HUKUMAN berat kali ini menimpa terdakwa berusia muda. Majelis hakim Pengadilan Negeri Pematangsiantar, Sum-Ut, yang diketuai Taruli Butar-butar, akhir bulan lalu memvonis Eka Wijaya, 23 tahun, dengan penjara seumur hidup. Istri Eka, Linda, 18 tahun, serta temannya Boyke Napitupulu, 19 tahun, divonis masing-masing 19 tahun dan 18 tahun penjara. Mereka menurut hakim ter- bukti membunuh A Weng dengan sadistis. Hukuman berat itu terpaksa dijatuhkan, kata Taruli, semata-mata didorong rasa keadilan. "Jika karena berusia muda dihukum ringan, bisa-bisa semua anak muda meniru perbuatan mereka," katanya. Kejahatan ketiga terhukum, seperti yang terbukti di sidang, memang membuat bulu tengkuk bergidik. Selain menculik korban, mereka juga memeras orangtua A Weng, Ngadimin, sebesar Rp 30 juta. Karena gagal, mereka nekat membunuh dan mengubur mayat A Weng, dalam posisi duduk, lalu mengecor lubang itu dengan semen. Edannya, ketiga pembunuh berdarah dingin itu masih nekat tidur pulas pada sehelai tikar di atas kuburan itu. Toh semua itu akhirnya terbongkar juga. Seorang saksi melihat A Weng terakhir kali bersama-sama dengan Eka. Berdasarkan info itu polisi menggerebek ketiga tersangka. Motif pembunuhan itu, seperti terungkap di persidangan, tak lain dari keinginan para terhukum untuk mengubah nasib. Maklum, Eka pengangguran. Mereka memilih A Weng sebagai sasaran karena A Weng anak bungsu yang disayangi orangtuanya -- Ngadimin adalah pengusaha angkutan terkenal di Pematangsiantar. Kebetulan Eka memang sudah kenal lama dengan A Weng. Pada 14 Juli 1990 Eka menelepon dan meminta A Weng agar datang ke Billiard Centre di kota itu. "Ada obyek," kata Eka. Tak lama kemudian A Weng muncul diboncengi temannya, A Siang, dengan sepeda motor. Setelah meminta A Siang pergi, Eka segera membawa A Weng ke pavilyun sewaannya. Di situ A Weng mereka ancam dengan pisau. Kedua tangan dan kaki A Weng mereka ikat, dan mulut korban mereka sumpal dengan busa dibungkus tisu sebesar bola pingpong. Malamnya, Linda menelepon ibu A Weng. Dia memberi tahu bahwa A Weng di tangan mereka dan mempersilakan si ibu mengambil sepucuk surat yang sengaja mereka taruh di sebuah tong sampah di depan rumah Wakapolres Simalungun. Ibu A Weng segera menelepon suaminya yang lagi di luar kota. Ngadimin pulang buru-buru dan melacak surat tadi malam itu juga. Isinya, ini: "... hidup mati anak Anda di tangan kami. Harap beri tebusan Rp 30 juta dan jangan beri tahu polisi." Juga dituliskan di mana uang itu harus diletakkan. Esoknya Eka menelepon lagi ke orangtua korban dan memberi tahu Ngadimin agar mengambil surat anaknya di depan Universitas Simalungun. Surat itu ternyata memang ditulis A Weng. Bunyinya memelas... "turuti kata-kata mereka, Papa," pinta korban. Siangnya, ketika Eka dan Boyke keluar, Linda mengaku melihat A Weng tertelungkup di tempat ia disandera. Linda memeriksa. Ternyata, A Weng sudah mati. Dalam sidang terungkap korban kehabisan napas, mulutnya tersumpal. Setelah Eka dan Boyke pulang, mereka menanam korban. Atas vonis Eka dan Linda, pada 6 Maret lalu, menyatakan banding. Mereka merasa hukuman itu terlalu berat. Apalagi di per- sidangan mereka membantah membunuh korban. Matinya korban, seperti terungkap di sidang, adalah akibat saluran napas tertutup karena busa dan tisu itu masuk ke tenggorokan. Tapi majelis tetap berpendapat ketiga terhukum melakukan pembunuhan berencana. Buktinya, lubang kuburan itu ternyata sudah mereka buat dua pekan sebelum penculikan terjadi. "Kalau tidak merencanakan pembunuhan, buat apa mereka menggali lubang itu?," kata Taruli. Bensihar Lubis, Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini