Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional
Libanon

Berita Tempo Plus

Sebuah Arena Perang Terbuka

Dibutuhkan pasukan PBB dalam jumlah besar, bersenjata lengkap. Pasukan Israel masih bertahan di Libanon Selatan, Hizbullah tak terlucuti.

28 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Sebuah Arena Perang Terbuka
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA berbicara tentang perang yang mungkin terjadi hari ini, besok, atau lusa. Tentang kemungkinan perang dengan skala lebih besar: melibatkan Iran atau Suriah. Tentang kekalahan-kekalahan yang disebabkan oleh ketidakjelasan suplai amunisi, makanan, miskinnya koordinasi di lapangan tempur, dan nihilnya kepemimpinan.

Mereka ratusan pasukan cadangan Israel yang baru pulang dari medan Libanon dengan sebuah petisi dan ce-ri-ta peng-alaman yang pahit. Senin p-ekan lalu, mereka menyebut tiga nama yang harus mundur dari jabatan: Perdana Menteri Ehud Olmert, Menteri Perta-hanan Amir Peretz, dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Letnan Jende-ral Dan Halutz. Ratusan membubu-hkan tanda tangannya di dalam petisi. Salah satunya Roni Zwiegenboim, 26 tahun, yang menyimpulkan dengan tegas: ”Pa-da akhirnya, semua itu hanyalah ke-kacauan yang berawal dari puncak.”

Suara pasukan cadangan adalah suara cemas masyarakat Israel setelah perang melawan Hizbullah di Libanon. Dulu, protes pasukan cadangan mengawali dan mengiringi ambruknya pemerintahan Perdana Menteri Golda Meir. Dalam Pe-rang Yom Kippur, 1973, memang akhir-nya Israel menang. Tapi gerakan men-dadak pasukan Suriah dan Mesir melintasi ga-ris-garis gencatan senjata yang sempat memukul Israel, lalu merebut datar-an tinggi Golan dan Sinai dalam 24-48 jam pertama, merupakan skandal.

Kegagalan dalam perang di Li-banon belum separah Perang Yom Kippur du-lu. Namun, dari pertempuran 34 hari barusan, Hizbullah memperkenalkan sa-tu hal: suasana perang kepada rak-yat Israel. Kota-kota, dari Kiryat Shemona yang bertetangga dengan perbatasan Libanon, hingga Haifa yang berada di kaki Bukit Karmel, di pesisir Laut Te-ngah, menjadi sasaran roket Hizbullah: Katyusha, Shahin, Fajr, dan Zelzal.

Sebulan lebih Israel menggunakan ta-ngan Amerika Serikat yang punya ke-kuatan veto di Dewan Keamanan PBB un-tuk mengulur-ulur perang, menunda gen-catan senjata. Semua terlihat jelas: su-paya pasukan Israel bisa merampungkan misinya menggulung Hizbullah. Dan sekarang, tentunya setelah hampir 1.300 warga sipil di Libanon dan Is-rael me-nemui ajalnya, Israel mencoba me-nempuh jalan yang sama. Mengguna-kan tangan pasukan penjaga perdamaian PBB menyelesaikan tugasnya yang berantakan di Libanon itu.

Israel menuntut tentara PBB menyegel sejumlah titik di perbatasan Suriah-Li-banon. Titik-titik yang diyakininya men-jadi pintu masuk persenjataan Hiz-bul-lah selama ini. Kita tahu, pasukan komando Israel pernah berusaha memotong jalur suplai itu, seminggu setelah gencatan senjata. Mereka menyerbu sebuah desa kecil di dekat Baalbek untuk menggagalkan arus masuk senjata Hizbullah itu. Tak ada berita tentang sukses-gagalnya misi itu, yang terang ope-rasi itu berakhir dengan tiga anggota Hizbullah dan seorang brigadir jenderal Is-rael tewas. Dari New York, Sekreta-ris Jenderal PBB Kofi Annan mengecam pe-langgaran gencatan senjata itu.

Melucuti Hizbullah adalah obsesi yang tak mudah tercapai. Beberapa ne-gara yang berjanji mengirim pasukan ke Libanon—sebut saja Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Prancis, Italia—tidak mau ambil risiko. ”Kita melihat persenjataan Hizbullah cukup besar. Terbukti Hizbullah dapat mengimbangi Israel. Se-dangkan pasukan perdamaian dari si-si persenjataan hanya untuk membela diri,” kata Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Indonesia dan beberapa negara lain menolak melakukan tugas itu (lihat rubrik Wawancara: Keberatan Israel Tidak Beralasan).

Italia, yang bakal mengirim 3.000 personel pasukan dan memimpin di sana, mengakui bahwa tuntutan agar Hizbullah meletakkan senjata itu ber-alasan. Tapi ia juga mengingatkan agar Is-rael tidak melanggar gencatan senjata. ”Kita tak dapat mengirim tentara jika Israel terus menembak,” ucap Menteri Luar Negeri Massimo D’Allema. Menurut hitungan, gencatan senjata akan ber-jalan baik jika jumlah pasukan penjaga per-damaian mencapai 15 ribu. Gabung-an pasukan PBB dan 15 ribu tentara Li-banon akan sanggup membereskan a-ne-ka masalah di lapangan. Mereka akan meng-isi suatu daerah penyangga 20 kilometer dari utara Israel hingga Sungai Litani di Libanon Selatan.

Tapi, itulah suatu kondisi yang baru mungkin terwujud tiga bulan kemudian—mungkin lebih. Libanon kini sebuah arena tempur terbuka: kelompok Hizbullah yang masih bersenjata lengkap di satu pihak, dan lima brigade tentara Israel—jumlahnya mencapai beberapa ribu di wilayah itu—di lain pihak. Untuk sementara, kita hanya bisa menangkap gelagat ini: Israel tak terlalu ambil pusing dengan gencatan senjata, sedang-kan Hizbullah mencoba menahan diri dari kontak senjata. Sejak gencatan, tak ada tembakan yang ditujukan ke arah pasukan Israel di Libanon, tak ada roket Katyusha yang ditembakkan ke kota-kota di perbatasan Israel-Libanon.

Libanon setelah gencatan senjata memang Libanon yang mencoba melupakan perang. Paling tidak, di Beirut, kita bisa menyaksikan kemacetan lalu-lintas mu-lai hinggap di pusat-pusat perto-koan, orang-orang kelas menengah kem-bali dari vi-la peristirahatan mereka di pegunung-an, dan daerah-daerah hibur-an mulai di-buka. Tapi itulah cara mere-ka bertahan. Dalam prakteknya, Israel yang menguasai laut dan udara Libanon mam-pu menjepit negeri itu lebih erat. Se-jak gencatan senjata, Israel memblokade laut dan udara Libanon. Alasannya, men-cegah arus masuk senjata Hizbullah. Aki-batnya, Li-banon yang lemah sema-kin tak berdaya.

Satu pasukan penjaga perdamaian yang kuat dan tangkas mungkin sanggup mendatangkan rasa aman, juga masa depan yang lebih baik.

Idrus F. Shahab (BBC, The Economist, International Herald Tribune)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus