SELESAI bersidang 3 hari di gedung DPRD DKI, para gubernur yang
mengikuti Rapat Kerja Gubernur Seluruh Indonesia 20-23 Oktober
pekan lalu tak bisa lantas pulang. Mereka harus pindah tempat
rapat di gedung Sekretariat Kabinet. Selama 2 hari mereka
berbincang dengan Menteri Penertiban Aparatur Negara JB Sumarlin
yang juga mengetuai Tim Koordinasi Penanganan Masalah
Pertanahan.
Dihadiri 24 gubernur -- 3 di antaranya pejabat sedang 3 lainnya
absen karena sedang menunaikan ibadah haji - Raker Gubernur kali
ini menempatkan masalah tanah sebagai acara utama. "Lain dengan
Raker Pebruari lalu, kali ini para gubernur mendapat kesempatan
luas untuk berdialog," ujar Kepala Biro Humas Depdagri Feisal
Tamin. Alasannya, dulu para gubernur biasa membawa staf sampai 5
orang sebagai peserta hingga forumnya dianggap terlalu luas.
Kali ini hanya 2 staf yang boleh dibawa, ketua Bappeda dan
Asisten II (bidang pembangunan dan ekonomi).
Mengapa masalah tanah? seperti dikatakan Mendagri Amirmachmud
dalam pidato pembukaannya, masalah tanah belakangan ini telah
menjadi masalah nasional yang banyak minta perhatian pemerintah.
Juga merupakan masalah yang rawan, "yang secara langsung atau
tidak dapat dimanfaatkan oknum-oknum tertentu dalam rangka
keuntungan pribadi atau golongan, baik bermotif keuntungan
komersial atau politik."
Yang menonjol dari masalah tanah belakangan ini ialah kesan
adanya kesimpangsiuran dalam penanganannya. Itu terlihat
misalnya pada kasus Jenggawah dan Siria-ria. Baru setelah
berkepanjangan muncul kesepakatan untuk menyelesaikannya secara
tuntas dan damai. Jelas tampak tidak adanya kebijaksanaan
nasional yang konsepsional, serta sinkronisasi antara para
aparat pelaksana, di daerah dan pusat.
"Justru untuk menghilangkan kesimpangsiuran dan kesemrawutan
inilah para gubernur dikumpulkan. Mereka diingatkan akan tugas
dan kewenangannya," kata Dirjen Agraria Darjono.
Jangan Adem
Agaknya, untuk itu pula Mendagri memberi pengarahan mengenai
masalah agraria pada para gubernur dengan naskah setebal 39
halaman.
Yang dianggap perlu ditingkatkan adalah sinkronisasi pelaksanaan
tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, transmigrasi,
pertambangan dan pekerjaan umum. Sekalipun telah ada
peraturannya, ternyata masih banyak penyimpangan di bidang ini.
Misalnya tanah yang sudah disediakan untuk transmigrasi ternyata
meliputi areal yang dimasukkan dalam Hak Pengusahaan Hutan.
Akibatnya timbul sengketa.
Pendudukan rakyat atas tanah Hak Guna Usaha Perkebunan/Kehutanan
tanpa izin juga memperoleh perhatian besar. Yang menarik adalah
petunjuk Mendagri yang tidak membenarkan adanya tindakan yang
menyebabkan hilangnya sumber penghidupan rakyat. Tanah
perkebunan yang ditelantarkan dan diduduki rakyat misalnya, bisa
diberikan para penggarap sepanjang tidak bertentangan dengan
usaha penyelamatan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
"Bertindak operasionil. Jangan adem ayem. Tindakan ini mempunyai
impact politis dan psikologis," ujar Amirmachmud dalam
pengarahannya. Usaha pemecahan darn penyelesaian masalah tanah
dianjurkannya mempergunakan pendekatan akomodatif. "Para kepala
daerah dan aparat agraria jangan berpikir teknis agraris
semata-mata, tapi harus mempunyai jangkauan cakrawala yang luas.
Tapi semua tindakan harus berdasarkan hukum."
Penataran
Terkesan ada usaha mencegah timbulnya kegoncangan sosial dan
politik akibat masalah tanah ini. "Dalam penyelenggaraan
landreform harus selalu diingat masalah tanah sangat peka dan
eksplosif," kata Mendagri. Karena itu dimintanya agar semua
aparat pemerintah menghayati dan tidak ragu-ragu melaksanakan
peraturan perundangan agraria. Tidak dibenarkan adanya
kebijaksanaan daerah yang menyimpang.
Menyadari kelemahan aparat pelaksana itu Depdagri telah
memutuskan untuk menyelenggarakan penataran bagi para bupati dan
walikota mengenai masalah keagrariaan. Atas permintaan Jaksa
Agung, para jaksa juga akan diikutsertakan dalam penataran ini.
"Diharapkan penataran ini bisa dimulai bulan depan. Terdiri dari
3 atau 4 angkatan, setiap kali selama 2 minggu," tutur Darjono.
Di daerah tingkat II kemudian akan diadakan penataran bagi para
camat dan kepala desa. "Kan manipulasi tanah dimulai dari
tingkat paling bawah," ujar Darjono pula. Dengan begitu
penanganan masalah tanah bisa diselesaikan secara adil dan
tuntas. karena memang semua peraturan dan perundangannya
dianggap telah ada dan memadai.
Bagaimana suara daerah? "Saya selalu menyelesaikan masalah tanah
secara proporsional, berdasar hukum yang berlaku," kata Gubernur
Ja-Tim Soenandar Prijosudarmo. Tapi benarkah semua aparat
bawahannya sudah mengetahui dan memahami peraturan keagrariaan?
Diakuinya, ada yang kurang memahaminya. Karena itu rencana
penataran disambutnya gembira.
Jawa Timur telah mengadakan penataran bagi para camatnya.
"Setelah penataran bagi para bupati, akan diteruskan lagi sampai
ke tingkat lurah. Karena lurah adalah kunci terakhir dalam
masalah tanah," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini