DI tengah guncangan pemberontakan dan sabotase, plebisit di Filipina berlangsung tegang. Siaga satu berlaku di seluruh negeri, 79 divisi tempur disiapkan di selatan. Rakyat yang mendambakan kestabilan, juga siap memberikan suara. Mereka yang menggunakan hak suaranya ada 20 juta, kurang 5 juta dari jumlah yang diperkirakan semula. Hasil sementara: 75% lebih menyatakan "ya" bagi konstitusi baru dan kepemimpinan Corazon Aquino. Ini belum merupakan kemenangan mutlak, tapi penghitungan suara cenderung menunjuk ke sana. Agaknya, kemenangan ini bisa dianggap mukjizat kedua bagi Cory. Di tengah kisruh yang dikhawatirkan memuncak pada sebuah perang saudara, plebisit itu sudah berperan sebagai perisai utama. Benar, ada bentrokan kecil di pelosok sana dan sini, tapi bukan perang saudara. Sepanjang hari Senin, ketika plebisit berlangsung, Manila sepi. Sejak pagi-pagi rakyat sudah melangkahkan kaki ke tempat pemungutan suara. Tidak ada kemacetan lalu lintas pasar, dan pusat pertokoan sepi. Keramaian di gedung-gedung umum seperti terbunuh. Wartawan TEMPO Ahmed Suriawidjaja dan Bambang Harymurti mencatat bahwa sejak pukul 7.00 pagi Senin pekan ini, semua perhatian dan kegiatan hanya tertuju ke kotak suara. Dua kali pemilu dalam tempo 11 bulan, rupanya, belum membosankan bagi rakyat Filipina. Atau mungkin juga dalam 11 bulan itu mereka sudah sadar politik, seperti yang dituduhkan bekas Menhan Juan Ponce Enrile. Atau mereka sekedar menjawab imbauan Cory, agar bilang "ya" demi demokrasi. Atau mereka tahu benar makna pepatah lama, yang berbunyi, "Suara rakyat suara Tuhan." Komputer yang menghitung suara pun tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Jawabannya mungkin jauh tersimpan dalam hati setiap orang yang ingin agar kehidupan politik di negeri itu menuju arah yang lebih pasti. Setelah hampir setahun menjalankan konstitusi kemerdekaan, lewat plebisit ini, Presiden Corazon Aquino berusaha membuka lembaran baru, mencarikan arah dan pedoman yang tercakup dalam apa yang disebut sebagai Konstitusi 1986. Ia sejak mula memang tak mau memerintah berdasarkan Konstitusi 1973 yang diselingi keadaan darurat perang, hasil rancangan rezim Ferdinand E. Marcos. Plebisit yang digunjingkan tak akan sukses itu ternyata menarik minat rakyat. Kerumunan massa terlihat hampir di semua tempat pemungutan suara (TPS). Panitia Pelaksana Plebisit, Comelec, yang memantau 87.000 TPS di seantero Filipina, memastikan, 20 juta rakyat menggunakan hak suaranya. Cory, sang presiden, pagi awal plebisit itu bertolak ke kampung halamannya, Tarlac, 80 kilometer sebelah utara Manila. Di sana, bersama tiga putrinya, ia memasukkan suara. TPS Tarlac yang menerima suara Cory, sebuah ruangan 6 X 10 meter di sekolah dasar Central Azucarera De Tarlac, kawasan Hacienda Luicita. Sejak pukul 6.00 pagi, TPS itu sudah menanti kedatangannya. Puluhan wartawan dalam dan luar negeri bersiap meliput peristiwa itu, sementara ratusan penduduk sekitar TPS menanti Presiden yang menjadi kebanggaan mereka di halaman sekolah. Cory tiba pukul 8.47. Berbaju terusan hijau yang dipatutkan dengan kombinasi garis dan kancing hitam, ia turun dari mobil diikuti ketiga putrinya. Seperti biasa, senyuman terlontar dari sudut bibirnya. Tanpa melepas kata apa pun, ia segera mendaftarkan namanya pada panitia. Setelah mengisi formulir, ia langsung memasukkannya ke kotak suara. Cory terdaftar sebagai pemberi suara No. 21 di antara 167 peserta plebisit di TPS Luicita. Seluruh kejadian hanya berlangsung lima menit. Cory, yang tampak tak berminat bicara, menjawab pertanyaan wartawan sekenanya saja. "Saya hanya mengharapkan hari-hari plebisit berlangsung tenang dan konstitusi baru segera mendapat pengesahan," katanya. Ia segera kembali ke mobilnya, Mercedes Baby Benz hitam, MMP-779 yang segera menderu ke pangkalan helikopter, hanya 2 kilometer dari TPS Luicita. Harapan Cory lebih merupakan panjatan doa. Tak banyak yang bisa dilakukan agar plebisit terbebas dari bentrok dan ketegangan. Kekacauan yang diperkirakan memang terjadi di beberapa tempat. Tiga ledakan mengguncang Metro Manila satu malam sebelum plebisit dibuka. Berdasarkan keterangan polisi, ledakan pertama terjadi di stasiun radio DZRH yang sangat populer, terletak di Pusat Distrik Bisnis Legaspi Village, Makati. Kerusakan akibat letupan granat itu, menurut polisi, kecil saja. Lewat 30 menit kemudian, Kapel San Roque, masih di distrik yang sama, dihantam granat. Dan 30 menit sesudah itu, sebuah ledakan menggucang Supermarket Clart,Bani Avenue, kawasan Mandaluyong. Sejumlah saksi mata menuturkan, pelaku rangkaian ledakan itu melintas dengan kecepatan tinggi dalam mobil terbuka. Kuat dugaan, mereka tak lain dari loyalis Marcos yang sengaja mengacaukan plebisit. Satuan-satuan komando khusus untuk keadaan darurat sudah disiapkan sebelumnya. Patroli dengan berbagai detektor khusus merajah hampir semua tempat yang dicurigai di seantero Metro Manila. Beberapa jam sebelum rentetan ledakan itu terjadi, satuan keamanan menahan dua orang pejalan kaki di tengah kota - yang sedang menggotong dinamit yang bisa digunakan untuk meledakkan 10 gedung pencakar langit. Sebuah kotak berisi 120 batang dinamit juga ditemukan di rumah pasangan suami-istri pengikut Marcos. Tapi patroli tak mampu menghadang penembak gelap yang beroperasi di markas Cory, Camp Olivas, di Pampanga, Senin pagi, ketika plebisit baru mulai. Seorang pendukung Cory terhunjam peluru dan mati terjungkal. Menghadapi hari-hari plebisit ini, angkatan bersenjata Filipina dengan 260.000 prajuritnya disiapkan dalam Siaga Satu - siap perang - sementara 50.000 di antaranya dimobilisasikan langsung menjaga semua TPS di seluruh Filipina. Perintah pengamanan ini tak sampai harus menunggu plebisit. Hari Minggu pekan lalu, segerombolan demonstran antiplebisit sayap kiri mengamuk di Mariveles, 80 kilometer sebelah barat Manila, dan melepaskan tembakan. Bentrokan senjata, yang terjadi kemudian dengan pihak militer, minta korban dua demonstran tewas dan 12 luka berat. Tak kurang dari 79 divisi tempur dari berbagai kesatuan dikonsentrasikan di Pulau Mindanau, bagian selatan Filipina. Kawasan ini diperhitungkan paling rawan, karena di sana terdapat basis-basis gerilya Moro dan gerilya komunis. Begitu plebisit dimulai, 300 gerilya komunis bersenjata di Malungon, Pulau Mindanao, membuka tembakan ke arah pemilih di TPS. Tiga prajurit terluka, tapi tak ada anggota masyarakat yang terkena. Kontak senjata terjadi. Lima gerilyawan tertembak mati sebelum gerombolan penyerbu melarikan diri ke hutan. Masih di selatan, di Butig, Provinsi Lanao del Sur, 50 TPS kosong melompong, tak satu pun pemilih berani mendekat. Gerilya MILF (Moro Islamic Liberation Front) mengarahkan senapan siap petik, mengancam semua pemilih yang berani memberikan suara. Sebelumnya, 20 gerilyawan ini menyerang sebuah truk, membunuh 13 petani, dan melukai 8 orang di antaranya. Sementara itu, di Danao, Provinsi Cebu, pasukan pengaman menangkap Ramon Durano, bekas anggota kongres di masa Marcos, yang berkeliaran di sekitar TPS bersama pasukannya bersenjata lengkap. Masih di Pulau Mindanao, 2.000 penduduk Desa Kulambati hengkang meninggalkan tempat tmggal mereka. Gerombolan sayap kanan pendukung Marcos mengancam akan membakar rumah-rumah mereka, bila satu saja di antara penduduk berani memasukkan suara ke TPS. Kendati pasukan keamanan tambahan diturunkan ke sana menyapu para pengancam, penduduk tak segera mau mendekati TPS. Bagaimanapun juga, ratifikasi Konstitusi '86 lewat plebisit Senin baru lalu itu bukanlah jalan mulus menuju demokrasi. Pertentangan antara Cory dan kelompok-kelompok yang menentangnya sarat dengan permainan "politik bawah tanah" yang ruwet, walau kadang-kadang tampak bagai air tenang di permukaan. Sudah sejak Cory mengambil alih pemerintahan, 11 bulan yang lalu, ia baru menghadapi kericuhan berkepanjangan yang diwariskan Marcos. Dengan caranya sendiri, Cory berusaha menjinakkan CPP (Partai Komunis Filipina) dan sayap militernya, NPA, yang sudah 17 tahun begerilya melawan satuan-satuan militer di berbagai daerah. Ia juga berusaha membangun perdamaian dengan kelompok Muslim MNLF di bagian selatan Mindanao yang menuntut otonomi. Persoalan otonomi daerah ltu nyatanya tidak sederhana, karena gerakan Islam Moro MNLF di bawah pimpinan Nur Misuari tidak diakui oleh kelompok lebih kecil, MILF, misalnya. Januari baru lalu, aksi-aksi bersenjata MILF telah memaksa Cory mengutus penasihatnya, Aquilino Pimentel, dan juga iparnya, Margaritha Tingting Cojuangco. Keruwetan ini belum terpecahkan, sudah timbul keruwetan baru yang ditimbulkan mayoritas Kristen di Mindanao. Mereka ini mempertanyakan masa depannya - yang kelak pasti suram - di bawah naungan otonom Moro. Di antara kerumitan pemerintahan yang tumpang tindih itu, Cory kian terjepit karena ulah NPA. Gencatan senjata, yang berakhir 8 Februari depan, tidak menelurkan pemecahan masalah seperti diharapkan pemerintah. Perundingan sudah pasti gagal, apalagi tim perunding komunis NDF menarik diri sebagai protes terhadap kematian 18 petani militan dalam peristiwa Kamis berdarah, di jembatan Mendiola. Di pihak lain, militer - yang banyak terlibat dengan gerilyawan NPA - semakin mencurigai itikad baik komunis. Kastaf AFP Jendral Fidel Ramos tiap kali menegaskan bahwa, "Itikad baik komunis masih harus diuji." Sementara itu, di antara kelompok militer sendiri terselip loyalis Marcos yang terus mengintip kesempatan dan menciptakan perpecahan dalam tubuh militer. Perundingan Cory dengan tim perunding NDF (National Democratic Front) belum sempat mencapai kesepakatan apa-apa, ketika pihak komunis pekan silam memutuskan menarik diri. Protes ini didasarkan pada peristiwa berdarah 22 Januari, ketika kelompok petani Kilusang Magbubukid ng Pilipinas yang dipimpin Jaimie Tadeo berdemonstrasi ke Istana Malacanang menuntut landreform. Pasukan pengawal istana, untuk pertama kalinya, pada masa kepemimpinan Cory, melepaskan tembakan. Korban jatuh, 15 demonstran terkapar mati. Jumlah itu kemudian meningkat jadi 18. Banyak kalangan menilai, demonstrasi petani militan ini bukan protes murni. Sejumlah kesaksian yang dikumpulan komisi penyelidik yang dibentuk Cory menunjukkan, dua orang bersenjata menyelip di antara demonstran, dan melepaskan tembakan ketika massa petani itu dengan ganas mendesak ke gerbang istana. Popularitas Cory, bersama ratifikasi Konstitusi '86 yang sudah disiapkannya, hampir merosot. Gelombang protes dan kecaman menerpanya. Pada demonstrasi pemakaman dua korban peristiwa 22 Januari itu, Tadeo mengecam janda Cory sebagai tak sungguh-sungguh mau melaksanakan Landreform. Cory, kata Tadeo, sebagai keluarga pemilik tanah pertanian tebu seluas 6.000 hektar adalah tuan tanah yang kini dikelilingi para pedagang, industriawan, dan spekulan. "Cory sudah lupa pada revolusi people power yang menaikkannya ke jenjang kekuasaan," ujar Tadeo pedas. Bentrokan militer dengan kelompok petani militan akhirnya membelokkan simpati Cory pada kelompok yang terakhir ini. Pihak militer merasa ditekan. Sementara itu, Panglima Angkatan Bersenjata Fidel Ramos memperlihatkan sikap setia pada Corry, isu perpecahan dl tubuh militer meluas dengan cepat. Desas-desus itu meletus Selasa pekan lalu, ketika pasukan pemberontak dari tubuh angkatan bersenjata berkekuatan 200 orang bergerak melakukan "serangan fajar" ke empat markas militer dan dua stasiun televisi. Pasukan pemberontak itu berhasil menguasai stasiun televisi Saluran 7, yang terletak di jalan raya EDSA, Manila, selama 61 jam. Pemberontakan bergaya kudeta ini dipimpin Kolonel Oscar Canlas, seorang perwira dinas intelijen Angkatan Udara. Nyata betul, dibayangi kekhawatiran perpecahan dalam tubuh militcr, Pangab Jenderal Fidel Ramos dan Menteri Pertahanan Rafael Ileto bergerak sangat hati-hati terhadap pemberontak. Ketika Menteri Kehakiman Neptali Gonzales -- yang mewakili sikap Cory -- menyerukan pengadilan Mahkamah Militer bagi para pemberontak, Ramos dan Ileto segera menyangkalnya. "Terlalu prematur untuk bicara soal pengadilan dan hukuman," ujar Ramos ketika itu. Di tengah keadaan meraba-raba itu, terbetik pula berita bahwa Ramos diancam perwira muda Kolonel Honasan, yang mewakili perwira-perwira muda idealis yang pernah berjasa membendung kekuasaan militer Marcos. Honasan konon menggertak Ramos, minta agar pemberontakan diatasi tanpa pertumpahan darah. Dan Kastaf AFP itu kabarnya menerima. Pemberontakan memang bisa diatasi lewat sedikit kontak senjata, tapi dengan cara yang kurang militer. Imbauan diteriakkan lewat megapone diiringi lagu-lagu Paul Anka tahun 60'an, You Are My Destiny dan I'm Just A Lonely Boy. Dan pernyataan pers yang menyertai "upacara takluk" itu serba tak jelas arahnya. Ramos ikut bertepuk, ketika Canlas mengutarakan perang terhadap komunisme. Sementara itu, seorang prajurit yang pada mulanya menyatakan akan bertempur sampai titik darah penghabisan, pada akhirnya melemparkan M-16 organiknya ke dalam karung seraya berkata, "Keluhan kami adalah keluhan jenderal-jenderal kami." Acara usainya pemberontakan, sangat terhormat, mengambil tempat di Camp Aguinaldo - tempat Ramos dan Menteri Pertahanan Enrile Februari lalu melakukan pembangkangan terhadap Marcos. Toh rujukan dengan lagu-lagu Paul Anka itu tak berlanjut mesra. Sabtu pekan lalu, Ramos dan Ileto berubah sikap, menjadi keras. Keduanya menyangkal pendekatan pada percobaan kudeta yang gagal itu sebagai sikap lemah. "Itu cara psikologis menghindari pertumpahan darah," jawab Ileto ketika ditanya. Percobaan kudeta diusut, dan sejumlah penangkapan dilakukan. Pasukan pemberontak, yang diperkirakan berjumlah 500 orang, dikonsinyasi dan di bawa ke 25 meja interogasi. Sejumlah politisi kabarnya juga ditahan - walau Ramos tak mau menyebutkan nama, karena merasa tak berhak mengadili kaum sipil. Tapi Ramos menyebutkan nama-nama para perwira militer yang terlibat percobaan kudeta dalam jumpa pers Sabtu lalu. Mereka adalah Brigadir Jenderal Jose Zumel, Kol. Rolando Abadilla, Kol. Reylando Cabautan, dan Mayor Romeo Baquiren - sebagian masih buron. Ileto yang hadir pula pada jumpa pers itu, kini menyatakan para pemberontak mungkin saia dihadapkan ke Mahkamah Militer, yang bisa berakhir di depan regu tembak. Persis seperti yang dikatakan Menteri Kehakiman Gonzales, seminggu sebelumnya. Nama-nama militer yang muncul segera menjelaskan latar belakang kudeta. Kol. Oscar Canlas, yang sepanjang karirnya bergerak di dinas rahasia, terungkap kenal dekat dengan tangan kanan Marcos, Jenderal Fabian Ver. Kolonel Cabautan, yang dikenal sebagai ahli perang urat saraf, adalah melihat ratifikasi Konstitusi '86 sebagai tertutupnya peluang untuk kembali berkuasa, mengerahkan seluruh dana dan daya untuk melancarkan pukulan besar yang terakhir. Rencana keberangkatannya dari Honolulu yang batal, hampir bisa dipastikan bukan suatu kebetulan. Harian The Manila Chronicle mengungkapkan, percobaan kudeta yang gagal memang didalangi Marcos dan kawan-kawannya di Filipina. Harian itu menunju lebih rinci bagaimana strategi kudeta in dirancang secara profesional oleh tentara bayaran. Di antaranya, ada seorang bekas perwira dinas rahasia AS, CIA, yang sudah bergerak beberapa lama di Manila, bermarkas di Pusat Distrik Bisnis Makati - sebagai pengusaha. Sebuah sumber di kalangan angkatan darat, berpangkat kolonel yang tak mau disebutkan namanya, mengungkapkan pada Bambang Harymurti dari TEMPO, bahwa prajurit yang memberontak mengakui mereka itu dibayar untuk menduduki stasiun TV Saluran 7. "Ada yang dibayar 5.000 pesos, ada yang 10.000 pesos, dan tingkat komandan dibayar sampai 100.000 pesos," ujar kolonel itu. Perwira itu menyatakan belum tahu lewat mana uang disalurkan ke para pemberontak. Ketika ditanya bagaimana nasib perwira idealis Kol. Gregori Honasan, kolonel angkatan darat itu menyatakan, Honasan tidak ditahan. "Tapi ia sekarang tidak punya jabatan, ia sedang diambangkan," katanya. Sesudah pembersihan itu, disiplin di angkatan bersenjata mulai diperketat. Menteri pertahanan Rafael Ileto, jenderal purnawirawan lulusan West Point, kini bersuara lebih gamblang. "Saya jamin, angkatan bersenjata kompak," katanya dalam suatu wawancara dengan Reuters. Ia menyatakan, seluruh kericuhan yang terjadi berpangkal pada sejumlah perwira yang masih loyal pada Marcos. "Tapi jumlah mereka tak sampai 1% dari 260.000 anggota angkatan bersenjata Filipina," katanya lagi. Ramos, dalam berbagai jumpa pers, tampaknya menyamakan suara dengan Ileto. "Pernyataan tentang angkatan bersenjata sudah dikemukakan Ileto," begitu jawabnya selalu. Ketika militer masih dalam keadaan ricuh semacam itu, Cory dengan keyakinan yang amat kukuh meneruskan kampanye ratifikasi konstitusi. Jumat pekan lalu, tak sampai seminggu jaraknya dari kudeta yang gagal di Manila, ia berangkat ke kawasan paling berbahaya: Filipina Selatan. Ia menghimpunkan massa di tiga kota, Davao, General Santos, dan Cebu, mengkampanyekan "yes" untuk Konstitusi '86. Dalam perjalanan itu, ia mengecam pemberontakan militer yang sedikit banyak menggambarkan dendamnya pada kelompok baju hijau - suaminya, Benigno, apa pun latar belakangnya - dijagal militer tiga tahun silam. Rally kampanye "ya" yang berlangsung 29 hari, berakhir Senin pekan ini di Taman Rizal Manila, lewat sebuah rapat raksasa yang dihadiri 1 juta orang berbaju kuning - tanda revolusi damai Cory. Jam 16.00 sore, dengan helikopter kepresidenan, Cory - yang berbaju kuning turun pula ke kerumunan massa. Dalam pidato singkat selama 10 menit, ia mengulang sikap kerasnya pada pemberontak militer. "Saya sudah berusaha memperpanjang rekonsiliasi dengan siapa saja, tapi sekarang jelaslah, masih ada orang-orang yang ingin menciptakan kekacauan," katanya dalam bahasa Tagalog, "Saya tak mau membunuh, tapi saya juga tak mau kita terbunuh." Pada akhirnya, sekali lagi keberuntungan berpihak pada Cory. Pengumpulan suara, yang masih berputar, sampai kini menunjukkan kemenangan besar bagi Cory di hampir semua daerah -- kecuali Illocos Norte kampung halaman Marcos. Kecenderungan angka senantiasa 1: 5 untuk keunggulan "yes". Menjelang hari kedua plebisit, dari 5,7 juta suara yang masuk, 4,6 juta menyatakan setuju pada Konstitusi '86. Para pengamat politik di Filipina mengutarakan, rangkaian hantaman terhadap Cory menjelang plebisit justru menjadi "berkat tersamar" bagi Cory. Adalah kekhawatiran pada kediktatoran militer dan kekuasaan komunis yang membuat rakyat berduyun-duyun memberikan suaranya pada Cory. Tapi suara "ya" sulit ditemukan di TPS markas militer. Di situ, sebaliknya, suara"no" mendominasi kotak suara. Di markas militer terbesar, Benteng Bonifacio, suara setuju menang sangat tipis atas "no". Perbandingan angka, 37.386 ya melawan 29.705 tidak. Di Pangkalan Angkatan Udara Villamour, "tidak setuju" menang dengan angka 7.237 - "setuju" mendapat angka 5.095. "Memang masih banyak yang harus diselesaikan Cory," ujar Adolfo Romero, seorang pendukung Cory, "para petani masih menggedor pintu, dan militer masih gelisah." Tapi para pengamat politik berpendapat, bukan Cory yang menggelisahkan militer, tapi ratifikasi Konstitusi '86. Bila persetujuan rakyat itu bisa menutup peluang bagi Marcos, la juga bisa menutup pintu militer membangun kekuasaan yang berlebihan. Dengan plebisit, Cory Corazon Aquino telah membangun pagar demokrasi. "Kita harus mengakui, rakyat berpihak padanya," ujar tokoh oposisi paling frontal, Juan Ponce Enrile. Jim Supangkat, Laporan Ahmed Soeriawidjaja & Bambang Harymurti (Manila)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini