Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Seratus untuk Bung Besar

Tekanan Amerika justru mengukuhkan posisi Presiden Saddam Hussein: rakyat Irak seratus persen mendukungnya dalam sebuah referendum di negeri itu pekan lalu.

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUKISAN pria berseragam militer itu disangga di atas sebuah meja panjang. Dari balik kaca pigura, pria itu, Presiden Irak Saddam Hussein, seolah mengawasi dua lelaki yang sedang mengisi lembar suara dalam referendum yang digelar di Irak pekan lalu. Lembar pertanyaan yang dibagikan ke seluruh negeri itu hanya mencantumkan satu pertanyaan: ya atau tidak untuk Saddam Hussein. Izzat Ibrahim, Wakil Ketua Dewan Komando Revolusioner Irak, kemudian mengumumkan hasil referendum. Isinya? Sekitar 11 juta pemberi suara memberikan mandat kepada Saddam Hussein agar kembali memimpin Irak untuk tujuh tahun ke depan. Ini sama dengan 100 persen dukungan. Angka dukungan ini agak meningkat dari referendum 1995. Saat itu Saddam mengantongi 99,96 persen suara. Maka Saddam pun tersenyum lebar. Di jalan-jalan Kota Baghdad, rakyat bertempik-sorak merayakan kemenangan junjungan mereka. Seorang perempuan berjilbab mengacungkan tinggi-tinggi potret Saddam Hussein yang dilingkari bunga mawar merah dan putih pada bingkai berbentuk hati. Perempuan lainnya membawa potret Saddam Hussein yang sedang mengisap cerutu. Bunyi senjata otomatis meletus dari atas atap atau dari balkon rumah—bukan senjata untuk menghajar musuh. Ini bagian dari keramaian pesta kemenangan pemimpin besar Irak. "Saya sangat bahagia. Saddam adalah ayah kami. Dia saudara kami. Dia adalah segalanya," kata Naji Abu Hadi. Petani separuh baya itu bersusah payah datang dari desanya ke kota untuk ikut mendudukkan Saddam kembali ke takhtanya. Negara Barat boleh curiga bahwa semua kegembiraan itu hanya buatan semata, sama seperti mereka mencurigai bahwa referendum itu penuh dengan praktek kecurangan dan ancaman. Tapi lihatlah suasana di Irak bagian selatan, yang mayoritas penduduknya kaum Syiah dan pernah melakukan pemberontakan yang gagal pada 1991. Di kawasan itu, rakyat setempat pun dilanda suasana riang seperti di daerah utara, yang penduduknya dikenal sebagai pendukung fanatik Saddam Hussein, yang bermukim di Baghdad. Tempat-tempat pemilihan bagaikan ajang pesta perkawinan tradisional: ada karpet beraneka warna serta jejeran tenda dan kursi plastik. Seorang penyandang cacat yang masih muda dengan penuh semangat mendorong kursi rodanya ke tempat pemungutan suara. Dan ia memilih Saddam. "Saddam Hussein memelihara persatuan Irak. Dia menjaga stabilitas Irak. Dia orang baik," kata Ahmed Ghazali dari atas kursi rodanya. Pada saat yang sama nun jauh di Washington, DC, Presiden George W. Bush justru sedang menandatangani resolusi kongres yang memberi dia wewenang tanpa batas untuk menggunakan kekuatan militer demi menebas leher kekuasaan Saddam Hussein. Bush sibuk mengerahkan aparat diplomatiknya untuk mempengaruhi anggota Dewan Keamanan PBB agar PBB mengeluarkan resolusi baru terhadap Irak. Dengan demikian, Amerika bisa segera mengobarkan perang terhadap Irak. Tak mengherankan jika pemerintah Amerika memberikan komentar miring terhadap hasil referendum—yang secara telak mengejek nafsu perang Presiden Bush. Dengan sinis juru bicara Gedung Putih, Ari Fleischer, berkata, "Ini bukan pemilihan yang serius. Dan tak seorang pun memperoleh kredibilitas dari hasil pemilihan itu." Fleischer mungkin tak berlebihan. Referendum untuk kursi presiden adalah cara yang biasa digunakan diktator untuk mempertahankan kekuasaan. Dan pemerintah Irak menyelenggarakan kampanye yang membuat rakyat Irak tak punya pilihan lain. Di hampir setiap sudut kota, terpampanglah poster-poster besar bergambar potret Bung Besar—salah satu sebutan kepada Saddam Hussein—dengan aneka teks puja-puji. Di perkampungan penduduk Syiah, dinding bangunan tempat pemungutan suara dihiasi dengan lukisan mural dengan teks tertulis: "Ya, ya untuk pemimpin kita Saddam Hussein dan mampuslah AS dan zionisme." Bahkan, sehari sebelum referendum, nada panggil telepon diganti dengan suara: "Na'am, na'am Saddam (Ya, ya Saddam)." Dukungan rakyat terhadap Saddam ini diperkuat oleh tekanan Amerika yang bertubi-tubi. Abdul Majid Janabi, seorang warga Irak berumur 67 tahun, dengan tenang berkata kepada wartawan asing yang mewawancarainya, "Dengan memilih Saddam Hussein, saya sudah meledakkan pistol saya ke kepala Bush dan gengnya." Raihul Fadjri (AP, Los Angeles Times, Daily Star)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus