SUASANA duka menyelimuti Kota Marjayoun, yang terletak di selatan Libanon, Sabtu silam. Lonceng gereja bertalu-talu lamat ketika jasad Mayor Saad Haddad, 47, diusung menuju balai kota. "Israel telah kehilangan seorang teman dan sekutu terbaik," kata Perdana Menteri Yitzhak Shamir. Di hadapan istrinya, Teresa, dan keenam putrinya, Haddad menghembuskan napas terakhir akibat penyakit kanker. Di mata Israel, Haddad memang tokoh andalan untuk mempertahankan 'eksistensi" mereka di Libanon Selatan. Betapa tidak. Ketika Israel menyerbu ke sarang PLO di tenggara Libanon, Maret 1978, Haddad diserahi tanggung jawab mengawasi daerah sepanjang 14,5 km di perbatasan Israel-Libanon itu. Dan berkat bantuannya pula Israel berhasil masuk ke Beirut dalam tempo singkat. Karena itu, Shamir menyebut Haddad, "seorang patriot Libanon sejati." Kendati demikian, masa lalu Haddad tak banyak diketahui. Haddad - yang sudah mengabdi pada angkatan bersenjata Libanon sejak remaja, pada tahun 1950-an, serta sempat mengecap pendidikan di akademi militer Prancis dan sekolah infanteri lanjutan di Fort Benning, Amerika Serikat- rupanya tak begitu diperhatikan orang. Padahal, sepulang dia dari Fort Benning, karier militernya terus menanjak. Tahun 1968, ketika ditempatkan di Libanon Selatan, Haddad terluka dalam pertempuran dengan gerilyawan PLO. Sejak itu, ia tampak dendam terhadap pejuang-pejuang Palestina. Ketika perang saudara berkobar di Libanon, pertengahan 1970-an, ia sudah menjadi komandan di daerah Libanon Selatan. Sewaktu Israel "menganugerahi" Haddad bekas markas PLO di perbatasan Israel-Libanon, ia langsung menyebut kawasan yang dikuasainya itu sebagai Libanon Merdeka. Proklamasi yang dicetuskannya pada 1979 itu sebagai protes atas kehadiran pasukan Syria di Libanon. Akibat tindakannya itu, Haddad dipecat dari dinas ketentaraan Libanon. Walaupun demikian, Haddad tak peduli. Dari daerah kekuasaannya, dengan kekuatan 1.500 hingga 2.000 orang milisi yang dibiayai Israel, ia melancarkan serangan ke kubu-kubu PLO, bahkan hingga ke daerah yang diawasi pasukan perdamaian PBB. Keinginan warga Libanon di kawasannya, menurut Haddad, adalah damai dengan Israel. Ketika Israel membantai orang-orang Palestina di Sabra dan Shatila, September 1982 Haddad dan pasukannya dituduh terlibat. Tapi ia membantah tuduhan itu. Presiden terpilih Libanon, Baskir Gemayel, yang terbunuh sebelum tragedi Sabra dan Shatila, pernah mengharapkan Haddad dapat menyumbangkan tenaganya kembali pada angkatan bersenjata Libanon. Harapan itu baru terwujud pada 5 Januari lalu. Pengadilan Beirut, sadar akan kesehatan Haddad yang semakin buruk, segera memulihkan hak-hak mayor pembangkang itu untuk masuk angkatan bersenjata Libanon. Haddad- yang dirawat di rumah sakit Rambam, Haifa, Israel, sejak Oktober 1983- sehari setelah direhabilitasikan pengadilan Beirut diterbangkan dengan helikopter angkatan bersenjata Israel ke rumahnya, di Marjayoun. Untuk menggantikan Haddad, Israel dan Libanon sepakat menunjuk Kolonel Elias Khalil, yang pernah berdinas bersama Mendiang. Kendati Khalil juga pro-Israel, diduga Yerusalem akan repot menghadapi masalah-masalah keamanan di Libanon Selatan setelah kematian Haddad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini