TIBA-TIBA Baghdad berubah. Yakni setelah Sekjen PBB meninggalkan Irak, Minggu malam. Juga setelah Kongres Amerika memberi kuasa kepada Presiden Bush mengumumkan perang. Diumumkan, siaran radio diperpanjang waktunya, untuk sewaktuwaktu menyebarluaskan pengumuman penting pemerintah. Di pompapompa bensin mulai terlihat antrean panjang. Mungkin para pemilik mobil bermaksud menyimpan bahan bakar sebelum perang. Bisa jadi juga mereka punya rencana keluar dari Irak lewat darat, bila sewaktu-waktu pecah perang. Dan tiba-tiba saja muncul tentara di mana-mana, meski tak bersenjata. Penjagaan di sudut-sudut jalan diperketat. Namun, para penjaga itu umumnya wanita atau orang tua. Mereka dilengkapi dengan senapan kalashnikov atau M-16. Perubahan yang paling mencolok dengan malam sebelumnya, lampu di istana kepresidenan, yang tak pernah dimatikan, malam ini gelap. Padahal, Jumat dan Sabtu pekan lalu suasana belum setegang itu. Mendarat di Saddam International Airport, Jumat pekan lalu, terasa suasana sunyi. Sunyi seperti kota hantu. Pesawat yang parkir dekat landasan cuma tiga buah Iraqi Airways. Sementara itu, yang muncul dari Boeing 727 yang baru mendarat setelah satu jam terbang dari Amman, Yordania, hanya 15 penumpang -- 8 wartawan Korea, saya, dan enam orang Arab. Tapi di ruang tunggu ratusan orang, kebanyakan orang Barat, Pakistan, dan India yang menunggu giliran untuk terbang ke Amman. Mereka heran melihat kami justru masuk ke Baghdad. Tak lama kemudian bagasi keluar. Yang lama adalah menunggu petugas bea cukai memeriksa kami. Anehnya, enam penumpang Arab tidak diperiksa. Sementara kami menunggu pemeriksaan bea cukai, satu lagi pesawat mendarat. Yang turun ternyata bukan orang asing, melainkan puluhan warga Irak berseragam. Menurut pegawai Kementerian Penerangan yang mengurusi wartawan asing yang masuk Baghdad, mereka yang berseragam itu baru tiba dari Kuwait. Sepanjang perjalanan dari bandara ke Hotel Al Rasheed di jalan berjalur empat itu, tidak kelihatan penjagaan yang berlebihan. Polisi cuma kelihatan ketika sudah dekat hotel. Tidak ada pemberhentian untuk pemeriksaan, dan lain-lain, sama sekali sepanjang perjalanan yang 25 km itu. Jadi, tampaknya sunyi sekali. Mungkin karena hari itu hari Jumat. Hampir setiap satu kilometer ada gambar besar Presiden Saddam Hussein, yang disorot dengan lampu. Mendekati Baghdad, ada semacam gerbang pintu yang diukir seperti dua tangan yang memegang pedang. Hotel Al Rasheed penuh dengan tamu, kelihatannya semua orang Arab. Mereka ternyata peserta International Islamic People Conference, yang berlangsung dua hari. Tidak ada kesulitan masuk kamar, cuma tarifnya bikin kaget: US$ 115 per hari, dan tidak boleh bayar pakai dinar, melainkan dolar Amerika. Dan kartu kredit yang diterima hanya Amex. Tampaknya semua wartawan diminta tinggal di Al Rasheed. Kini ada 250 wartawan luar negeri di Baghdad. Malam itu ada konperensi pers yang diberikan oleh bekas Presiden Nikaragua Daniel Ortega di dalam salah satu ruangan hotel itu. Ortega, berbahasa Spanyol, menjelaskan maksudnya ke Baghdad. Yakni dalam usaha menghentikan perang. Ia mengatakan, dengan pemimpin beberapa negara lain ia menganjurkan agar semua pihak, khususnya Amerika, menghormati hukum internasional. Sebab, inilah masalahnya, katanya. "Semua harus mau menghadiri suatu konperensi untuk menentukan atau menyelesaikan konflik di kawasan ini," kata Ortega. "Amerika tidak punya mandat untuk menyerang seenaknya. Itu wewenang PBB," ujar Ortega lagi. Ia juga menyerang PBB sebagai lembaga yang lemah dan kurang tegas, terlalu memihak dunia Barat. "Saya melihat konflik di Teluk ini sebagai konflik antara Utara dan Selatan," katanya. Ortega bukan satu-satunya tokoh internasional yang datang di Baghdad dalam usaha menyetop perang. Menurut TV dan koran setempat, Jumat malam itu Saddam menjamu Presiden Zambia Kenneth Kaunda. Dan Sabtunya, Saddam bertemu dengan Sekjen PBB De Cuellar. Sebagai negeri yang diancam serangan pengeboman dari negaranegara superkuat, Irak sungguh mengherankan. Di ibu kota, terutama, tidak ada kesan ketakutan sama sekali. Tidak kelihatan tempat-tempat perlindungan. Tidak tampak petunjukpetunjuk untuk menyelamatkan diri. Paling tidak itu berlangsung sampai Sabtu pekan lalu, sebelum Sekjen PBB De Cuellar bertemu dengan Presiden Saddam Hussein. Yang ada cuma petunjuk yang disiarkan setiap malam lewat televisi. Itu pun singkat. Bunyinya: "Dengarlah lewat radio atau televisi tanda-tanda adanya bahaya. Matikanlah semua listrik di rumah dan sembunyilah di bawah kasur sampai suasana dinyatakan aman kembali." Persiapan menghadapi kemungkinan meletus perang benar-benar minimal. Jam malam saja tidak diberlakukan. Kalau ditanya, orang cuma menjawab, "Insya Allah, kita semua akan selamat." Tidak ada tentara terlihat di jalanan, kecuali yang sedang tugas menjaga kantor-kantor pemerintah dan yang sedang cuti. Hari-hari berjalan seperti normal saja. Di Jalan Abu Nawas, lalu lintas tetap macet di pagi hari. Anak-anak berseragam musim dingin, seragam hitam, tetap pergi ke sekolah. Universitas Baghdad penuh dengan mahasiswa. Dan mereka pun cuma tertawa jika ditanya tentang kemungkinan perang. Setiap hari selalu ada sekitar 50 mahasiswa demonstrasi di muka Kedutaan Amerika -- diplomat Amerika terakhir meninggalkan Baghdad pada Jumat pekan lalu. Memang, suasana cukup membikin gelisah, terutama bagi orang asing. Hotel-hotel kosong, kecuali yang besar-besar. Namun, hotel besar itu pun hanya diisi oleh wartawan luar negeri dan diplomat-diplomat yang hendak berangkat pulang ke negeri mereka sendiri -- atau setidaknya keluar dari Irak. Embargo ekonomi oleh Amerika dan sekutunya memang ada dampaknya, tapi tidak banyak. Barang-barang impor kurang, terutama obat-obatan. Di beberapa pusat kesehatan dan klinik, banyak yang antre beli obat. Konon, beberapa rumah sakit sangat kekurangan obat. Dan katanya yang paling menderita anak-anak. Namun, umumnya barang-barang masih juga bisa masuk, mungkin dari Yordania. Makanan, apalagi yang produksi dalam negeri, cukup banyak. Termasuk sayur-mayur, daging, dan buah-buahan. Yang tidak terlihat adalah ayam dan telur ayam. Ayam rupanya boleh dikata sudah habis. Orang tak lagi beternak ayam karena makanan ayam harus diimpor. Tetapi rakyat tidak usah khawatir harga-harga naik karena harga ditentukan oleh pemerintah. Akhir pekan lalu di pasar Al-Doora salah satu dari lima pasar pusat di Baghdad, orang sibuk belanja. Seorang Mohamad, pedagang sayuran setengah baya, mengatakan ia setuju dengan keputusan-keputusan Presiden Saddam. "Ini perang jihad," katanya. "Kami berhasil mengalahkan Iran, pasti menang lawan Amerika." Toh tetap terasa kekurangan kebutuhan pokok, seperti terigu, beras, minyak goreng, gula, dan teh. Bahan-bahan ini diransum oleh pemerintah. Ali Hussein, pegawai departemen penerangan, yang hidup dengan satu istri dan empat anak, tiap tanggal 13 mengambil jatahnya di satu toko dekat rumahnya. Setiap bulan ia terima 36 kg terigu, 10 kg beras, 3 kg minyak goreng, 9 kg gula, dan 1,5 kg teh. Menurut Ali, meski harus hidup pas-pasan ("Anak-anak saya makannya banyak") ia rela berkorban. Hiburan terbatas. Bioskop dan restoran banyak yang tutup. Tapi kehidupan muda-mudi seperti tak terusik. Banyak terlihat pasangan yang berkencan. Di taman-taman yang terletak di tepi Sungai Tigris, kelihatan mereka asyik pacaran. Di radio dan televisi, acara-acara hiburan berlangsung terus. Radio Baghdad menyiarkan dalam bahasa Inggris, dan sering menghidangkan lagulagu Barat populer. Bagi wartawan asing, ternyata ada batasan bergerak juga. Misalnya, banyak tempat yang tak boleh difoto. Dekat sebuah pasar seorang wanita tua mengangkut barangnya di punggung keledai. Ini pemandangan yang termasuk tak boleh dijepret kamera. Juga dilarang mengambil foto polisi dan tentara meski mereka lagi santai. Tempat-tempat yang dianggap strategis, seperti gedung pemerintah dan pabrik, juga tak boleh difoto. Sulit membaca perasaan rakyat yang sebenarnya. Apakah betul mereka tidak takut perang. Apakah betul ini karena mereka sudah pernah mengalami perang (dengan Iran). Atau karena ini perintah pemerintah. Kegiatan politik, sosial, dan ekonomi memang diatur ketat oleh pemerintah sehingga tidak ada perlawanan. Terkesan bahwa semua orang takut dilaporkan pada polisi atau penguasa. Setiap lembaga penting, termasuk koran-koran dan organisasi damai, ditangani pemerintah. Konon, suasana tenang sengaja diciptakan agar terkesan Baghdad sebenarnya tak mau perang, tapi jadi korban. Konon, ada rencana, ibu kota ini akan dikosongkan begitu perang meletus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini