SETELAH Irak kalah, selesaikah urusan Amerika di Timur Tengah? Tampaknya belum. Cita-cita Bush mewujudkan tata dunia baru masih memerlukan campur tangan Amerika di Timur Tengah. Paman Sam tentunya tak akan melepaskan kesempatan merebut wibawa di Timur Tengah, kawasan sumber minyak dunia. Inilah saat untuk menempa besi karena lagi menyala, tulis seorang pengamat Timur Tengah. Itu sebabnya Menteri Luar Negeri James Baker mengadakan lawatan sembilan hari sejak Jumat pekan lalu -- sembilan hari setelah perang usai -- ke Timur Tengah, Turki, dan Soviet. Agenda utamanya, membicarakan konsep pertahanan regional, kerja sama ekonomi, dan pemecahan konflik Arab-Israel. Itu semua guna mewujudkan perdamaian di kawasan yang baru saja jadi tempat "uji coba" kedahsyatan teknologi perang Amerika dan sekutunya. Tanda-tanda bahwa pihak-pihak yang bersangkutan pun menyambut upaya itu juga sudah ada. Menteri Kehakiman Israel Dan Meridor menyatakan, "Bila Amerika bisa meminta negara-negara Arab datang dan bicara dengan Israel, kondisi psikologis kawasan ini akan berubah." Yang dimaksudkannya tentulah berubah lebih mendekat ke arah penyelesaian damai soal Palestina-Israel. Bahkan untuk pertama kalinya, Presiden Bush menyebut-nyebut Resolusi Dewan Keamanan PBB yang meminta Israel menyerahkan semua atau sebagian wilayah yang didudukinya. James Baker, yang awal pekan ini tiba di Yerusalem, membuka kesempatan bagi orang Palestina bila ingin menemuinya. Tapi sampai awal pekan ini sambutan dari pihak Palestina belum terdengar. Baru ada kabar-kabar yang belum dikonfirmasikan, yang dikutip oleh Reuters. Yakni pihak Palestina akan mengirimkan delegasi yang terdiri dari sebagian atau seluruhnya dari 12 orang yang pernah bertemu dan berbicara dengan tiga menteri luar negeri Masyarakat Eropa. Disebut-sebut nama Faisal Husseini, Presiden Asosiasi Studi Arab di Yerusalem bekas Wali Kota Nablus -- sebuah kota di Tepi Barat -- Mustafa Natche dan Wali Kota Betlehem Elias Freij. Itu berarti, pernyataan delegasi itu pada tiga menteri luar negeri Masyarakat Eropa tentunya akan diulang. Yakni bahwa PLO-lah satu-satunya wakil resmi Palestina di dalam dan di luar wilayah pendudukan. Bila kabar dari Tunis itu benar, faktor PLO bisa menyulitkan. Soalnya, selama ini Israel memang tak ingin PLO ikut campur dalam perundingan. Dalam rencana pemilihan umum di wilayah yang diduduki, 1989, Perdana Menteri Israel Yitzhak Shamir menolak konsep itu, karena ia tak setuju bila PLO ambil peran dalam pemilu. Dan kini, setelah pemerintah Tel Aviv dikuasai ekstrem kanan bukan cuma PLO-nya, tapi rencana pemilu itu pun sudah dianggap tamat. Nasib malang bangsa Palestina rupanya memang belum habis. Setelah Irak kalah perang, Kuwait pun tak lagi aman dihuni oleh orang Palestina yang memihak Irak. Di Kota Kuwait, terutama di Distrik Hawali, tempat konsentrasi penduduk Palestina, hampir tiap hari ada pemeriksaan penduduk. Sasaran utamanya, warga Palestina. Seorang wanita Kuwait, suatu hari di pekan lalu, berteriak-teriak histeris sambil menunjuk-nunjuk ke dalam bangunan yang dipakai sebagai kantor perwakilan Palestina: "Orang-orang itu adalah musuh kita. Mereka bersenjata, dan mereka menyembunyikan tentara Irak di dalam." Hanya beberapa blok dari situ markas Al Fatah terletak. Di pintunya, sebuah poster besar tertempel, bertuliskan huruf-huruf Arab, "Siapa pun yang Palestina adalah pengkhianat. Ini markas kaum kolaborator dengan Irak." Namun, sampai awal pekan ini belum ada berita korban jiwa Palestina. Di Tepi Barat, dalam laporan di tabloid Inggris The Guardian Weekly, orang-orang Palestina sedang bimbang. Di samping mereka kesal telah memihak Saddam Hussein, juga marah pada sejumlah pemimpin PLO, termasuk Yasser Arafat. Kata seorang pedagang Palestina di Yerusalem, "Arafat mestinya mengantipasi ini semua dan mengambil jarak dari Saddam. Kini seluruh dunia marah pada kami karena kejahatan yang bukan tanggung jawab kami." Jadi, mungkinkah Arab (termasuk Palestina) dan Israel bertemu di meja perundingan? Selama PLO masih dianggap mewakili Palestina, atau setidaknya masih dipimpin oleh Arafat, kecil kemungkinan Israel mau menerimanya. Tapi, seandainya sebuah konperensi internasional tentang Timur Tengah jadi dilaksanakan, apa yang akan dihasilkan? Bekas Menteri Luar Negeri Amerika Henry Kissinger, yang pekan lalu berada di Indonesia, berpendapat bahwa konperensi macam itu hanya akan membuat semua pihak omong sendiri. "Dan biasanya omongan-omongan berbagai pihak itu akan membawa ke jalan buntu," kata Kissinger dalam wawancara di televisi RCTI. Kissinger lebih melihat manfaat bila Amerika mengadakan konperensi terbatas. Katanya kepada Goenawan Mohamad dari TEMPO, dengan cara itu Amerika bisa menekan negara-negara Arab di satu pihak, dan Israel di pihak lain, agar bisa berkompromi. Mungkin bekas Menteri Luar Negeri AS itu benar. Tanpa ada pihak ketiga yang bisa menekan, bagaimana Shamir mau berkompromi, bagaimana keamanan Israel bisa dijamin dari gangguan dari Tepi Barat dan Gaza yang berdaulat. ADM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini