Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Korupsi: Mana Ada Yang Bersih

Terjadi perdebatan menyusul pernyataan dua pejabat tentang korupsi yang ada di mana-mana. Padahal aparat pengawasan korupsi sudah banyak.

31 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KORUPSI menjadi buah bibir lagi. Media massa melansir berita itu sejak akhir September dan sampai pekan kemarin berbagai tanggapan mengenai tindakan melanggar hukum dan moral itu masih saja bermunculan. Yang mungkin menarik, awal berita tentang korupsi itu sendiri bukannya muncul karena adanya kelompok masyarakat yang "turun ke jalan", tetapi justru muncul dari Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim. Berbicara di depan rapat kerja Departemen Pekerjaan Umum di Balai Sidang, Senayan 29 September yang lalu Emil berkata: "Apabila korupsi dan penyelewengan di Departemen Pekerjaan Umum dapat diatasi, ini berarti sebagian besar uang negara dapat diselamatkan. Karena PU merupakan departemen yang paling banyak menyerap anggaran pembangunan negaradarisemua departemen yang ada." Seorang staf dari bagian hubungan masyarakat PU menyebutkan anggaran 1981/82 departemen itu meliputi Rp 761 milyar atau sekitar 12% dari seluruh anggaran pemerintah. Rapat itu sendiri sebenarnya merupakan rapat tertutup. Emil Salim kabarnya sampai tiga kali menyebutkan bahwa rapat itu bukan untuk umum. Toh pernyataannya yang tajam itu tersebar ke luar dan dimuat di harian Kompas keesokan harinya. Berita dengan huruf-huruf besar di halaman I itu kemudian dengan cepat berkembang. Para wartawan yang haus berita beberapa hari kemudian memanfaatkan pertemuan dengan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (Bapeka) Umar Wirahadikusumah selesai pelantikan dua orang anggota baru badan pemeriksa keuangan negara itu. Mereka menanyakah tanggapannya mengenai ucapan Emil. Umar ketika itu membenarkan ucapan Emil Salim. "Hal ini bisa dibuktikan dengan data yang ditemukan Bapeka," kata Umar menimpali. Ketika didesak dengan pertanyaan bagaimana dengan departeman-departemen lain di luar PU, secara singkat dia menjawab: "Mana ada yang bersih." Ketua Bapeka itu lantas mengungkapkan, data mengenai adanya korupsi di PU serta departeman-departemen lain ditemukan sejak ia menjadi Ketua Bapeka tahun 1973 sampai sekarang. Sekalipun diakuinya jumlahnya tiap tahun semakin menurun. Menurt Umar Wirahadikusumah, Departemen PU sebenarnya memiliki sarana pengendalian keuangan yang lengkap dan mutakhir. Bahkan di Direktorat Jenderal Bina Marga sudah ada ketentuan yang disebut Rencana Operasi Keuangan yang kemudian dijabarkan dengan Keppres 14A. "Jadi kalau sudah dilengkapi dengan sarana yang demikian, tapi dalam tubuh PU itu masih terjadi korupsi, jelas hal ini karena mental petugas. Yang menjadi pertanyaan sekarang apakah perbuatan korupsi itu sudah merupakan hobby atau karena erosi mental," katanya. Sudah 8 tahun Umar menjabat Ketua Bapeka, tetapi keterangan tambahannya untuk sentilan Emil Salim terhadap para pejabat PU itu, nampaknya merupakan keterangan paling menarik yang pernah dia berikan. Data-data penyelewengan berbagai departemen menurut dia secara rutin telah disampaikan kepada Presiden. Juga kepada DPR. Pernyataan terbuka yang menghebohkan tentang wabah korupsi yang menyerang seluruh departemen pemerintah itu rupanya belum menjadi sikap seluruh pejabat pemerintah. Memberikan sambutan pada Musyawarah Anur-Kota Seluruh Indonesia 12 Oktober di Gedung Merdeka Bandung, Menteri Dalam Negeri Amirmachmud menyatakan kekesalannya terhadap pernyauan sekitar korupsi tersebut. "Pegawai yang jujur jumlahnya lebih banyak dari pegawai yang korup. Ini bisa dilihat dari roda pemerintahan yang masih berjalan baik. Jika yang korup lebih banyak tentunya negara ini sudah ambruk," katanya. Di hadapan sekitar 20Q0 hadirin, Amirmachmud kemudian menahtang: "Terus terang saja, kalau ada pejabat atau aparat kita di pusat yang dirinya resah karena melihat adanya korupsi, lapor saja kepada Pak Harto. Minta berhenti. Bilang sama Pak Harto 'saya tak sanggup lagi'. Nah begitu 'kan lebih mudah. Tidak perlu ribut-ribut. " Dia sendiri katanya akan minta berhenti kalau memang sudah tak sanggup lagi menghadapi korupsi. Pangkopkamtib Laksamana Sudomo rupanya perlu turun tangan juga untuk menjadi penengah dalam "perdebatan tingkat tinggi" itu. Sehari setelah reaksi keras dari Menteri Dalam Negeri itu Sudomo datang menemui dan mengadakan pembicaraan selama satu jam dengan Ketua Bapeka. "Untuk mengecek kebenaran pernyataan Ketua Bapeka," katanya kepada para wartawan. Sudomo rupanya menganggap pernyataan yang dilontarkan para pejabat lain terhadap Ketua Bapeka itu, dilakukan tanpa mengecek dulu kepada yang bersangkutan. "Seperti sekarang ini, belum tahu duduk persoalan sebenarnya sudah ada yang memberikan tanggapan. Jadi makin teganglah kita. Apalagi ini menyangkut korupsi," katanya. Korups memang dianggap masyarakat sbagai momok yang paling berbahaya di Indonesia. Hasil pengumpulan pendapat TEMPO tahun lalu- mendukung pendapat ini. Menurut poll tersebut, 36,8% responden berpendapat yang perlu diusahakan adalah pemerintahan yang bersih. Selain itu 43,8% responden menganggap korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebagai ancaman yang terbesar dari dalam negeri. Sebagai perbandingan- hanya 21,6% yang menganggap bangkitnya kembali PKI sebagai ancaman terbesar (TEMPO, 16 Agustus). Yang mengeluh mengenai masih banyaknya praktek korupsi bukan masyarakat Indonesia saja. Minggu kemarin kritik serupa datang pula dari American Chamber of Commerce (Kamar Dagang AS) untuk kawasan Asia-Pasifik. Sekalipun tidak menyebutkan angka, dalam pertemuan empat hari di Hotel Borobudur, Jakarta, Amcham menyebutkan korupsi masih merupakan persoalan meskipun pemerintah sudah melaksanakan pembersihan sejak empat uhun yang lalu. PRESIDEN Soeharto rupanya cepat tanggap. Hanya beberapa hari setelah heboh korupsi itu, Presiden memberi petunjuk kepada para menteri untuk mengumumkan penyelewengan yang telah ditindak di departemen masing-masing pada setiap apel bendera tanggal 17. Sekalipun pengumuman tentang penyelewengan itu tidak bakal menyebutkan nama-nama para pelaku, kecuali tindakan kejahatan yang dilakukannya, sebagaimana dikatakan Menpan Sumarlin masyarakat dengan dag-dig-dug menunggu saat penting yang mungkin bisa dianggap babak baru dalam sejarah pemberantasan korupsi. Tetapi harapan yang menggelembung itu segera kempes lagi. Karena pada tanggal 17 Oktober ternyata hanya Kejaksaan Agung dan Departemen Perdagangan dan Koperasi yang mengumumkan tentang penindakan terhadap pegawai yang dianggap bersalah. Banyak instansi lain yang malahan tidak menyelenggarakan apel bendera dengan berbagai alasan. Dalih yang banyak dikemukakan: instruksi untuk melaksanakan itu belum diterima. Jaksa Agung Ismail Saleh dalam upacara bendera itu mengumumkan 62 yang telah ditindak tahun 1980. Sedangkan tahun ini ( sampai September) sudah tercabut 74 orang. "Mereka dikenakan sanksi disiplin, tetapi ada juga yang diajukan ke pengadilan," kata Jaksa Agung yang bertindak sebagai inspektur upacara. Sedangkan Menteri Perdagangan dan Koperasi dalam upacara serupa melaporkan kepada para ejabat bawahannya tentang ditindaknya 26 pegawai Kantor wilayah di lingkungan departemen yang dia pimpin. Tetapi apa jabatan dan berapa besar uang yang mereka gelapkan sehingga merugikan negara, tidak dijelaskan oleh Ismail Saleh maupun Radius Prawiro. Hanya dari Yogyakarta diperoleh laporan bahwa dua dari pegawai yang ditindak oleh Depdagkop itu hanya pegawai rendahan. "Kedua-duanya dikenakan tindakan muusi lokal," kata R. Ismoe Soewarto, kepala Kantor Wilayah Perdagangan Yogyakarta. Ismoe menerangkan baha pegawai yang kena tindakan itu "menjadi korban dari kejujuran mereka sendiri." Sekitar setengah uhun yang lalu petugas Inspektorat Jenderal Departemen Perdagangan melakukan inspeksi ke Yogya. Ketika itu pejabat dari pusat itu menanyakan kepada pegawai bagian perizinan "apakah masih ada pungutan liar?" Pegawai udi dengan jujur mengatakan: "Memang masih sering orang-orang yang berkepentingan dengan Surat Izin Usaha Perdagangan meninggalkan tip dan besarnya tidak lebih dari Rp 1000," jawab pegawai itu. Pengakuan inilah kemudian yang menurut Ismoe Soewarto membuat anak buahnya itu kena tindakan. Bisa dimengerti bila kemudian banyak orang yang kembali pesimistis pada tekad pemerintah untuk menindak tegas korupsi. Misalnya yang disuarakan anggota DPR dari Fraksi PP, Rachmat Muljomiseno. 'Pengungkapan suatu tindakan pidana korupsi\ mempunyai volume dan ruang lingkup terbatas. Sehingga dalam dua atau tiga kali apel saja sudah habis," katanya. Lagipula untuk memaparkan nama dan perbuatan seseorang pelaku akan sulit, sebelum yang bersangkutan selesai dimejahijaukan. Rachmat juga mengungkapkan membongkar korupsi dapat menimbulkan rasa dendam. Di samping itu kewajiban moral menjaga nama baik korps departemen, merupakan unsur yang mempersukar pengungkapan tindakan korupsi di suatu lembaga pemerintahan. "Menjadi pertanyaan apakah cara ini akan efektif. Karena kita sering tidak konsisten dalam banyak hal," sambut anggota DPR yang lain, Sabam Sirait, Wakil Ketua F-PDI. Kecemasan bahwa kesetiakawanan korps akan bisa menjadi penghalang pemaparan korupsi kelihatannya cukup beralasan. Sekalipun tidak secara langsung membantah keterangan Emil Salim, dua pekan lalu Menteri PU ad mtenm Cosmas Batubara (Poernomosidi Hadjisarosa waktu itu sedang berkunjung ke Arab Saudi) mencoba memberikan gambaran mengenai Departemen PU yang berbeda dari gambaran yang telah diungkapkan Emil Salim. "Jika pelaksanaan pembangunan proyek-proyek di Departemen Pekerjaan Umum tidak sesuai dengan rencana semula, ini tidak berarti penyimpangan," ujar Cosmas Batubara dalam konperensi pers yarlg berlangsung di Ruangan Ampera Departemen Pekerjaan Umum. Sebab, katanya, untuk mencapai hasil yang semaksimal mungkin, departemen itu menempuh kebijaksanaan optimasi. "Optimasi dilakukan pada setiap program," kata Direktur Jenderal Bina Marga, Ir. Suryatin. Dia memberikan contoh jembatan Megawati di Manado. Direncanakan jembatan sepanjang 110 meter itu akan selesai dalam dua tahun dengan biaya Rp 700 juta. Setelah dilakukan optimasi bisa selesai dalam empat bulan tanpa mengurangi mutu. Sedangkan biayanya hanya Rp 240 juta. Kelebihan biaya itu kemudian untuk membangun dua buah jembatan lagi oleh kontraktor yang memenangkan tender semula. Tetapi apakah optimasi seperti itu bukan penyelewengan? Paling tidak dalam hal kontraktor yang sama memperoleh kesempatan mengerjakan dua proyek tambahan, tanpa prosedur tender baru? Inilah yang antara lain dikritik oleh Emil Salim mengenai Departemen PU itu. Termasuk penyimpangan mutu seperti yang terjadi dalam pembangunan rumah dinas bagi Proyek Jalan BandungPadalarang-Cikampek. Dibandingkan dengan departemen-departemen lain, menurut Emil Salim, Departemen Pekerjaan Umum menjadi "juara" dalam hal banyaknya pengusaha ekonomi lemah yang bukan dari daerah setempat. "Juara" dengan proyek di bawah Rp 20 juta yang tidak dikerjakan kontraktor yang semestinya sebagaimana diatur Keppres 14A. PU juga "nomor satu" dalam panjar yang sudah diberikan lebih satu tahun tapi proyek belum dikerjakan. Jumlah uang panjar itu mencapai Rp 5 milyar. Tetapi apakah yang terjadi di departemen yang disorot Emil itu memang sudah merupakan tindakan korupsi sesuai dengan apa yang dimaksud dalam UU Anti Korupsi ? Yaitu perbuatan yang melanggar hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merugikan negara? "Kalau definisi itu dilihat dari persoalan yang lebih luas, maka dapat dikatakan demikian," kata Emil Salim k$pada para wartawan sehabis diterima Presiden Soeharto pertengahan bulan ini. Berbagai pihak menyebutkan bahwa pembuktian korupsi atau tidaknya seseorang sekarang ini hanya soal kepekaan penegak hukum terhadap tingkah-laku seseorang. "Orang Indonesia kalau sudah dapat rezeki nomplok tak bisa menahan diri. Lihat saja bekas Kadolog Kalimantan Timur Budiadji. Dia punya pesawat carteran sendiri. Mondar-mandir ke Jakarta hanya untuk main golf," kata seorang pejabat di bidang pengawasan. SARANA hukum untuk menyidik para pejabat yang dicurigai juga sudah cukup memadai. Pembuktian secara terbalik secara formal memang belum ada. Tetapi Undang-Undang No. 3 tahun 1971 yang mewajibkan tersangka untuk membuktikan bahwa harta bendanya bukan berasal dari korupsi sebenarnya secara material sudah merupakan sarana untuk pembuktian terbalik. Untuk menjadikan niat baik pemerintah menumpas korupsi, Oka Mahendra SH, anggota DPR dari Komisi 11 yang menangani masalah penertiban aparatur negara menghimbau agar "pendaftaran kekayaan pribadi" yang pernah dilansir pemerintah supaya benar-benar pula dilaksanakan. Partisipasi masyarakat sendiri nam paknya cukup. Ini kelihatan dari jumlah surat yang masuk ke Opstib. Menurut Pangkopkamtib dan Ketua Opstib Pusat Sudomo, sejak dibentuknya Opstib tahun 1977 sampai Agustus 1981 surat pengaduan yang masuk dari masyarakat mencapai 69.600 buah. Memang tidak semua pengaduan itu bisa dijadikan bahan penyidikan. Tapi paling tidak sekitar 900 buah di antaranya terbukti memang menyangkut korupsi. Tetapi berapa pejabat lagi yang terlibat dalam tindakan korupsi dan bisa dimejahijaukan dari hasil pemeriksaan Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup terhadap 5.700 proyek, meliputi berbagai departemen masih harus ditunggu. Ketika ditanya mengenai hasilnya Emil meminta supaya bersabar sampai 6 November mendatang. "Daripada memberi kue setengah matang 'kan tak enak," katanya kepada TEMPO. Tetapi nampaknya pengungkapan yang berbobot "kakap" sebagai yang terjadi dengan manipulasi oleh Kadolog Kalimantan Timur Budiaji maupun Deputi Kapolri Siswadji tahun 1979 yang lalu belum pasti akan terjadi. Laporan Emil sendiri harus masuk lebih dulu ke meja Presiden. Dari sini baru disampaikan ke Kejaksaan Agung untuk kemudian baru ke mejahijau Masyarakat boleh berdebar-debar lagi menunggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus