Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gerilya Dini Moncong Putih

Pengurus pusat PDI Perjuangan mengumpulkan kader partai di kursi eksekutif dan legislatif daerah. Pertemuan ini melanggar undang-undang, dan juga pembusukan terhadap pemerintah pusat.

15 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Telepon seluler milik Bambang- Dwi Hartono berdering di peng-ujung April lalu. Wali Kota Sura-baya ini segera menyambut pang-gil-an tersebut. Yang menelepon bukan warganya, melainkan seseorang dari Jakarta. Bukan pula dari Departemen Dalam Negeri, melainkan dari se-seorang yang menyebut Dewan Pimpin-an Pusat PDI Perjuangan. Pesan telepon adalah Kota Surabaya ditunjuk menjadi tuan rumah Rapat Koordinasi Nasional- Bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah PDI Perjuangan pada 6-7 Mei.

Bambang sempat kaget diberi tahu be-gitu mendadak. Pak Wali Kota ini cuma diberi waktu persiapan seminggu-. Pada-hal acaranya besar: pertemuan pe-mimpin daerah dan pemimpin Dewan Perwakilan Rak-yat Daerah dari ka-der- PDI Perjuangan se-Indonesia. ”Sura-baya siap menjadi tuan rumah,” ujar Bam-bang kepada si penelepon dengan sigap.

Tak ada jawaban lain. Bambang tak kua-sa menolak perintah itu karena jabatan wali kota yang digenggamnya sekarang ini berkat perjuangan PDIP. Ia segera menggelar rapat lokal, untuk sejenak melupakan tugasnya sebagai wali kota yang mengayomi seluruh warga. Bambang langsung menjadi ketua panitia buat mempersiapkan tempat dan acara. Panitia memilih Ballroom Laguna Square untuk pembukaan, kemudian rangkaian sidangnya di Hotel JW Marriott. Dewan Pimpinan Cabang PDIP Surabaya juga mengerahkan massa untuk memerahkan jalan-jalan pro-tokol dengan umbul-umbul dan bendera berlambang banteng moncong putih.

Singkat kata, semua persiapan lancar-, maklum Wali Kota terlibat langsung untuk hajatan partai. Hari pelaksana-an pun tiba, Sabtu dua pekan lalu. Ke-tua Umum PDI Perjuangan, Megawa-ti Soekarnoputri, membuka dengan kali-mat singkat. Kurang dari tiga menit, ia turun podium lalu menandatangani ”pra-sasti” Hasta Prasetya berisi delapan janji perjuangan partai.

Delapan janji itu untuk menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pembebasan biaya berobat, pembebasan biaya pendidikan, memperkuat ekonomi rakyat, memperkukuh kegotong-royongan, reformasi birokrasi, memberi pelayanan umum murah, dan penyedia-an rumah sehat bagi rakyat.

Para pemimpin daerah dan pimpinan DPRD yang datang ke pertemuan lalu ikut membubuhkan tanda tangan. Mere-ka terdiri dari enam gubernur/wakil gubernur, 53 bupati/wakil bupati, 15 wali kota/wakil wali kota, serta 117 ketua/wakil ketua DPRD. Jumlah ini masih kurang dari target semula, sebanyak 148 pemimpin daerah dan 143 pimpinan DPRD.

Gubernur yang hadir antara- lain Rudolf Pardede dari Sumatera Utara dan Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang. Yang tidak hadir Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, dan Gubernur Ja-wa Tengah Mardiyanto. Tetapi Imam sem-pat menemui Ketua Umum DPP PDI Per-juangan Megawati Soekarnoputri di Ban-dar Udara Juanda-, Surabaya.

Penggagas perumusan ikrar Hasta Prasetya adalah Sutjipto, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Pemerintahan- dan Otonomi Daerah. Perumusannya dilakukan dalam tiga pertemuan di Jakarta, Bogor, dan Bali. Semula cuma tiga program, kemudian berkembang jadi delapan. ”Dulu, namanya Pedoman- Kerja Partai,” kata Sutjipto kepada Tempo pekan lalu.

Gagasan Sutjipto berangkat dari pemahaman kepala daerah berasal dari partai politik. Baik-buruknya eksekutif dan legislatif di daerah pasti mempe-nga-ruhi citra partai. Ia berkaca dari peng-alaman PDI Perjuangan semasa jaya pada 1999-2004. Banyak kinerja kader partai yang buruk. Imbasnya menjatuhkan suara partai dalam Pemilu 2004.

Sebaliknya, pengurus pusat PDI Perjuangan menemukan sejumlah kepala daerah yang mampu mendongkrak per-ubahan. Mereka mengembalikan keper-cayaan konstituen melalui resep kebijakan pro-rakyat. Buktinya, ada pe-ning-katan pada perolehan suara di daerah tersebut. Karena itu, sekarang PDI Perjuangan tak mau lagi terjebak pada simbol-simbol atau atribut partai, namun langsung pada apa yang dirasakan rakyat.

Pada pemilihan kepala daerah yang lalu, ada 12 kepala daerah yang mampu meraup suara lebih dari 70 persen. Bahkan Jembrana (Bali), Sragen, dan Purba-lingga (Jawa Tengah) berhasil meraup le-bih dari 80 persen suara. Sedangkan Bantul, Kebumen, Malino, Sinjai, Blitar, Jombang, Sleman, Kebumen, dan Siak sekitar 70 persen.

Resep jitu itulah yang kemudian di-bagi-bagikan dalam rapat koordinasi. Bupati Bantul Idham Wisesa, misalnya, memaparkan terobosan intervensi pa-sar- sehingga stabilitas harga komodi-tas pertanian menguntungkan petani. Ang-ka pengangguran ditekan, rentenir di kalangan para bakul pasar diberantas, dan masalah anak-anak putus sekolah teratasi.

Kisah sukses lain mencuat dari Bupati Purbalingga, Triyono Budi Sasongko. Dia menekan angka pengangguran dengan program Proyek Padat Karya Pangan—penganggur diupah 2,5 kilogram beras untuk empat jam kerja. Ia juga berhasil menggalang gerakan memperbaiki- rumah warga miskin. Dalam empat tahun, 6.700 rumah diperbaiki.

Namun, rapat koordi-nasi legislatif dan eksekutif daerah dari PDI Per-juang-an itu dipertanya-kan sejumlah ka-lang-an. Menteri Dalam Negeri Mohamad Ma’ruf melihat kapasitas para kepala dae-rah dalam pertemuan itu tidak jelas. Me-nurut Ma’ruf, eksekutif daerah ha-rus membedakan posisi sebagai biro-krat dan kader partai. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui juru bicara-nya, Andi Mallarangeng, juga menyesalkan per-temuan itu.

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasio-nal, Muladi, bahkan melihat ada persoal-an serius. Dia melihat ada pelanggaran Pasal 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kepala daerah tak boleh mem-bawa embel-embel jabatan dalam konsoli-dasi partai. Akan muncul kesan mereka me-rongrong pemerintahan, diskrimi-natif, menggembosi kebijakan pemerintah, dan mencuri start pemilu.

Politisi Partai Demokrat, Boy Willem- Saul, dan Andi Mattalata dari Partai Golkar meminta PDI Perjuangan men-jadi oposisi yang elegan. Cara-cara meng-gaet para pejabat publik untuk meng-ikuti kehendak partai, menurut dua politisi partai pendukung pemerintah itu, sudah mengintervensi pemerintah. Pejabat publik seharusnya menanggalkan atribut partai.

PDI Perjuangan, menurut Boy Saul, ke-bablasan dengan menarik-narik pejabat pemerintah untuk menjadi oposisi. Para kepala daerah tak seharusnya ikut mengkritik pemerintah karena sudah menjadi bagian dari sistem. ”Ada upaya pembusukan dari dalam dengan cara ini,” kata Saul. Namun, Saul maupun Andi tak begitu mempersoalkan jika pertemuan itu sebagai kampanye terselubung.

Sutjipto menyesalkan semua pernya-ta-an tersebut. Sebab, pertemuan itu cuma konsolidasi dan tidak akan mengurangi- loyalitas terhadap pemerintah pusat. Pemerintah seharusnya- senang diuntungkan program-program pro-rakyat. ”Komentar negatif itu karena cemburu, kalah kreatif,” ujar Sutjipto. Namun, Sutjipto tak berkomentar soal bagaimana kalau program partai itu bertentangan dengan program pemerintah, apakah tak membuat bingung me-reka.

Pengurus pusat PDI Perjuangan bahkan akan terus menggelar pertemuan semacam itu secara kontinu. Malahan, PDI Perjuangan berencana melanjutkan pertemuan dengan kepala daerah yang bermasalah dengan hukum. Salah satu alasannya, banyak ka-der PDI Perjuangan yang menjadi korban diskriminasi penguasa.

Semisal, kata Sutjipto, perlakuan beda aparat penegak hukum terhadap Bupati Tuban Haeny Relawati dari Golkar dan Bupati Malang Sujud Pribadi dari PDI Perjuangan. Aparat terkesan menutup mata terhadap indikasi pelanggaran hukum Haeny, tapi jauh amat bersemangat mengusut kasus Sujud.

Adakah agenda besar di balik pertemuan Surabaya? Sutjipto tak menampik hal itu untuk mendongkrak kemenang-an pada Pemilu 2009. Apalagi pertemu-an itu disusul dengan rapat pimpinan di Bali pekan lalu, untuk membentuk Badan Pemenangan Pemilu. Banteng Moncong Putih rupanya terlalu jauh bergerak.

Untunglah, partai-partai lain tak ada yang mengikuti langkah PDI Perjuangan ini. Coba kalau semua partai melakukan hal yang sama, lantas kapan gubernur dan bupati bisa mengayomi- seluruh rakyatnya tanpa membedakan asal-usul partai? Bukankah mereka sudah jadi pejabat pemerintah?

Eduardus Karel Dewanto, Badriah, Kukuh Wibowo (Surabaya), Rofiqi Hasan (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus