RIBUAN lilin berkelip di alun-alun terutama yang berdebu di Tel
Aviv, Israel, Minggu malam yang lalu. Para musisi terkenal
negeri itu memainkan lagu mereka, di hadapan 80.000 hadirin.
Acara: sebuah penghormatan rakyat Israel kepada seorang presiden
negeri lain, bekas musuh besar mereka, mendiang Anwar Sadat.
Mungkin tak ada orang Arab lain, atau tokoh asing lain, yang
dihormati begitu hebat oleh orang Yahudi. Ini justru dalam
hari-hari berkabung setelah Sadat tertembak mati di panggung
kehormatan (6 Oktober) di Kairo. Jika orang merasa hal itu agak
aneh, sebuah kartun Jerzsalem Post edisi internasional
menjelaskannya dengan nada khidmat: "Kenyataan, bahwa kita dapat
berkabung untuk seorang yang baru 8 tahun yang lalu melancarkan
serangan besar kepada diri kiu, merupakan tanda rasa lapar kiu
kepada perdamaian, dan juga satu ukuran kebesaran orang itu."
Dengan inflasi yang baru saja turun sedikit dari angka 100%
setahun, dan anggaran peruhanan yang sekitar 30%, rasa lapar
seperti itu dapat tekanan istimewa nampaknya. Sejak tahun-tahun
terakhir ini Sadat telah berhasil melegakan hati Israel. Dengan
perjanjian Camp David, Sadat melepaskan sedikit rasa terjepit
Israel di tengah negara-negara Arab yang memusuhinya. Kini tiap
hari beratus-ratus orang Israel, bagaikan air mencari saluran,
mengalir ke Mesir sebagai turis. "Kami biasa merasa terkurung
maka kami senang bepergian begini,' kau seorang wisatawan dari
Tel Aviv di Kairo.
Kuburan
Mungkin sebab itulah Israel nampak ngebet sekali menginginkan
agar perundingan dengan Mesir dilanjutkan, justru setelah Sadat
tiada. Hari Minggu yang lalu di Tel Aviv Menteri Pertahanan
Israel Ariel Sharon menyambut dengan gembira tibanya Menteri
Luar Negeri Mesir Kamal Hassan Ali untuk anura lain rencana
penarikan mundur Israel dari Sinai. "Kedaungan anda persis
seperti yang diharapkan sebelumnya," kata Sharon, dengan
senyumnya yang seperti bocah.
Tapi nampaknya jelas bahwa jika Israel bicara soal "proses
perdamaian," ia cuma mau membatasi diri--setidaknya sementara
ini--dalam hubungannya dengan Mesir. Perdana Menteri Menachem
Begin misalnya serta merta menolak isyarat perdamaian yang
disuarakan oleh Pangeran Fahd dari Arab Saudi baru-baru ini. Ia
menyebut perdamaian yang ditawarkan Fahd sebagai "damainya
kuburan" (lihat wawancara).
Dengan demikian Begin berada dalam sisi lain, tapi dalam garis
yang sama, dengan sayap keras Suriah dan organisasi pembebasan
Palestina (PLO) Baik Begin maupun musuh-musuhnya ini sama-sama
menolak rencana Arab Saudi.
Yang menarik, di dalam hal itu Israel berbeda nyata dengan Mesir
setelah Sadat. Menteri Negara untuk Urusan Luar Negeri Mesir,
Bhutros Ghali, dalam pernyataannya kepada mingguan Beirut Al
Usbu al Arab (Pekan Arab) akhir pekan lalu dengan jelas
mengatakan, "Kami mendukung rencana Putra Mahkota Saudi Pangeran
Fahd." Kairo, kata Ghali, tak mengklaim bahwa satu penyelesaian
atas krisis Timur Tengah "hanya terbatas pada Mesir."
Rencana Pangeran Fahd bagi bangsa Arab dewasa ini, memang
merupakan rencana yang bisa memikat. Dalam rencana ini Israel
diserukan untuk menarik mundur pasukannya dari wilayah yang
didudukinya setelah Perang 1967. Diusulkan juga berdirinya
sebuah negara Palestina, dengan Jerusalem sebagai ibukota.
Dan untuk mengimbangi itu semua, disebut perlunya "pengakuan
atas hak semua negara di wilayah itu untuk hidup dalam damai."
Bagi banyak kuping, kalimat terakhir ini mengandung kemauan
mengakui hak hidup Israel--suatu langkah baru dari Saudi.
Sayap keras dari PLO, yang bermaksud menendang Israel ke dasar
laut, tentu menolak gagasan seperti itu. Sebaliknya Israel
merasa bahwa wilayah yang ia peroleh dari pembagian Palestina
tahun 1948 tak memadai untuk pertahanan. Sebelum kemenangannya
di tahun 1967, bagian tengah Israel hanya tipis: jarak antara
pantainya dengan wilayah Jordania rata-rata cuma sekitar 15 km.
"Garis sebelum tahun 1967," kata Menteri Luar Negeri Yitzhak
Shamirtentang usul Arab Saudi, "tak dapat untuk bertahan."
Unggul
Penolakan Israel untuk mengembalikan semua wilayah Arab yang
direbutnya, meskipun hak hidupnya diakui dan perdamaian
ditawarkan, nampaknya akan tetap menjauhkan negeri itu dari
penyelesaian ketegangan yang menyeluruh.
Tentu saja Israel, dengan bantuan AS, dan dengan sistem
mobilisasi dan mutu tempur tentaranya yang unggul, dapat menjaga
diri sebelum ketegangan mereda sama sekali di Timur Tengah. Tapi
jika niatnya adalah berbaik lengkap dengan Mesir, secara
terpisah sama sekali dari negeri Arab yang penting seperti
Saudi, Israel mungkin segera akan mengalami persoalan baru.
Dukungan Mesir kepada langkah Saudi adalah satu tanda awal.
Pernyataan Mubarak segera setelah ia menggantikan Sadat, tentang
bagian Jerusalem yang milik Arab, juga tanda lain. Menteri Luar
Negeri Israel Shamir agaknya sudah menduga tanda-tanda itu,
ketika ia mengatakan bahwa pernyataan Mubarak tersebut "tak
membantu proses perdamaian.
Banyak yang mengatakan memang, bahwa Mesir di bawah Mubarak akan
lain dari Mesir di bawah Sadat. Sementara persetujuan Camp David
diteruskan, dan Mesir memperoleh kembali wilayahnya tanpa
peperangan, Mubarak juga mau lebih dekat kembali ke negeri
seperti Arab Saudi dan Kuwait.
Berbeda dengan Sadat, Mubarak tak pernah--dan agaknya tak
ingin--mengeluarkan kata-kata keras terhadap para pemimpin Arab
lainnya. Dia lebih pendiam dan lebih berhati-hati. Dia juga
telah menyaksikan bahwa gerakan Islam militan dan radikal yang
menentang pemerintahannya, dari kalangan Ikhwanul Muslimin
maupun lainnya, hanya bisa diselesaikan bersama dengan negara
Arab lain yang sama-sama mencemaskannya.
Dan tak kalah penting, Mesir di bawah Mubarak kian dihadapkan
pada tuntutan perbaikan ekonomi yang mendesak: perdamaian harus
membuahkan hidup yang lebih baik. Untuk itu rujuknya kembali
Kairo dengan ibukota lain di Arab, terutama Ryadh, bisa membantu
meringankan tekanan.
Memang, hanya 6% perdagangan Mesir dengan negeri Arab lain.
Bantuan negeri Arab, yang pernah mencapai US$ 2milyar di tahun
1977, untuk menolong Mesir setelah terjadi kerusuhan besar di
pelbagai kota, kini hampir uk berarti. Juga boikot terhadap
Mesir di pelbagai organisasi, baik dalam Organisasi Negeri Arab
Pengekspor Minyak (OAPEC), maupun Dana Moneter Arab, lebih
bersifat pukulan politis. Tapi ada hal lain yang bisa lebih
serius.
Hampir tiap hari di tepi beberapa jalan Kairo yang kumal dan
riuh, berpuluh-puluh orang Mesir antre di depan kantor
perusahaan penerbangan Saudi, atau Libya, atau Kuwait. Mereka
adalah para buruh yang berangkat kerja ke pelbagai negara Arab
lain. Ada sekitar 1,5 sampai 2 juta orang seperti ini, yang bagi
rakyat Mesir menghasilkan uang sampai hampir US$ 2 milyar
setahun. Bila Mesir kian dikucilkan, bisa terjadi bahwa ekspor
buruh ini akan dipersulit, dan satu krisis sosial bisa terjadi.
Memang, selama ini blokade terhadap lalu-lintas buruh dan uang
gaji mereka belum terjadi. Walaupun hubungan antara Libya dan
Mesir buruk sekali, teup ada 200.000 orang Mesir di negerinya
Muammar Qadafi itu. Di samping itu, ada 60.000 guru Mesir di
Arab Saudi. Tapi kenyataan itu justru menunjukkan bahwa jembatan
antara Mesir dan tetangganya yang Arab sangat penting. Jembatan
itu kini hanya menyempit, rapuh, dan Mubarak punya kepentingan
memperkokohnya kembali.
Terutama karena perbaikan hubungan Mesir dengan negeri Arab lain
juga bisa mempermudah Mesir memperoleh bantuan luar negeri.
Setelah Presiden Sadat menyatakan kebijaksanaan nfitah atau
"pintu terbuka" di tahun 1973, ia mengatakan pula perlunya
semacam "Rencana Marshall" bagi Mesir: bantuan besar-besaran
dari Barat seperti yang dilakukan oleh AS terhadap Eropa sehabis
Perang Dunia II.
Sadat menyebut angka US$ 10 sampai 15 milyar yang dijamin buat
masa lima tahun. Tapi sejauh ini, negara seperti Jepang dan
Jerman Barat harus berhati-hati untuk memompa Mesir dengan dana
sebesar itu. Mereka takut itu akan merusak hubungan mereka
dengan negeri Arab lain yang memusuhi Kairo.
Adakah langkah akan kian jelas nanti dari Mubarak untuk
mengurangi permusuhan itu? Suara di kalangan pemimpin Israel
menyatakan mereka uk berkeberatan dengan itu, "asal tak
mengganggu persetujuan Camp David." Tapi pemerintah Begin jelas
bukan pemerintah yang ramah kepada negeri semacam Arab Saudi.
Kesulitan Israel ialah bila prakarsa Pangeran Fahd yang
disetujui Mesir kemudian dapat dukungan luas dalam opini
dunia--dan Amerika Serikat mau ikut menawarkan jasanya.
Bila itu terjadi, kembali Israel akan terpencil. Kini pun,
sementara ia menolak berunding dengan PLO--sebagaimana PLO pun
menolak kehadiran Israel-kian banyak suara yang berseru untuk
menerima organisasi pembebasan Palestina itu. Bukan cuma bekas
Presiden Carter dan Ford dari AS. Di Yunani, pemerintah sosialis
yang baru menang pekan lalu mengulurkan tangan kepada Yasser
Arafat. Dan tentu saja Israel kecewa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini