Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Senor Lula di Ambang Istana

Pemimpin Partai Buruh, Lula da Silva, unggul hingga ke putaran terakhir pemilihan Presiden Brasil pekan ini. Apa saja yang ia tawarkan?

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di jantung Sao Paulo, kegembiraan musim semi seolah merebak di berbagai sudut kota. Dalam gedung Santa Helena—sebuah gedung kuno yang didedikasikan kepada para buruh industri—sejumlah artis "proletar" sibuk memamerkan karya-karya kerajinan mereka. Dan di gedung teater, opera romantis karya Mozart, The Marriage of Figaro, dipentaskan bagi penduduk kota. Sao Paulo, kota asal pemilihan Luiz Inacio Lula da Silva—kandidat terkuat Presiden Brasil—tampaknya mulai berpesta menyambut kemenangan Luiz Inacio Lula da Silva, 56 tahun, pemimpin Partindo Dos Trabalhadores alias Partai Buruh. Dengan menyabet suara 46 persen pada termin pertama pemilihan presiden, 4 Oktober lalu, Lula hampir pasti menjadi Presiden Brasil menggantikan Fernando Henrique Cardoso. Pada termin kedua—sekaligus termin terakhir—27 Oktober 2002 ini, lawan yang ia hadapi tinggal Jose Serra, yang hanya memperoleh sekitar 20 persen lebih suara. Berasal dari koalisi kanan tengah yang sama dengan Cardoso, Serra membawa bendera Partai Sosial Demokrat Brasilia. Dua kandidat lainnya, Ciro Gomes (Partai Sosialis Rakyat) dan Anthony Garotinho (Partai Sosialis Brasil), kemungkinan besar akan mendukung Lula, sehingga pengamat mengatakan Lula akan menutup pemilu ini dengan kemenangan. Keunggulan Lula menimbulkan satu pertanyaan: mengapa Brasil, yang punya tradisi diperintah oleh kelompok kanan-tengah, tiba-tiba mengidolakan seorang pemimpin dari golongan kiri? Jawabannya adalah korupsi. Meskipun Cardoso—satu-satunya presiden dengan dua kali masa jabatan—dianggap berhasil menata perekonomian Brasil, dia tidak sukses memberantas korupsi. Nah, Lula rupanya berhasil meyakinkan publik Brasil bahwa dia mampu melakukan apa yang gagal dilakukan Cardoso: menjadikan pemerintahan bersih dari korupsi. Janji itulah yang membuat negara berpenduduk 176 juta jiwa lebih yang kini terbenam dalam kubangan utang sebesar US$ 288 miliar (sekitar Rp 2.600 triliun atau dua kali lipat utang pemerintah Indonesia) itu menaruh harapan padanya. Lula tidak sekadar jual kecap. Para pejabat daerah dari Partai Buruh umumnya dikenal sebagai pejabat yang bersih dari korupsi. Sehingga, meskipun Lula sudah tiga kali mencoba mencalonkan diri sebagai presiden—dan hanya menduduki posisi kedua—citra partainya tidak pernah merosot. Soal lain, Brasil adalah negara yang biasa diperintah para jenderal dan tuan tanah. Bila Lula menjadi presiden, dia akan mengangkat status lapisan masyarakat bawah ke posisi lebih terhormat. Lula sendiri berasal dari sebuah keluarga miskin. Ayahnya bekerja sebagai buruh pelabuhan di Sao Paulo. Saat masih bocah, Lula sudah mulai mencari uang sebagai tukang semir sepatu, penjual kacang dan tepung tapioka. Dia baru bisa membaca ketika berumur 10 tahun dan tidak menyelesaikan pendidikan SMP-nya. Setelah dewasa, Lula bekerja sebagai pandai besi di kawasan industri pinggiran Sao Paulo. Dunia politik baru dipijaknya setelah ia masuk serikat buruh pada 1969. Pada 1975 dia menduduki posisi pemimpin Serikat Pandai Besi, yang beranggotakan 100 ribuan orang. Dan Lula berhasil mengubah gerakan serikat buruhnya dari bentuk yang amat partisan menjadi gerakan yang independen. Pada 1980, Lula mendirikan Partai Buruh. Dia berkawan dengan Presiden Kuba Fidel Castro dan Presiden Venezuela Hugo Chavez. Tapi dia tidak memilih ideologi komunis untuk partainya. Sebab, dalam politik Brasil yang dikuasai elite kanan—tentara dan tuan tanah—komunisme bukan dagangan yang laku. Ayah dari dua anak ini lebih suka menggabungkan para true believers serikat buruh, intelektual, aliran sosialis Trotsky, dan aktivis Teologi Pembebasan dari gereja di dalam partainya. Landasan ini membuat Partai Buruh yang dipimpinnya lebih dikenal sebagai sebuah partai beraliran sosial demokrat yang punya kebijakan pragmatis ketimbang revolusioner. Lula—dia sama sekali tak bisa berbahasa asing—berhasil meyakinkan publik dan donatur asing, terutama Dana Moneter Internasional (IMF), bahwa dia bukan pemimpin "berbahaya". Meskipun kiri, dia bersedia bekerja sama dengan donatur. Sampai-sampai, penampilannya pun dia ubah untuk meyakinkan "dunia kapitalis". Lula mencopot celana jins, mendandani diri dengan setelan jas rapi. "Saya berubah. Brasil juga berubah," katanya. Dan hasilnya tidak sia-sia. Hanya dalam dua putaran pemilu, Lula da Silva sudah berdiri di ambang istana kepresidenan. Bina Bektiati (BBC, The Economist, The Guardian, Forbes)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus