PEKAN ini usia Republik Indonesia genap 54 tahun, sebuah umur yang seharusnya menyiratkan kedewasaan, baik bagi warga negara maupun pemerintahnya. Tapi, dilihat dari kondisi faktual di Tanah Air, hal itu jauh panggang dari api. Kebrutalan tampil sedemikian telanjang di semua penjuru negeri, sementara keculasan untuk membobol uang negara pun tak kalah keterlaluannya.
Merujuk kondisi ini, tak mengherankan bila saat ini mayoritas responden merasa sedih sebagai warga negara Indonesia. Sebagian besar responden bahkan mengaku malu menjadi warga negeri ini. Sikap-sikap ini paralel dengan pendapat mereka tentang proses demokratisasi yang kini sedang berjalan di Indonesia.
Hal yang sering dituding sebagai salah satu penyebab segala wajah buruk yang terjadi saat ini adalah UUD 1945 yang sangat condong pada kekuasaan eksekutif. Memang tak akan kita jumpai pasal dalam konstitusi yang menghalalkan terjadinya kesewenang-wenangan dalam bentuk apa pun. Tapi kekuasaan besar yang terpusat, yang dibenarkan UUD 1945, memang gampang membuat pemegang tampuk kekuasaan tergelincir, apalagi bila tak ada fungsi kontrol.
Mayoritas responden tampaknya juga waspada dengan hal ini, sehingga mereka setuju diadakan amendemen terhadap beberapa bagian UUD 1945, agar kelak ada pembatasan masa jabatan presiden dan pemisahan yang tegas antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ahli hukum tata negara Sri Sumantri menyatakan sepakat dengan sikap mayoritas responden. Menurut Sumantri, Pasal 7 UUD 1945, yang menyatakan presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudah itu dapat dipilih kembali, memang membuka banyak penafsiran, sehingga pembatasan yang tegas sangat diperlukan.
Sementara itu, untuk amendemen Pembukaan UUD 1945, sikap mayoritas responden justru sebaliknya. "Pembukaan memang tak perlu diubah karena di dalamnya tercantum perjanjian luhur bangsa Indonesia," kata Sumantri. Jadi, kalau Pembukaan UUD 1945 dipaksakan untuk diubah, artinya hal tersebut sama saja dengan membubarkan Indonesia.
Berkaitan dengan sikap itu, bisa dipahami bila mayoritas responden menolak tuntutan merdeka bagi penduduk Aceh dan Irianjaya. Responden menyadari bahwa ketidakadilan memang meraja di ujung barat dan timur pertiwi ini, tapi seharusnya hal itu tidak dijadikan alasan untuk memisahkan diri. Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Imam B. Prasodjo, menilai sikap responden ini menunjukkan masyarakat yang sudah matang dan sangat nasionalistis. Alasannya, bila referendum dikabulkan, daerah-daerah lain akan menuntut hal serupa. "Ini jangan diartikan pro-status quo, lo," ujar Imam. Adapun mengenai tuntutan referendum itu sendiri, ia menilai hal itu sebenarnya untuk meningkatkan posisi tawar-menawar dengan pemerintah pusat.
Namun, apakah sebetulnya tawar-menawar itu perlu dalam satu negara? Mungkin ya. Sebab, setelah sekian tahun, daerah hanya dijadikan sumber eksploitasi bagi pusat. Dengan otonomi yang diperluas yang menjadi pilihan mayoritas responden, diharapkan kemakmuran bersama yang dicita-citakan pada 17 Agustus 1945 bisa segera terwujud.
Yusi A. Pareanom dan Hadriani Pudjiarti
INFO GRAFISApa yang Anda rasakan sekarang sebagai warga Indonesia? | Sedih | 58%Malu | 21%Bangga | 13%Tidak tahu | 9% | Bentuk negara apa yang cocok untuk Indonesia? | Negara kesatuan dengan otonomi yang diperluas | 68%Negara kesatuan seperti sekarang | 27%Federasi | 4% | Bagaimana sikap Anda terhadap tuntutan merdeka Irianjaya dan Aceh? | Memang ada ketidakadilan, tapi tak perlu referendum | 46%Sama sekali tidak setuju karena bertentangan dengan UUD 1945 | 23%Setuju, karena adanya ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi | 16%Tidak tahu | 15% | Bagaimana proses demokratisasi yang sekarang ini berjalan di Indonesia? | Biasa saja | 37%Buruk | 30%Bagus | 19%Sangat buruk | 11%Sangat bagus | 4% | |
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
Bagaimana sikap Anda bila bagian-bagian dalm UUD 1945 ini diubah? |
Masalah | Setuju | Tidak setuju | Tidak tahu |
Pembukaan UUD 1945 | 15% | 60% | 24% |
Pembatasan masa jabatan presiden | 75% | 14% | 11% |
Pemisahan lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif | 59% | 18% | 23% |
Metodologi jajak pendapat ini:
Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 508 responden di lima wilayah DKI pada 7-9 Agustus 1999. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen.
Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multistages sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi antara wawancara tatap muka dan melalui telepon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini