Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Foto hitam-putih itu belum juga kusam. Wartawan Israel, David Rubinger, menjepretnya pada 10 Juni 1967 untuk merekam kemenangan negaranya pada perang enam hari melawan negara-negara Arab. Saat itu, di depan Tembok Barat di kota tua Yerusalem, enam serdadu menengadah ke langit, merayakan kegemilangan tersebut.
Pekan lalu, setelah berbilang 40 tahun, momen itu diputar ulang. Serdadu yang tersisa tinggal tiga: Zion Karasanti, Yitzhak Yifat, dan Haim Oshri—kini telah renta. Mereka berpose serupa di lokasi yang sama. Dan, klik, jadilah sebuah foto masa kini dengan pose masa silam itu.
Inilah salah satu cara Israel memperingati empat dekade kemenangan besarnya. Sedangkan negara-negara Timur Tengah yang dicaplok lahannya akan mengenang momen kelam ini dengan demonstrasi besar-besaran. Di Ramallah, Palestina, warga akan mengheningkan cipta selama satu menit, pada 10 Juni, pukul 9 pagi.
Dunia takkan lupa, kala itu, Israel merenggut Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania, kemudian merampas Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir serta merebut Dataran Tinggi Golan dari Suriah. Israel hanya butuh enam hari untuk memperluas wilayahnya tiga setengah kali lipat dari sebelumnya.
Inilah perang yang melatarbelakangi konflik Timur Tengah hingga hari ini, pertempuran yang mengusir warga Palestina dan warga Suriah dari tanah mereka. Pemerintah Israel lebih peduli pada perluasan wilayah ketimbang perdamaian. Apa yang Israel sebut sebagai kemenangan sebetulnya penghapusan batas garis hijau—milik negara tetangga—untuk memperluas wilayahnya. Akibatnya, sekitar 2,5 juta warga Timur Tengah pun tercerabut dari tanahnya sendiri.
Kepercayaan diri Negara Israel—yang waktu itu baru berusia 19 tahun—pun makin meroket tak terkendali. Sebelumnya, peristiwa holocaust pada Perang Dunia II sempat mengguncang keyakinan warga Yahudi: ”Bagaimana mungkin Tuhan membiarkan tragedi kemanusiaan ini menimpa kami?” Banyak warga Israel yang percaya kejayaan mereka pada perang enam hari ini adalah ”jawaban” Tuhan.
Sebaliknya, bagi warga Palestina, perang 1967 adalah salah satu masa terhitam dalam sejarah. Ketika Israel didirikan pada 1948, Palestina pun terpecah belah. Sebagian meninggalkan negaranya. Sebagian lain terpaksa menjadi warga negara Yahudi, bergabung dengan Mesir di Gaza ataupun Yordania di Tepi Barat. Perang enam hari menyatukan warga Palestina di bawah kontrol Israel dan memperkukuh keinginan untuk mendirikan negara sendiri.
Ketika Mesir dan Yordania kemudian berjabat tangan dengan Israel, Palestina menolak. Tidak ada damai sebelum Tepi Barat dan Yerusalem kembali ke pangkuan Palestina. Bahkan Hamas—kelompok Islam yang kini mendominasi pemerintah Palestina—telah berikrar tak akan berdamai dengan Israel sampai kapan pun.
Situasi di Timur Tengah bagai simpul tak berujung. Padahal, pada awalnya, perang enam hari ini diibaratkan David melawan Goliath, si kecil Daud melawan raksasa Jalut. Daud adalah Israel, sedangkan Jalut adalah kumpulan negara Arab. Sekarang sejarawan David Oren menilai amsal ini salah kaprah. Yang lebih tepat: pertarungan antara dua Jalut. Israel sebetulnya lebih kuat karena didukung Amerika.
”Kejayaan” Israel ini diikuti aneka perjanjian. Mesir adalah negara Arab pertama yang secara resmi mengakui Israel. Kedua negara meneken traktat perdamaian pada 1979, menyusul Perjanjian Camp David setahun sebelumnya. Berdasarkan kesepakatan ini, kedua negara harus saling mengakui keberadaan yang lain, mengadakan gencatan senjata, dan Israel harus menarik tentara dan warga sipilnya dari Semenanjung Sinai.
Yordania mengikuti jejak Mesir dengan membubuhkan tanda tangan pada Traktat Perjanjian Israel-Yordania 1994—perjanjian yang menormalisasi hubungan dan menuntaskan konflik teritorial antara kedua negara.
Semua ini tak lepas dari bayang-bayang Amerika. Washington, meskipun tetap bermain mata dengan sekutu Arabnya, terang-terangan mendukung Israel. Inilah tonggak kemesraan Amerika dan Israel yang dirintis Presiden Lyndon B. Johnson dan berlanjut hingga hari ini sebagai lobi Yahudi.
Walhasil, kesepakatan damai seolah cuma indah di atas kertas. Terutama bagi Palestina. Berbagai bentuk perlawanan pun mencuat. Termasuk dalam bentuk gerakan intifadah—perjuangan merebut kemerdekaan tanpa menggunakan kekuatan militer.
Sempat terbetik harapan saat Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin mengakui keberadaan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada pertemuan di Oslo 1993. Sayangnya, Rabin dan Arafat gagal menerjemahkan kesepakatan damai ini di lapangan. Palagan tetap membara. Kelompok Hamas—yang menentang keabsahan Negara Israel bahkan sebelum 1967—memelopori aksi bom bunuh diri untuk memprotes negara Yahudi itu.
Sementara itu, Israel makin menikmati kemenangan semunya ini. Misalnya dengan menjauhkan generasi muda mereka dari fakta sebenarnya. Buku-buku teks pelajaran di Israel tak secuil pun menyebut keberadaan Garis Hijau yang sebelum 1967 memisahkan Israel dan Palestina. Para murid tak diberi tahu bahwa negara mereka telah merampas 78 persen wilayah Palestina. Bahkan, di Museum Kemerdekaan di Tel Aviv, tak ada setitik informasi pun tentang bangsa Arab yang tinggal di Palestina sebelum diduduki Israel
Karena itu, menurut Eyan Danon, sejarawan yang tengah mendokumentasikan sejarah Arab-Yahudi, mayoritas anak Israel tak tahu soal nakba (bencana) yang menimpa negara Arab pasca-perang enam hari itu. Mereka hanya tahu wilayah Israel memang dari dulunya seperti sekarang ini.
Apa boleh buat, perdamaian bagaikan berlari menjauh. Alih-alih mendukung, Israel justru menolak konsep damai yang sempat ditawarkan Liga Arab pada 2002. Israel tak mau pengungsi Palestina pulang ke tanah airnya. Alasannya ”sederhana”: Israel tak mau kepulangan ini berdampak pada jumlah penduduk negara Yahudi itu. Tanda tanya besar pun menggantung.
Masih banyak pertanyaan lain yang mesti dijawab: apa hak Inggris pada 1917 menjanjikan Palestina sebagai rumah bagi bangsa Yahudi? Mengapa Israel menduduki teritori negara lain pada 1967? Mengapa Amerika membiarkan Israel melakukan ini? Masih panjang daftar pertanyaan yang perlu diajukan.
Tapi perjuangan Palestina tak berakhir. Presiden Mahmud Abbas, dalam pidatonya pekan lalu, menyatakan, ”Kami tak mau jadi tahanan dari lingkaran kekerasan ini.” Ia percaya, ketimbang menyurukkan diri ke aneka perjanjian damai, solusi terbaik adalah mendirikan Palestina yang merdeka.
Kini, yang semula ”hanya” pertarungan antara dua negara memperebutkan satu wilayah itu malah melebar menjadi perang agama, memberikan amunisi tambahan bagi ketegangan hubungan Islam dan Barat. Walhasil, empat dasawarsa telah bergulir, aktornya pun silih berganti, tapi lakon palagan di daerah gurun nan tandus itu tak pernah benar-benar usai.
Andari Karina Anom (Al-Jazeera, BBC, The Guardian)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo