuellar masih merahasiakan jalan keluar yang ditawarkan Saddam itu. Perang ataupun damai nampaknya serba salah. Perang pasti akan menyebabkan kerugian bukan saja untuk kawasan Teluk, tapi juga dunia. Namun, damai pun belum tentu berguna. Kolumnis William Safire mengatakan, Saddam tak berniat mundur. Suatu perdamaian hanya akan menunda konflik besar yang akan meletus pada pertengahan dasawarsa ini, terutama Arab lawan Israel. Sebelum itu, ia akan mempersiapkan dirinya dengan senjata yang lebih mematikan, dan malah yang nuklir. Adakah jalan mundur bagi Saddam, dan cukupkah alasan bagi Bush untuk menerima konperensi tentang Timur Tengah, yang berfokuskan pada masalah konflik Israel-Palestina -- tanpa keduanya kehilangan muka? Sejauh yang tertangkap dari seruan mereka, itu harapan mustahil. Namun, seperti kata seorang diplomat satu detik terakhir pun bisa mengubah sejarah. A. Dahana (Jakarta), Dja'far Bushiri (Kairo), dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini