Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Selamat Datang di Klub Nuklir

Brasil menjadi negara baru yang mampu memproduksi bahan bakar nuklir. Tapi Amerika Serikat dan sekutunya tak keberatan.

15 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Resende kini tak hanya dikenal sebagai kota penghasil Volkswagen-, mobil rakyat buatan Jerman. -Sejak Jumat 5 Mei lalu kota ini menjadikan Brasil sebagai sa-lah satu anggota kelompok negara elite tek-no-logi nuklir dunia. Di kota yang terletak 100 kilometer di selatan Rio de Janeiro itu kini beroperasi pabrik pengayaan uranium yang akan memasok kebutuhan bahan bakar nuklir dua reaktor nuklir Brasil.

Resende dikenal sebagai salah satu tu-ju-an wisata di Brasil dengan keindahan lanskapnya. Tapi di kota yang berpen-du-duk 130 ribu jiwa ini pula perusaha-an negara Industri Nuklir Brasil (INB) men-dirikan pabrik bahan bakar nuklir di -areal tanah berbukit bekas perkebunan kopi.

Pabrik pengayaan uranium di Resende dapat memperkaya uranium alam menjadi 5 persen uranium-235, isotop yang dibutuhkan sebagai bahan bakar reaktor- pembangkit listrik. Pabrik di Resende akan memasok 60 persen bahan bakar nuklir untuk dua reaktor Brasil, Agra-1 dan Agra-2, hingga 2012.

Tiga tahun kemudian pabrik Resende baru bisa memasok 100 persen bahan bakar nuklir, termasuk untuk reaktor nuklir Agra-3 yang kini sedang dibangun. Ilmu-wan nuklir Brasil yakin, teknologi pengayaan nuklir di Resende ini 25 kali lebih efisien daripada fasilitas yang sama di Prancis dan Amerika. ”Pusat pengaya-an uranium ini akan menghemat jutaan dolar,” ujar Menteri Sains dan Teknologi Brasil, Sergio Rezende.

Selama ini Brasil, yang memiliki kan-dungan uranium keenam terbesar di dunia, harus mengirim uranium mentah ke Kanada untuk diproses menjadi gas hexa-fluoride. Dari Kanada, uranium dibawa ke Inggris untuk diperkaya di pabrik di Uren-co, konsorsium pengayaan uranium Ero-pa, sebelum diboyong pulang ke Brasil untuk diolah sepenuhnya menjadi ele-men bahan bakar. Kini, dengan meng-olah uranium di pabrik sendiri, Brasil akan menghemat US$ 10 juta (Rp 88 miliar).

Hitung-hitungan ekonomi inilah yang digembar-gemborkan pemerintah Brasi-l sebagai motif membuat pabrik bahan bakar nuklir. Brasil bakal memperoleh keuntungan menggiurkan 20 tahun mendatang ketika 25 persen generator listrik- di seluruh dunia bersumber dari energi nuklir. Sebab, dengan beroperasinya pabrik bahan bakar nuklir di Resende, Brasil akan menjadi satu dari sedikit negara industri pengayaan uranium yang bakal meraup keuntungan US$ 1 miliar per tahun (Rp 8,8 triliun).

Brasil memang pengecualian. Kelompok negara penguasa teknologi nuklir semacam Amerika Serikat adem ayem ketika Brasil meresmikan pabrik peng-ayaan uranium di Resende. ”Yang saya pahami, mereka memiliki program nuklir damai,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika, Sean McCormack.

Padahal pada saat yang sama Amerika dan sekutunya, Inggris, dan Uni Eropa- sedang memamerkan wajah garang terhadap Iran, yang ngotot memproduksi sendiri bahan bakar nuklir untuk reaktor nuklirnya. Bagi Amerika, masalah nuklir Iran tidak sama dengan nuklir Brasil.

Amerika pun tak ambil pusing ketika- Brasil menolak inspeksi menyeluruh- oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada April 2004. Alasannya, memberi -akses penuh pada inspektur IAEA memelototi instalasi Resende akan menimbulkan risiko spionase industri. Toh, inspektur IAEA akhirnya puas meski hanya memonitor uranium yang masuk dan keluar dari mesin pengolah yang ditutup dengan layar tak tembus pandang.

IAEA menilai program nuklir Brasil dianggap tidak untuk mengembangkan senjata nuklir. Meski, menurut seorang bekas inspektur IAEA, David Albright, mesin pengolah uranium Brasil dapat memperkaya hingga 95 persen uranium-235 untuk mengisi hulu senjata ledak nuklir. Albright pernah bekerja untuk proyek pengayaan uranium Brasil lewat Masyarakat Fisika Brasil.

Maka, muncul kekhawatiran, kemampuan pengayaan uranium Brasil suatu ketika akan digunakan memproduksi- -bahan bakar nuklir lebih dari yang di-butuhkan reaktor nuklirnya. Tapi, bagi Amerika dan IAEA, Brasil bukanlah Iran, walau Brasil dan Iran telah menanda-tangani pakta tidak mengembangkan senjata nuklir (NPT). Apalagi konstitusi Brasil melarang penggunaan energi nuklir untuk kepentingan militer.

Tapi riwayat nuklir Brasil juga sama saja dengan ambisi negara Barat -memiliki senjata nuklir. Ilmuwan Brasil mulai bereksperimen dengan fusi -nuklir pada tahun 1930-an, tapi upaya serius- baru di-mulai setelah Presiden Argentina Juan Perón membuat klaim palsu pada 1951. Peron meniupkan isu bahwa -ilmuwan Argentina sukses membuat fusi nuklir dalam laboratorium. Belakang-an Argentina memiliki dua reaktor nuklir. Se-bagai respons, Brasil menggenjot program penelitian di bawah dewan riset nasional, Conselho Nacional de Pesquisas (CNP).

Lewat lembaga ini Brasil bersentuh-an dengan riset nuklir untuk kepen-tingan militer sejak 1964 hingga 1985. -Maklum, selama periode itu Brasil dikuasai peme-rintahan diktator militer. Brasil sempat- merencanakan menguji bom atom di bawah tanah di belantara hutan tropis Amazon. Tapi gagasan itu menghilang pada 1990, dan pada 1991 Brasil menandatangani kesepakatan dengan Argentina: menggunakan nuklir hanya untuk kepentingan damai.

Sama halnya dengan Iran, Brasil pun memperoleh teknologi nuklir secara klandestin, lewat seorang ahli nuklir Jerman Barat. Operasi yang mirip jaringan pasar gelap ilmuwan nuklir Pakistan Abdul Qadeer Khan ini menghasilkan tiga mesin pengolah uranium buatan Jerman pada tahun 1950-an. Brasil juga dilaporkan mencari bantuan difusi gas uranium dari Prancis, tapi gagal.

Brasil sempat meneken kesepakatan kerja sama nuklir dengan Amerika pada 1955 di bawah fasilitas Atom untuk- Program Damai dalam bentuk pembelian sejumlah reaktor riset. Pada 1971, Brasil mendirikan reaktor nuklir pertamanya Agra-1 dengan kemampuan 626 megawatt yang mulai dioperasikan secara komersial pada 1985.

Kecurigaan terhadap ambisi nuklir Brasil semakin besar ketika bekas koloni Portugis itu kini dipimpin seorang pre-siden berhaluan kiri, Luiz Inacio Lula da Silva. Saat Lula memenangi pemilu pada awal 2003, ia secara terbuka menyatakan akan membentuk ”Poros Kebaikan” bersama pemimpin kiri negara Amerika Selatan lainnya, yakni Presiden Venezuela Hugo Chavez, Presiden Cuba Fidel Castro, dan belakangan muncul Presiden Bolivia Evo Morales.

Poros ini berhadapan dengan Presiden Amerika Serikat George W. Bush yang melahirkan istilah ”Poros Setan” bagi negara yang dituding mendukung terorisme. Amerika gerah menghadapi sepak terjang Presiden Chavez, yang dituduh menggunakan uang minyaknya menebar revolusi sosialis di benua Latin. Kedekat-an Chavez dengan Lula membuat Gedung Putih panas-dingin.

Tapi belakangan pemerintah Washing-ton bisa bernapas lega karena Lula menjaga jarak dengan sahabat kirinya. -Pemimpin Partai Pekerja ini bersikap manis terhadap Amerika, termasuk tak menentang kesepakatan perdagangan bebas di Amerika Selatan yang disodorkan Presiden Bush.

Brasil semakin berjarak dengan tetang-ga kirinya ketika Bolivia menasionalisasi- perusahaan minyak Brasil yang menyedot gas di Bolivia. Tak mengherankan, bekas Menteri Luar Negeri Amerika, Colin Po-well, yakin program nuklir Brasil untuk kepentingan damai. ”Kami yakin Brasil sedikit pun tak berpikir tentang senjata nuklir,” kata Powell. Bahkan, Februari lalu, juru bicara Gedung Putih Scott McClellan menegaskan, Brasil memperoleh keperca-yaan Washington.

Brasil memang tidak menjadi ancaman bagi kepentingan negara Barat. Begitu juga Argentina, yang bersikap manis terhadap Amerika. Sejauh ini halaman belakang Amerika hanya direcoki retorika Hugo Chavez, yang masih percaya pada kekuatan senjata minyaknya ketimbang nuklir. Sedangkan Fidel Castro yang bisa bertahan karena minyak murah dari peng-agumnya, Hugo Chavez, tak lagi ber-kutik setelah insiden Teluk Babi pada era pe-rang dingin.

Sebaliknya, Iran menjadi ancaman bagi hegemoni Amerika dan negara Barat di Timur Tengah dan secara terbuka menan-tang Amerika dan mengancam anak emasnya di Timur Tengah, Israel. ”Brasil sama saja dengan Iran, tapi Iran menjadi sorot-an,” ujar Marshall Eakin, ahli Brasil di Universitas Vanderbilt, Amerika. Akibatnya, kata Eakin, Brasil melenggang saat Iran ribut dengan Amerika.

Kini Brasil telah bergabung dengan- klub elite negara yang menguasai tekno-logi nuklir. Menurut ahli fisika Brasil, Jose Goldemberg, ambisi nuklir Lula sebenar-nya untuk mendongkrak citra Brasil di dunia internasional. Status itu dapat digunakan sebagai tiket untuk merebut kursi sebagai anggota tetap pada Dewan Keamanan PBB.

Raihul Fadjri (BBC, AP, Environment News Service, Arms Control Association)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus