Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Salam Kairo Untuk Ryadh ?

Sementara persetujuan Camp David diteruskan, Presiden Mubarak tertarik untuk rujuk kembali dengan negara-negara Arab. Gagasan damai Pangeran Fahd merisaukan Israel.

31 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIBUAN lilin berkelip di alun-alun terutama yang berdebu di Tel Aviv, Israel, Minggu malam yang lalu. Para musisi terkenal negeri itu memainkan lagu mereka, di hadapan 80.000 hadirin. Acara: sebuah penghormatan rakyat Israel kepada seorang presiden negeri lain, bekas musuh besar mereka, mendiang Anwar Sadat. Mungkin tak ada orang Arab lain, atau tokoh asing lain, yang dihormati begitu hebat oleh orang Yahudi. Ini justru dalam hari-hari berkabung setelah Sadat tertembak mati di panggung kehormatan (6 Oktober) di Kairo. Jika orang merasa hal itu agak aneh, sebuah kartun Jerzsalem Post edisi internasional menjelaskannya dengan nada khidmat: "Kenyataan, bahwa kita dapat berkabung untuk seorang yang baru 8 tahun yang lalu melancarkan serangan besar kepada diri kiu, merupakan tanda rasa lapar kiu kepada perdamaian, dan juga satu ukuran kebesaran orang itu." Dengan inflasi yang baru saja turun sedikit dari angka 100% setahun, dan anggaran peruhanan yang sekitar 30%, rasa lapar seperti itu dapat tekanan istimewa nampaknya. Sejak tahun-tahun terakhir ini Sadat telah berhasil melegakan hati Israel. Dengan perjanjian Camp David, Sadat melepaskan sedikit rasa terjepit Israel di tengah negara-negara Arab yang memusuhinya. Kini tiap hari beratus-ratus orang Israel, bagaikan air mencari saluran, mengalir ke Mesir sebagai turis. "Kami biasa merasa terkurung maka kami senang bepergian begini,' kau seorang wisatawan dari Tel Aviv di Kairo. Kuburan Mungkin sebab itulah Israel nampak ngebet sekali menginginkan agar perundingan dengan Mesir dilanjutkan, justru setelah Sadat tiada. Hari Minggu yang lalu di Tel Aviv Menteri Pertahanan Israel Ariel Sharon menyambut dengan gembira tibanya Menteri Luar Negeri Mesir Kamal Hassan Ali untuk anura lain rencana penarikan mundur Israel dari Sinai. "Kedaungan anda persis seperti yang diharapkan sebelumnya," kata Sharon, dengan senyumnya yang seperti bocah. Tapi nampaknya jelas bahwa jika Israel bicara soal "proses perdamaian," ia cuma mau membatasi diri--setidaknya sementara ini--dalam hubungannya dengan Mesir. Perdana Menteri Menachem Begin misalnya serta merta menolak isyarat perdamaian yang disuarakan oleh Pangeran Fahd dari Arab Saudi baru-baru ini. Ia menyebut perdamaian yang ditawarkan Fahd sebagai "damainya kuburan" (lihat wawancara). Dengan demikian Begin berada dalam sisi lain, tapi dalam garis yang sama, dengan sayap keras Suriah dan organisasi pembebasan Palestina (PLO) Baik Begin maupun musuh-musuhnya ini sama-sama menolak rencana Arab Saudi. Yang menarik, di dalam hal itu Israel berbeda nyata dengan Mesir setelah Sadat. Menteri Negara untuk Urusan Luar Negeri Mesir, Bhutros Ghali, dalam pernyataannya kepada mingguan Beirut Al Usbu al Arab (Pekan Arab) akhir pekan lalu dengan jelas mengatakan, "Kami mendukung rencana Putra Mahkota Saudi Pangeran Fahd." Kairo, kata Ghali, tak mengklaim bahwa satu penyelesaian atas krisis Timur Tengah "hanya terbatas pada Mesir." Rencana Pangeran Fahd bagi bangsa Arab dewasa ini, memang merupakan rencana yang bisa memikat. Dalam rencana ini Israel diserukan untuk menarik mundur pasukannya dari wilayah yang didudukinya setelah Perang 1967. Diusulkan juga berdirinya sebuah negara Palestina, dengan Jerusalem sebagai ibukota. Dan untuk mengimbangi itu semua, disebut perlunya "pengakuan atas hak semua negara di wilayah itu untuk hidup dalam damai." Bagi banyak kuping, kalimat terakhir ini mengandung kemauan mengakui hak hidup Israel--suatu langkah baru dari Saudi. Sayap keras dari PLO, yang bermaksud menendang Israel ke dasar laut, tentu menolak gagasan seperti itu. Sebaliknya Israel merasa bahwa wilayah yang ia peroleh dari pembagian Palestina tahun 1948 tak memadai untuk pertahanan. Sebelum kemenangannya di tahun 1967, bagian tengah Israel hanya tipis: jarak antara pantainya dengan wilayah Jordania rata-rata cuma sekitar 15 km. "Garis sebelum tahun 1967," kata Menteri Luar Negeri Yitzhak Shamirtentang usul Arab Saudi, "tak dapat untuk bertahan." Unggul Penolakan Israel untuk mengembalikan semua wilayah Arab yang direbutnya, meskipun hak hidupnya diakui dan perdamaian ditawarkan, nampaknya akan tetap menjauhkan negeri itu dari penyelesaian ketegangan yang menyeluruh. Tentu saja Israel, dengan bantuan AS, dan dengan sistem mobilisasi dan mutu tempur tentaranya yang unggul, dapat menjaga diri sebelum ketegangan mereda sama sekali di Timur Tengah. Tapi jika niatnya adalah berbaik lengkap dengan Mesir, secara terpisah sama sekali dari negeri Arab yang penting seperti Saudi, Israel mungkin segera akan mengalami persoalan baru. Dukungan Mesir kepada langkah Saudi adalah satu tanda awal. Pernyataan Mubarak segera setelah ia menggantikan Sadat, tentang bagian Jerusalem yang milik Arab, juga tanda lain. Menteri Luar Negeri Israel Shamir agaknya sudah menduga tanda-tanda itu, ketika ia mengatakan bahwa pernyataan Mubarak tersebut "tak membantu proses perdamaian. Banyak yang mengatakan memang, bahwa Mesir di bawah Mubarak akan lain dari Mesir di bawah Sadat. Sementara persetujuan Camp David diteruskan, dan Mesir memperoleh kembali wilayahnya tanpa peperangan, Mubarak juga mau lebih dekat kembali ke negeri seperti Arab Saudi dan Kuwait. Berbeda dengan Sadat, Mubarak tak pernah--dan agaknya tak ingin--mengeluarkan kata-kata keras terhadap para pemimpin Arab lainnya. Dia lebih pendiam dan lebih berhati-hati. Dia juga telah menyaksikan bahwa gerakan Islam militan dan radikal yang menentang pemerintahannya, dari kalangan Ikhwanul Muslimin maupun lainnya, hanya bisa diselesaikan bersama dengan negara Arab lain yang sama-sama mencemaskannya. Dan tak kalah penting, Mesir di bawah Mubarak kian dihadapkan pada tuntutan perbaikan ekonomi yang mendesak: perdamaian harus membuahkan hidup yang lebih baik. Untuk itu rujuknya kembali Kairo dengan ibukota lain di Arab, terutama Ryadh, bisa membantu meringankan tekanan. Memang, hanya 6% perdagangan Mesir dengan negeri Arab lain. Bantuan negeri Arab, yang pernah mencapai US$ 2milyar di tahun 1977, untuk menolong Mesir setelah terjadi kerusuhan besar di pelbagai kota, kini hampir uk berarti. Juga boikot terhadap Mesir di pelbagai organisasi, baik dalam Organisasi Negeri Arab Pengekspor Minyak (OAPEC), maupun Dana Moneter Arab, lebih bersifat pukulan politis. Tapi ada hal lain yang bisa lebih serius. Hampir tiap hari di tepi beberapa jalan Kairo yang kumal dan riuh, berpuluh-puluh orang Mesir antre di depan kantor perusahaan penerbangan Saudi, atau Libya, atau Kuwait. Mereka adalah para buruh yang berangkat kerja ke pelbagai negara Arab lain. Ada sekitar 1,5 sampai 2 juta orang seperti ini, yang bagi rakyat Mesir menghasilkan uang sampai hampir US$ 2 milyar setahun. Bila Mesir kian dikucilkan, bisa terjadi bahwa ekspor buruh ini akan dipersulit, dan satu krisis sosial bisa terjadi. Memang, selama ini blokade terhadap lalu-lintas buruh dan uang gaji mereka belum terjadi. Walaupun hubungan antara Libya dan Mesir buruk sekali, teup ada 200.000 orang Mesir di negerinya Muammar Qadafi itu. Di samping itu, ada 60.000 guru Mesir di Arab Saudi. Tapi kenyataan itu justru menunjukkan bahwa jembatan antara Mesir dan tetangganya yang Arab sangat penting. Jembatan itu kini hanya menyempit, rapuh, dan Mubarak punya kepentingan memperkokohnya kembali. Terutama karena perbaikan hubungan Mesir dengan negeri Arab lain juga bisa mempermudah Mesir memperoleh bantuan luar negeri. Setelah Presiden Sadat menyatakan kebijaksanaan nfitah atau "pintu terbuka" di tahun 1973, ia mengatakan pula perlunya semacam "Rencana Marshall" bagi Mesir: bantuan besar-besaran dari Barat seperti yang dilakukan oleh AS terhadap Eropa sehabis Perang Dunia II. Sadat menyebut angka US$ 10 sampai 15 milyar yang dijamin buat masa lima tahun. Tapi sejauh ini, negara seperti Jepang dan Jerman Barat harus berhati-hati untuk memompa Mesir dengan dana sebesar itu. Mereka takut itu akan merusak hubungan mereka dengan negeri Arab lain yang memusuhi Kairo. Adakah langkah akan kian jelas nanti dari Mubarak untuk mengurangi permusuhan itu? Suara di kalangan pemimpin Israel menyatakan mereka uk berkeberatan dengan itu, "asal tak mengganggu persetujuan Camp David." Tapi pemerintah Begin jelas bukan pemerintah yang ramah kepada negeri semacam Arab Saudi. Kesulitan Israel ialah bila prakarsa Pangeran Fahd yang disetujui Mesir kemudian dapat dukungan luas dalam opini dunia--dan Amerika Serikat mau ikut menawarkan jasanya. Bila itu terjadi, kembali Israel akan terpencil. Kini pun, sementara ia menolak berunding dengan PLO--sebagaimana PLO pun menolak kehadiran Israel-kian banyak suara yang berseru untuk menerima organisasi pembebasan Palestina itu. Bukan cuma bekas Presiden Carter dan Ford dari AS. Di Yunani, pemerintah sosialis yang baru menang pekan lalu mengulurkan tangan kepada Yasser Arafat. Dan tentu saja Israel kecewa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus