Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah Gerhana Matahari dan Penembakan

India dan Pakistan berbalas tembak pesawat tempur. Kashmir kembali menjadi medan pertempuran.

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEMBAH-lembah pegunungan bersalju di Kashmir menjadi saksi dari gerhana matahari terakhir abad ini. Tapi peristiwa hari Rabu itu disambut dengan rasa masygul oleh rakyat pedesaan Kashmir. Menurut kepercayaan kuno rakyat Kashmir, gerhana matahari bisa membawa bencana. Dan keadaan semacam ini memang tak pernah jauh dari Kashmir selama India dan Pakistan berseteru, setengah abad ini. Kepercayaan itu bisa saja menjadi kenyataan kalau penembakan pesawat patroli Pakistan oleh dua MiG-21 milik India, Selasa pekan lalu, berbuntut panjang. Peristiwa ini, akhirnya, kembali membuka konflik kedua negara tersebut di Kashmir. Kekhawatiran meletusnya perang antara dua negara bertetangga yang bersaing membangun instalasi nuklir itu memang beralasan. Sejak 1947, setelah tiga kali terjadi perang, baru kali ini ada penembakan di saat damai. Penembakan pesawat patroli Pakistan oleh India yang menewaskan 16 awak kapal Pakistan itu sudah mengundang balasan. Pakistan menggempur pesawat tempur India yang terbang di tempat penembakan sehari sebelumnya. Kedua insiden yang berurutan itu memang tidak terjadi di wilayah Kashmir, tapi di kawasan pantai perbatasan India dengan Pakistan. Namun, setiap terjadi bentrokan bersenjata antara India dan Pakistan, persoalan utamanya adalah Kashmir. Kashmir, yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan secara de jure menjadi bagian dari India selama setengah abad ini, tak pernah merasa menjadi bagian dari India. Sedangkan Pakistan, negara berpenduduk mayoritas muslim, lebih merasa berhak memiliki Kashmir. Tak aneh, muncul beberapa kelompok perlawanan militan yang berjuang untuk mendapat kemerdekaan, seperti kelompok pejuang Front Pembebasan Jammu dan Kashmir (JKLF). Selain itu, ada kelompok seperti Hezb-ul Mujahidin yang didukung Pakistan dan sebagian lagi seperti Taliban yang didukung India. Akibatnya, tak hanya pasukan resmi Pakistan dan India yang bisa bentrok, tapi juga kelompok militan dengan berbagai kepentingan. Situasi yang kisruh tak berkesudahan ini telah menyebabkan puluhan ribu nyawa melayang—menurut pemerintah India, tahun ini korbannya sudah mencapai lebih dari 20 ribu—sehingga Human Right Watch menyebut Kashmir sebagai tempat terburuk untuk pelanggaran hak asasi manusia. Pertanyaan berikutnya: apakah Kashmir akan kembali menjadi medan tempur setelah dua insiden terakhir? Kemungkinan besar (untuk kesekian kalinya) perang akan pecah. Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif langsung mengutuk aksi India itu sebagai tindakan pengecut. "Kita harus mempersiapkan angkatan bersenjata kita untuk berjaga-jaga kalau ada serangan dari India," tutur Menteri Luar Negeri Pakistan Sartaj Aziz. "Kita berhak lebih bersiap," katanya tanpa menjelaskan apakah yang dimaksudnya itu adalah konsentrasi kekuatan militer. Dan Komite Kabinet Pertahanan (DCC) Pakistan siap membahas insiden tersebut untuk menentukan reaksi akhir minggu lalu. Pihak India tidak mau kalah garang. Juru bicara Kementerian Luar Negeri India menuding kapal patroli Pakistan telah melanggar batas wilayah. Penembakan itu semata-mata langkah pengamanan karena peringatan yang diberikan oleh India tidak dihiraukan. Pakistan juga dituduh telah melanggar parjanjian "daerah bebas terbang" tahun 1991. Akhirnya, Kashmirlah yang langsung menanggung akibatnya. Pasukan gerilya muslim yang didukung Pakistan membunuh dua komandan marinir India yang ditugasi di Kashmir. Dan mereka berjanji melakukan serangan lebih lanjut. Keadaan ini dikhawatirkan oleh banyak pihak menjadi penyulut babak baru pertikaian berdarah di Kashmir, yang baru beristirahat selama sebulan. Lalu, apa yang bisa dilakukan rakyat Kashmir? Mereka tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali hidup dalam ketakutan dikelilingi tentara, bunker, dan kawat berduri. Seorang wartawan New York Times di Kashmir menggambarkan bahwa kehidupan rakyat di Kahsmir diselimuti kebingungan dan kepedihan. "Kami ingin mengambil sikap dan berkata kepada mereka berdua (India dan Pakistan—Red.), 'Terima kasih atas perhatiannya, tapi biarkan kami tak dijadikan medan pertempuran Tuan-Tuan'," kata seorang pengacara Kashmir. Sayangnya, belum tentu "Tuan-Tuan" itu mendengar. Bina Bektiati (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus