Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RABU 27 Februari lalu merupakan hari paling berkesan bagi Dwi Subagyo. Warga Desa Sumberagung di kaki Gunung Kelud, Blitar, Jawa Timur, itu mewakili desanya menerima sertifikat tanah yang diberikan pejabat Badan Pertanahan Nasional di pendapa kantor bupati. Perwakilan delapan desa di lima kecamatan juga mendapat sertifikat berlabel Program Pembaruan Agraria Nasional itu. Hari itu BPN Blitar membagikan total 12 ribu sertifikat.
Dwi, 40 tahun, mengantongi tiga sertifikat. Sertifikat pertama untuk tanah 1.054 meter persegi atas namanya; dua sertifikat masing-masing 2.300 meter persegi dan 754 meter persegi atas nama istrinya, Chotimah, 39 tahun. Sertifikat dengan tanah paling luas itulah yang paling membahagiakan Dwi. Di atas tanah itu berdiri rumah keluarga Dwi, berlantai semen, dengan rompal tak terhitung.
”Setelah menerima sertifikat, saya tidak waswas lagi atas hak milik kami,” kata ayah dua anak itu. Ketika Tempo datang ke rumahnya, Kamis dua pekan lalu, dua tukang sedang memasang keramik pengganti lantai semen. ”Biar kayak rumah orang di kota,” katanya. ”Kebetulan ada rezeki sisa panen.” Dwi menuturkan, rumah ini warisan orang tua Chotimah, yang disebut-sebut sebagai anak dari orang pertama yang menghuni dusun itu.
Keluarga Dwi adalah satu dari ribuan keluarga di 33 provinsi di Indonesia yang mendapat keuntungan dari Program Pembaruan Agraria Nasional—atau yang disebut juga Reformasi Agraria. Program ini sesungguhnya dicetuskan pada 1960-an—di masa Presiden Soekarno—tapi belum sempat dilaksanakan. Di masa Soeharto, meski Reformasi Agraria merupakan salah satu program Badan Pertanahan Nasional, cuma sedikit tanah yang dibagi.
Dalam pidato politiknya pada 31 Januari 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan, dalam kurun 1961-2004, hanya 1,15 juta hektare tanah yang dibagikan kepada rakyat. Mulai 2005, Reformasi Agraria dikebut. Pemerintah membebaskan pengurusan 410.361 sertifikat. Setahun kemudian, 591 ribu bidang tanah diberi sertifikat cuma-cuma. Pada tahun itu pula Presiden mengeluarkan peraturan tentang pembaruan agraria.
Sepanjang tahun lalu, pemerintah membebaskan pengurusan sertifikat 1,1 juta bidang tanah. Hampir seperlimanya di Nanggroe Aceh Darussalam. Tahun ini pemerintah menargetkan sertifikasi 1,5 juta bidang tanah. ”Itu belum termasuk target sertifikasi secara swadaya yang mendapat beragam subsidi, sebanyak 2,1 juta bidang tanah,” kata Nur Marzuki, Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri BPN.
Penerbitan sertifikat lahan tak cuma memberikan kepastian hukum atas tanah, seperti yang dirasakan keluarga Dwi di Blitar. Dengan sertifikat, warga diharapkan memiliki kemampuan ekonomi lebih baik, karena tanah miliknya yang sah bisa dijadikan jaminan pinjaman untuk modal usaha. ”Ini sesuai dengan teori kepemilikan aset yang dikemukakan ekonom terkemuka asal Peru, Hernando de Soto,” kata juru bicara BPN, Gunanegara.
Di negara asal De Soto, program ini sukses melahirkan ratusan ribu bisnis baru. Pemerintah pun kebagian pemasukan melalui pajak. Ia mengusulkan pemerintah memberikan sertifikat resmi bagi semua tanah dan rumah kaum miskin yang berada di jalur ekstralegal. ”Legalkan properti mereka, sehingga mereka masuk sistem ekonomi pasar,” kata De Soto ketika berkunjung ke Tempo tahun lalu. Cara ini, katanya, akan memberikan efek domino.
Menurut Nur Marzuki, dari target 3,6 juta sertifikasi tahun ini, telah 40 persen yang selesai. Tanah yang diberi sertifikat cuma-cuma itu pada umumnya tanah bekas perkebunan yang dikelola warga. Ada pula tanah yang di atasnya berdiri tempat tinggal, yang sudah turun-temurun dihuni, atau yang berasal dari hutan konversi, yang letaknya jauh di pedalaman atau di kaki-kaki gunung.
Lihatlah dua bidang tanah atas nama Dwi dan istrinya di Blitar. Dua lahannya yang berwujud ladang dan persawahan berada di lereng gunung yang sulit dijangkau. Diperlukan hampir satu jam menuju lahan itu, melalui jalan setapak yang terjal dan licin diguyur hujan. Dulu, kata Chotimah, tanah itu bekas perkebunan Belanda. Tanah itu diperoleh secara turun-temurun dari para leluhurnya yang bekerja sebagai kuli kebun.
Sertifikasi lahan bekas perkebunan juga menjadi prioritas di Sumatera Utara. Sepuluh kabupaten dan kota dengan total 223 desa mulai disibukkan oleh kegiatan sertifikasi awal bulan ini. Kantor Wilayah BPN Sumatera Utara ditargetkan mencetak sekitar 300 ribu sertifikat tanah sebelum 2009. Sebanyak 57 ribu sertifikat akan dibagikan kepada petani miskin. ”Ini jumlah terbesar di Indonesia,” kata Kepala Kantor Wilayah BPN Sumatera Utara Horasman Sitanggang.
BPN Sumatera Utara juga menyiapkan bibit dan modal untuk petani yang lahannya sudah disertifikasi lewat program ini. Tapi ada syaratnya. ”Petani yang lahannya sudah besertifikat harus membentuk gabungan kelompok tani,” kata Horasman. Untuk menambah modal usaha petani, kantornya telah menggandeng Bank Rakyat Indonesia sebagai pemberi kredit.
Toh, program sertifikasi yang seharusnya sangat membantu rakyat miskin ini malah menimbulkan kesulitan baru bagi para pemilik lahan. ”Saya belum bisa mengambil sertifikat karena belum punya biaya,” kata Syahri, 55 tahun, jiran sekampung Dwi Subagyo. ”Dulu dijanjikan gratis.” Padahal Syahri, yang sudah setahun lebih menanti sertifikatnya turun, punya rencana menjaminkan surat kepemilikan tanah itu untuk mendapat pinjaman bank.
Syahri mengatakan luas tanah miliknya 32 are, dengan nilai jual obyek pajak Rp 75 juta. Menurut ketentuan BPN, pemilik tanah dengan NJOP di atas Rp 20 juta harus membayar pajak senilai seperempat dari lima persen NJOP. Meski tak sampai Rp 1 juta, Syahri mengaku keberatan melunasi pajak itu. Apalagi pemberitahuan biaya pajak itu baru disampaikan kepada warga setelah sertifikat siap diserahkan.
Nur Marzuki mengatakan ketentuan biaya pajak itu memang memberatkan, terutama bagi para petani miskin. Ia meminta Departemen Keuangan mencari terobosan mengatasi masalah ini. ”Misalnya, pajak itu semestinya hanya ada jika terjadi jual-beli tanah,” katanya. Wakil Ketua Komisi Pertanahan DPR Ida Fauziah meminta pemerintah mencari jalan keluar agar warga benar-benar tidak mengeluarkan uang untuk sertifikasi.
Ida mengatakan program ini sebenarnya menjadi kampanye yang baik bagi Presiden untuk menarik simpati menjelang Pemilu 2009. Apalagi Presiden ingin proyek ini tuntas sebelum tahun depan. ”Itu sah-sah saja,” katanya. Juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng, mengatakan program itu semata bertujuan menguatkan kemampuan rakyat. Jika ditafsirkan menjadi cara menarik simpati, ”Itu terserah yang menilai,” katanya.
Adek Media (Jakarta), Dwidjo U. Maksum (Blitar), Sahat Simatupang (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo