UNTUK kesekian kalinya sesama negara ASEAN mengakrabkan diri, bukan dengan cara menghapuskan visa, tapi dengan memberlakukan SIM (Surat Izin Mengemudi) domestik di semua negara anggota ASEAN. SIM yang di Malavsia ukurannya tidak lebih besar dari credit card itu diharapkan bisa lebih menggalakkan arus lalu lintas pelancong, setidaknya antara Muangthai, Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Bali. Gagasan Indonesia tentang SIM ASEAN sebenarnya tidaklah istimewa, tapi dampaknya kelak mungkin akan luar biasa. Usul itu diterima dan disahkan berlakunya dalam pertemuan tahunan ke-18 menlu ASEAN di Kuala Lumpur, dua pekan lalu. Tentu saja, di samping peningkatan pariwisata, boleh di harapkan kegiatan perdagangan ikut melonjak, suatu hal yang masih harus dibuktikan kelak. Tapi pagi-pagi sekali dirjen ASEAN Malaysia, Yusof Hitam, sudah menandaskan bahwa SIM itu tidak boleh dijadikan paspor. Maksudnya, penyalahgunaan SIM untuk memperdagangkan mobil di negara lain. Juga dilarang keras memanfaatkan peluang yang ada untuk bisnis pengangkutan. Yusof rupanya dengan jeli telah melihat kemungkinan-kemungkinan buruk itu, yang semestinya tidak perlu dikhawatirkan andai kata serentak dengan dikeluarkannya ketetapan tentang SIM itu diberlakukan pula berbagai peraturan se-ASEAN yang menunjang pelaksanaannya. Tentu saja, agar tidak ada pihak yang sampai dirugikan. Kalau itu sampai terjadi, maka pemberlakuan SIM domestik bukannya mengakrabkan, tapi bisa menjauhkan sesama ASEAN. Sekalipun tampaknya belum siap benar, kepala polisi lalu lintas wilayah federal Malaysia, Low Yew Hong, telah menginstruksikan bawahannya agar melaksanakan keputusan ASEAN itu. Walaupun petunjuk pelaksanaan belum ada, yang penting "peraturan lalu lintas bisa mereka patuhi". Sekadar informasi, Hong menegaskan bahwa tugas polisi Malaysia adalah mengawasi apakah peraturan lalu lintas dipatuhi pemakai jalan. Dan bila terjadi kecelakaan - selagi tidak menelan korban jiwa - maka polisi tidak akan turun tangan. Andai kata terjadi tabrakan, maka soalnya tidak akan meruncing seperti di Indonesia. Ini tak lain karena mobil-mobil hanya bisa meluncur di jalan raya kalau sudah diasuransikan. Dengan asuransi di tangan, tabrakan yang bagaimanapun dahsyatnya secara finansial tidaklah perlu dikhawatirkan. Di Indonesia, asuransi mobil belum merupakan hal yang wajib. Agaknya, tanpa asuransi, pelancong Indonesia mesti lebih hati-hati berkelana di Malaysia, Singapura, Brunei. Bukan karena takut pada polisi, tapi tanpa asuransi, kerugian terpaksa ditanggung sendiri. Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah kebiasaan mengemudi di jalur kanan. Sebab, di beberapa negeri, pengemudi diharuskan mengambil jalur kiri. Kalau Anda tak paham betul - dan ini juga berlaku buat mereka yang akan ke Indonesia - alamat badan akan sengsara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini