SUASANA tak menentu kini meliputi sarang-sarang pemberontak PLO yang mengusir Yasser Arafat dari Tripoli, Desember lalu. Mohammed Said Musa, alias Abu Musa, memang memegang "kontrol tituler" atas semua pasukan dan barak Al Fatah di Syria dan Libanon. Nimr Saleh, bekas anggota komite sentral Fatah, yang memimpin perjuangan politik melawan Arafat, juga masih menguasai kantor dan kegiatan PLO di kedua negeri itu. "Namun, mereka mulai bingung, merasa tak pasti, dan kadang-kadang nyaris putus asa," tulis wartawan surat kabar Washingtor Post, yang meninjau ke sana. Tampaknya, ganjalan utama mereka ialah perasaan dituduh sebagai antek Syria oleh sesama Palestina. Demonstrasi yang barubaru ini digerakkan para pembangkang di kamp pengungsi Yarmouk, Damaskus, tak berhasil menolong keadaan. Jauh dari menghujat Arafat, seperti yang diharapkan otak demonstrasi, para penghuni kamp malah mengejek petuas keamanan Syria dan meneriakkan puji-pujian untuk pemimpin PLO yang masih diakui itu. Memang, banyak orang Palestina yang terkejut melihat kunjungan Arafat ke Mesir, negeri yang menandatangani persetujuan perdamaian dengan Israel pada 1979. Para pemberontak Fatah, juga Komando Umum Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP), pimpinan Ahmed Jibril, segera mengulangl tuduhan yang mereka lemparkan pada Mei 1982, bahwa Arafat adalah pengkhianat. Tapi, di mata rakyat jelata Palestina, Arafat tidak akan menemui Husni Mubarak bila ia tidak dihalau dan dikhianati Syria. Mereka tidak melupakan jasa Arafat membebaskan lima ribu pejuang Palestina dari kamp tahanan Israel, November tahun lalu. Arafat sendiri, Jumat pekan lalu, yang terbang dari Tunis ke Aljir, sebelum menghadiri pertemuan organisasi konperensi Islam (ICO) di Casablanca, Marokko, sudah mempersiapkan beberapa langkah. Di Tunis, awal pekan lalu, ia memimpin serangkaian sidang dewan revolusioner Al Fatah, kelompok terbesar dalam PLO. Sidang, antara lain meletakkan strategi baru setelah kekalahan militer di Tripoli, Libanon. Menurut Khaled al Hassan, penasihat politik Arafat, sidang dihadiri sebagian besar dari 54 anggota dewan. Mereka, antara lain, membahas hasil kunjungan Arafat ke Kairo, dan mempersiapkan kongres Fatah. Sebelumnya, komite sentral Fatah, yang beranggotakan 11 orang, membicarakan rencana bagi hubungan lebih erat dengan Yordania dan Mesir. Tapi sidang komite eksekutif PLO, yang diketuai Arafat dan dilangsungkan pada waktu hampir bersamaan, hanya dihadiri sembilan dari 14 anggota. Tiga anggota dari kelompok garis keras kemudian meninggalkan sidang itu, dan balik ke Damaskus. Mereka adalah wakil Front Demokratis untuk Pembebasan Palestina (DFLP), Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP), dan Partai Komunis Palestina (PCP). Dua kelompok garis keras lainnya, Saiqa dan PFLP-Komando Umun memboikot sidang. Sementara itu, beberapa lampu hijau untuk Arafat menyala di Amman, Yordania. Parlemen Yordania, yang "beku" selama hampir sepuluh tahun, tiba-tiba dipanggil bersidang. Parlemen ini, yang separuh dari 60 anggotanya adalah penduduk Tepi Barat, dibekukan Raja Hussein setelah Liga Arab mengesahkan PLO sebagai satu-satunya wakil Palestina pada tahun 1974. Sumber-sumber politik melihat isyarat ini sebagai langkah awal proses perdamaian di Timur Tengah. Hazem Nuseibah, senator dari Tepi Barat dan bekas duta besar Yordania di PBB, melihatnya sebagai imbauan halus untuk PLO. "Saya mengharap Abu Ammar (Arafat) secepatnya datang ke Yordania dan merembukkan strategi bersama dengan Raja Hussein," kata Hazem di depan para wartawan. Sehari setelah mencairkan parlemen, Hussein, yang baru saja meninggalkan rumah sakit setelah mengalami pendarahan ringan, merombak kabinet Yordania. Perdana Menteri Modar Badran digantikan Ahmed Abdel Obeidat, bekas kepala intel. Kabinet beranggotakan 20 orang itu kini diisi sembilan menteri Palestina-empat orang lebih banyak dari sebelumnya. Bagi sebagian pengamat politik, gerak-gerik Hussein terakhir Juga semacam tekanan terhadap Arafat. Dengan memberikan angin baru kepada warga Palestina, baik di Yordania maupun di Tepi Barat, Hussein memancing Arafat ke meja perundingan. Bila pemimpin PLO itu menolak, diperkirakan Hussein akan menempuh jalan sendiri bagi masalah Palestina. Ia tak mau dua kali kehilangan tongkat. April tahun lalu, Arafat, akibat tekanan kelompok radikal yang didukung Syria dan Libya, menolak memberikan mandat pada Hussein untuk mewakili Palestina menuju proses perdamaian. ARAFAT sendiri belum memperdengarkan sesuatu. Tapi, para wartawan beri hasil memancing Hani Hassan, pembantu dekatnya yang beberapa bulan terakhir tinggal di Yordania. "Ada titik pertemuan yang penting antara kami dan para saudara di Yordania," katanya, pekan lalu. Ia mengaku bahwa tindakan Raja Hussein terakhir merupakan "semacam pesan menuju saling pengertian Yordania-PLO." Banyak hal akan menjadi jelas setelah Arafat menemui Hussein di Amman, pekan ini. Namun, persoalan intern PLO telanjur ruwet. "Semua masalah PLO harus diselesaikan lembaga intern," ujar Yasser Abd Rabbuh, wakil komandan DFLP dan anggota komite eksekutif PLO. "Kami menolak semua campur tangan pihak lain di luar itu." Pendek kata, jalan bagi cita-cita pembebasan Palestina tetap panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini