Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sebelum 245 desa tenggelam

Sebuah kasus mirip kedungombo di indonesia terjadi di india bagian barat, di pinggir sungai narmada.

8 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEGER Kedungombo terjadi juga di Gujarat, India bagian barat. Masalahnya juga seputar menggusur tanah penduduk untuk pembangunan sebuah bendungan yang mendapat bantuan Bank Dunia sebesar US$ 450 juta. Diperkirakan, 245 desa akan segera tenggelam ketika proyek bernilai US$ 1,5 milyar ini terwujud pada tahun 1996 nanti. Masalahnya, yang belum terselesaikan sampai pekan lalu, diperlukan pemindahan 1,2 juta warga dari lokasi tersebut yang tak mudah karena berbagai hal. Keresahan penduduk memang menyangkut kenyamanan hidup sehari-hari. Mereka percaya, selama ini mereka telah menjadi bagian dari lembah dan hutan sepanjang Sungai Narmada yang disucikan seperti Sungai Gangga itu. Dan hak mereka atas tanah dijamin hukum adat. Maka, meski upaya pendekatan dari pihak pemerintah sudah dilaksanakan sejak tiga tahun lalu, penyelesaiannya masih alot. Alasan lain dari penduduk, lokasi yang ditawarkan tak sesubur yang ditinggalkan. Gersang. Makanya, seluruh penduduk bersatu menolak tawaran itu. Soal ini mengundang simpati kalangan pecinta lingkungan hidup, dari daerah Gujarat, melebar ke Bombay hingga New Delhi. Bentuknya dari kumpul-kumpul biasa, mogok kerja, sampai mogok makan, meski sampai pekan lalu belum jatuh korban. Daerah yang akan dikosongkan memang subur. Hutan di kanan-kirinya masih rimbun. Memang ada kalanya sungai meluap dan mendatangkan banjir. Maka, bila Sungai Narmada dibendung dan dikanal di beberapa tempat, manfaatnya berganda: mengendalikan banjir, mengairi sawah, dan sebagai sumber daya pembangkit listrik. Juga akan merupakan salah satu bendungan terbesar di dunia yang terbesar kini adalah dam pembangkit tenaga listrik di Brasil. Bendungan pertama di Sungai Narmada yang segera akan dibangun adalah Sadar Sarovar. Dam ini akan mampu mengairi sawah dua juta hektare, sebagai sumber air bersih untuk beberapa kota dan kawasan industri, dan pembangkit tenaga listrik berdaya 1.200 MW. Dilihat dari manfaatnya memang cukup besar. Tapi, "Hendaknya pemerintah India mundur selangkah," usul Bradford Morse, bekas administrator Program Pembangunan PBB, yang memimpin penelitian sekitar kasus ini. Ia memperingatkan bahwa dampak lingkungan dengan hilangnya lebih dari 240 desa dengan penduduk 1,2 juta belum diteliti benar. Selain soal ganti rugi yang tidak wajar yang belum pernah ditinjau oleh pihak pemerintah. Yang perlu menjadi perhatian lagi adalah hak milik para kepala adat di sana, yang secara turun-temurun menggarap lahan di kawasan ini. Studi Morse di lapangan ini menjadi perhatian kalangan internasional. Bank Dunia menanggapinya dengan akan mengkaji ulang proyek tersebut. Meski bantuan untuk pembangunan tetap akan disalurkan, kata pihak Bank Dunia, masalah bendungan di India itu mengingatkan pada lembaga keuangan internasional ini pada proyek-proyek bendungan yang pernah dibantunya. Mengapa selalu ada ribut-ribut: Kedungombo di Indonesia, Pak Mun di Muangthai, antara lain. Namun, yang sama sekali tak menginginkan hasil penelitian, tapi hanya ingin dibatalkannya proyek Narmada, ada juga. Yaitu, sebuah lembaga yang menamakan diri Jaringan Sungai-Sungai Internasional dan Bantuan Pertahanan Lingkungan. Laporan yang menyatakan bahwa kemiskinan dan kelaparan nantinya akan teratasi dengan adanya Dam Narmada tak disinggung dalam hasil penelitian Morse, kata lembaga bernama panjang itu. Dan yang dimasalahkan dan belum dijawab, seandainya dam itu mendatangkan manfaat bagi sebagian orang lain, paling penting diingat adalah pengorbanan mereka yang dulunya bertempat tinggal di situ. Adakah mereka makin sejahtera atau justru semakin sengsara. Baru ada janji dari menteri pertanian India bahwa halhal yang tak beres akan diluruskan. Masalahnya, yang tak beres menurut warga yang harus pindah, kadang-kadang dinilai beres-beres saja oleh pihak lain. Dibutuhkan wasit yang adil, tapi siapa? Sri Indrayati (Jakarta) dan Navraj Gandhi (New Dehli)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus