Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan pengeras suara di tangan kanan, Garry Kasparov, mantan juara dunia catur dari Rusia, memimpin aksi 3.000 pengunjuk rasa. Mereka menolak rezim Presiden Vladimir Putin. ”Rusia (harus) tanpa Putin,” pekik Kasparov di jalan utama St. Petersburg, kota kelahiran Putin.
Mantan Perdana Menteri Rusia Mikhail Kasyanov juga turut dalam aksi yang digelar pada minggu lalu itu. Tujuan mereka, melawan hasil pemilihan umum di 14 wilayah yang memenangkan Rusia Bersatu, partai pro-Kremlin. Kemenangan itu, di mata mereka, kian memperlihatkan tidak adanya demokrasi di Rusia.
Pada pemilu yang digelar awal minggu lalu, partai oposisi yang baru lima bulan didirikan, Rusia Adil, mengungguli partai berkuasa di Stavropol. Namun di 13 wilayah lain, Rusia Bersatu yang menyokong Presiden Vladimir Putin masih menempati posisi teratas.
Hajatan tersebut sebenarnya baru gambaran awal, sekadar menunjukkan peta situasi politik menjelang pemilihan umum parlemen pada Desember tahun ini. Puncaknya empat bulan setelah itu, ketika rakyat Negeri Beruang Putih ini diminta mencoblos untuk memilih presiden baru pengganti Putin, yang sudah tidak bisa mencalonkan diri lagi.
Kemarahan warga dan kekecewaan pengamat tumpah pada reformasi yang dilakukan terhadap sistem pemilu. Jumlah partai dibatasi empat. Dan sebuah partai dipandang berhak memiliki perwakilan di parlemen jika mendapat 7 persen suara pemilih (sebelumnya hanya 5 persen).
Kebijakan ini membuat dua partai oposisi tidak bisa ikut pemilu. Pengamat menduga pembatasan ini merupakan uji coba para ahli strategi pemerintah untuk menuju ke sistem dua partai seperti di Amerika Serikat. Diharapkan stabilitas politik akan tercapai setelah kekuasaan Putin berakhir. Toh banyak yang merasa khawatir dengan nasib kebebasan demokrasi Rusia.
Sergei Ivanyenko, Wakil Ketua Partai Yabloko, menyebut sistem yang berlaku pada pemilu kali ini sebagai demokrasi yang diatur.
Penataan ini, kata Ivanyenko—yang partainya tak bisa ikut pemilu—punya kepentingan tertentu. Yakni, pemerintah ingin kandidat presiden yang muncul dalam pemilu kelak merupakan calon yang direstui Kremlin. Dengan begitu, kekuasaan dari pemerintahan sekarang bisa dilanggengkan.
Protes juga datang dari Vladimir Zhirinovsky, pemimpin Partai Liberal Demokratik Rusia (LDPR). Dia menolak partainya dipecundangi pendatang baru, Rusia Adil.
Menurut dia, penghitungan suara—yang memperlihatkan Rusia Bersatu mendapat 46 persen suara—menempatkan LDPR di urutan keempat. Posisi ketiga ditempati Partai Komunis, dengan perolehan suara 7,33 persen di wilayah pemilihan Orlov, Moskow Selatan. Zhirinovsky menyebutkan telah terjadi pemalsuan data.
Dia tidak rela Rusia Adil mendapat 12,6 suara. Kegusaran pria yang memimpin partai ultranasionalis itu tidak digubris. ”Biarkan saja, tidak usah dikomentari,” ujar seorang pejabat di Komisi Pemilihan Umum Rusia.
Kemenangan Rusia Adil sebagai partai oposisi yang baru lahir cukup mengejutkan. Namun, perlu diingat, partai itu dipimpin oleh Sergei Mironov, 51 tahun. Dia adalah mantan wakil ketua tim kampanye Putin.
Secara tegas partai baru itu menggunakan embel-embel ”pendukung Kremlin”. Karena itulah kemenangannya dianggap sebagai bagian dari orkestra yang dimainkan Kremlin. Dalam istilah seorang pengamat politik setem-pat, pemilu kali ini adalah ilusi demokrasi yang membius warga Rusia.
Situasi ini harus dibayar mahal. Para politisi yang terpilih kelak harus ”membayar utang” kepada Kremlin. Dan politisi yang berseberangan bakal kian sulit mempengaruhi kebijakan.
Begitu pula Kasparov. Penyuara demokrasi yang bersama Mikhail Kasyanov dikenal sebagai kelompok pro-Amerika ini tetap berada di jalan-jalan untuk berdemonstrasi sambil berpekik ”Tak ada demokrasi di Rusia.”
Herry Gunawan (The Economist, RIA Novosti, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo