VIENTIANE tampak meriah. Tanggal 5 Desember lalu, genap 10 tahun silam kota ini jatuh ke tangan Partai Revolusioner Rakyat Laos, yang lebih dikenal sebagai Pathet Lao. Sang raja, waktu itu, Savang Vattana, dengan sukarela turun tahta. Dan tamatlah riwayat monarki yang sudah berjaya tujuh abad lamanya di negeri ini. Sejak itu, Laos dikenal sebagai anggota kubu sosialis, sekutu terpercaya Vietnam, dan sampai kini masih tergolong dalam kelompok negara yang berada di bawah garis kemiskinan. Vietnam memperingati 10 tahun kejatuhan Kota Saigon - April berselang - dalam suasana gegap gempita bahkan sampai diliput jaringan televisi Amerika, Laos sebaliknya membatasi diri pada yang perlu-perlu saja. Dalam perayaan pekan lalu itu memang ada juga parade militer, akrobatik udara oleh para penerbang Laos, bahkan gerak jalan pasukan gajah yang benar-benar khas. Tapi semuanya tampak sederhana. Sekalipun begitu, panitia tidak lupa menyediakan kesempatan luas bagi rakyat untuk berlenggak-lenggok menari lamvong. Koresponden TEMPO Yuli Ismartono melaporkan bahwa di mana-mana tersedia tempat untuk ber-lamvong. Mengapa? Mungkin karena partisipasi rakyat hanya bisa disalurkan lewat tarian itu saja. Mungkin juga karena lamvong sudah menyatu dengan rakyat. Tarian itu kabarnya tidak pernah tergusur, baik oleh Budhisme maupun Komunisme. Bahkan menurut Menteri Pendidikan & Kebudayaan Phoumi Vonvichit, sosialisme Laos justru mirip sekali dengan lengganglenggok lamvong. Dengan kata-kata itu Vonvichit secara tak langsung mengakui bahwa gerak sosialisme di negeri itu tidak terburu-buru. Dalam bidang ekonomi, umpamanya, selama 10 tahun pendapatan per kapita rakyat Laos, menurut PBB, hanya US$ 90. Ini sudah yang paling rendah di dunia. Benar, pada 1982, negeri itu boleh gembira karena mencapai swasembada pangan, tapi surplus beras yang melimpah tidak tersalur ke berbagai pelosok karena kondisi prasarana jauh dari memadai. "Kami terbelakang, tidak saja di bidang ekonomi, tapi juga kebudayaan," kata Vonvichit. "Produksi kami masih bergantung pada cuaca, karena kurang mengenal teknologi mutakhir." Memasuki repelita ke-2 tahun ini, pembangunan Laos hampir seluruhnya dibiayai oleh bantuan luar negeri. Dari US$ 100 juta bantuan yang diterima per tahun, sekitar US$ 50 juta berasal dari Uni Soviet. Selebihnya datang dari beberapa negara sosialis, di samping bantuan Australia, Jepang, dan Swedia. Yang disebut terakhir ini adalah penyumbang terbesar dari blok Barat, sekitar US$ 8 juta. Sebenarnya Laos juga mengharapkan bantuan AS. Tapi, sejak beberapa tahun silam, negara besar itu menyetop keran dananya. Washington, kabarnya, menuntut agar penggalian sisa-sisa tentara Amerika (MIA) digiatkan kembali, barulah bantuan bisa mengalir lagi. Dengan penduduk 3,6 juta jiwa, beban pembangunan Laos sebenarnya boleh dibilang ringan dibanding negara mana pun di Asia Tenggara. Tapi mereka sangat terhambat karena 40% penduduknya buta huruf. Sejak Pathet Lao berkuasa, 315.000 orang melarikan diri ke luar negeri dan 96.000 di antaranya bermukim di kamp-kamp pengungsi sepanjang perbatasan Muangthai. Kuat dugaan, kaum pelarian itulah yang sebelumnya merupakan golongan terpelajar dalam masyarakat Laos. Kepergian mereka bukan saja menyebabkan bangsa itu jadi lamban dan sukar digerakkan, tapi Laos sekaligus kehilangan apa yang disebut kelas menengah. Faktor lain yang juga kurang menguntungkan adalah posisi Laos yang secara geografis terjepit, bahkan terkurung. Dengan luas hampir dua kali Pulau Jawa, Laos terletak di tengah, berbatasan dengan RRC Burma, Vietnam, Muangthai, dan Kamboja. Keterikatannya dengan Vietnam dalam koalisi negara-negara Indocina telah menyebabkan negeri itu tidak bisa akrab dengan beberapa negara tetangganya, terutama Muangthai dan RRC. Vientiane sebaliknya mencurigai Beijing, yang diduga mensponsori pemberontak anti Laos di seberang perbatasan Provinsi Yunnan, seraya juga menuduh Bangkok yang, katanya, melatih pemberontak reaksioner Laos. Kehadiran 50.000 tentara Vietnam, yang memperkuat 50.000 tentara pribumi, ternyata tidak menjamin keamanan negeri itu. Sewaktu-waktu bisa saja terjadi serangan gerilya seperti yang dilancarkan terhadap proyek kehutanan di Muong Mai, 75 km dari Vientiane, belum lama ini. Akibatnya, tiga tewas dan proyek itu rusak. Karena situasi rawan, jam malam di berlakukan mulai pukul 23.00. Semua orang asing dilarang meninggalkan radius 6 km di luar Vientiane. Sekalipun hubungan dengan Bangkok kurang mulus, suplai aliran listrik untuk Muangthai tetap dipertahankan Laos. Dengan menjual energi yang bersumber pada Sungai Nam Ngun itu, Vientiane memperoleh US$ 28 juta - hampir 75% dari pendapatan ekspornya. Menyadari ketergantungannya pada pelabuhan Bangkok - untuk arus barang-barang impor - Laos kini giat membangun dua jalan raya: highway 9 menuju pelabuhan Da Nang di Vietnam, dan highway 13 yang menghubungkan Vientiane dengan pelabuhan Kompong Chom di Kamboja. Untuk ini mereka banyak dibantu tenaga ahli Uni Soviet. Tapi pada saat yang sama pemerintah Laos rupanya mulai membutuhkan hubungan yang harmonis dengan negara-negara Asia Tenggara. Terbukti dari imbauan PM Laos Kaysone Phomvihane yang mengharapkan agar hubungan bisa ditingkatkan lewat pembicaraan antara kedua kubu. Dia tidak menyebut-nyebut konflik Kamboja, tapi menegaskan, "Kami ingin agar kawasan Asia Tenggara bebas dari campur tangan asing." Seruan itu disuarakan dalam upacara peringatan 10 tahun Republik Rakyat Demokrasi Laos, yang, antara lain, dihadiri Le Duan, Sekjen Partai Komunis Vietnam, dan Presiden Heng Shamrin dari Republik Rakyat Kamboja. Walaupun kedengarannya sumbang, yang penting ini: bahwa Laos pada akhirnya angkat bicara. Itu saja sudah bisa dibilang memadai untuk sementara. Isma Sawitri Laporan Yuli Ismartono (Vientiane)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini