HANYA dalam tempo tiga hari, nama Oscar Canlas terkenal ke seluruh dunia - untuk kemudian, barangkali, terlupakan selama-lamanya. Dalam waktu sesingkat itu, kolonel udara ini berhasil mengangkat derajatnya dari kedudukan kaki tangan Marcos ke status tentara pejuang antikomunis. Meski serangan bersenjata ke pangkalan udara Villamore gagal, dan serangkaian aksi militer lainnya sudah dipatahkan, Canlas tetap bertahan di stasiun TV Saluran 7 bersama 200 tentara pemberontak. Ia baru bisa dikeluarkan dari sana sesudah 61 jam, dengan syarat senjata tidak dilucuti dan tidak dalam status menyerah. Besar kemungkinan nasib perwira intel AU Filipina itu tidak akan lebih buruk dari pendahulunya, pelaku kudeta Juli '86 di Hotel Manila (yang terakhir ini cuma dijatuhi hukuman 30 kali push-up). Presiden Corazon Aquino memang memerintahkan semua pemberontak (13 perwira, termasuk Canlas, dan 359 prajurit) diseret ke mahkamah militer, sementara Menteri Kehakiman Nephtali Gonzales menyebut-nyebut hukuman mati di depan regu tembak. Tapi, Kastaf AFP dan Menteri Pertahanan Rafael Ileto berkomentar, "Terlalu pagi sekarang ini untuk bicara soal tuntutan dan pengadilan." Ini bukan untuk pertama kali Ramos, jenderal yang setia kepada supremasi sipil itu, bersikap tidak patuh kepada atasannya, Cory, Presiden/Panglima Tertinggi AFP. November lalu, ia - sengaja atau tidak - telah tidak melaporkan adanya plot kudeta God Save the Queen kepada Aquino. Presiden, yang sedang bersiap-siap memulai kunjungannya ke Tokyo, dalam suasana darurat itu, segera berkonsultasi dengan beberapa perwira lain, dan tentu saja "dengan terpaksa" melangkahi Ramos. Tapi kerenggangan Cory-Ramos tidak sampai berlanjut: akhir November, seminggu sepulang Cory dari Tokyo, Ramos berhasil merapikan jalan untuk eksekusi (bekas) Menteri Pertahanari Juan Ponce Enrile. Tidak seorang pun waktu itu percaya bahwa eksekusi dapat berlangsung mulus - bahwa Ramos akan dapat begitu saja "mempersembahkan kepala Enrile di baki perak ke hadapan sang ratu." Orang tak habis-habis memperbincangkan bagaimana duo Enrile--Ramos berantakan, sementara media massa pro-Cory mengelu-elukan kastaf AFP itu. Ia disanjung sebagai the kingmaker, tokoh militer profesional yang patut dijadikan suri teladan, jenderal yang kehidupannya bersih luar dalam. Banyak pengamat, di Barat terutama, memproyeksikan Ramos sebagai presiden Filipina setidaknya dalam beberapa tahun lagi, sebagai pengganti Cory. Majalah Inggris, The Economist, bahkan tampil dengan judul memancing, "Jika Ike (Jenderal Eisenhower) disukai, mengapa Ramos tidak?" Para pengamat di kalangan Filipino sendiri belum berpikir sejauh itu. Kolumnis Heherson Alvares, teman masa kecil Ramos, dalam nada bergurau menyatakan, jika kastaf AFP itu dicalonkan sebagai presiden, dialah orang pertama yang tidak akan memilihnya. "Ramos orang baik, terlalu amat sangat baik," kata Alvares. Di pihak lain, Kolumnis Belinda Olivares-Cunanan lebih suka membahas bobot kepemimpinannya. Dia menyimpulkan, andai kata timbul krisis, segenap jajaran AFP bisa dipastikan berdiri di belakang Ramos. Tiba-tiba saja, percobaan kudeta Selasa dinihari pekan lalu melumpuhkan teorinya itu. Memang, tidak sampai 500 tentara terlibat, atau -- meminjam istilah Ramos - hanya 1/10 dari 1% personel AFP. Tapi pengamat politik dan kalangan diplomat di Manila menyimak percobaan kudeta itu dengan waswas. Sikap Canlas yang tegar mengisyaratkan bahwa di belakangnya berdiri sejumlah orang kuat dari kalangan militer. Canlas bahkan tidak tunduk pada ajakan Ramos, yang - dalam perundingan empat mata - secara pribadi menyarankan agar pemberontak menyerah secara terhormat. Ketika akhirnya stasiun Saluran 7 digempur gas air mata, yang bangkit bukannya Canlas, tapi 70 perwira menengah antaranya sejumlah anggota RAM yang dipimpin Kol. Gregoric Honasan. Dan protes mereka disertai ancaman: jika Ramos ngotot dengan cara-cara keras (seperti yang diperintahkan Cory), mereka akan ramai-ramai menarik diri dari AFP. Terjadi debat tiga jam antara mereka dan Ramos, yang berakhir dengan "kekalahan" Kastaf AFP Ramos setuju tidak menggunakan kekerasan - satu bukti lagi bahwa keadaannya memang rawan, dan bahwa Canlas punya backing. Hanya di Fllipina, barangkali, sejumlah perwira menengah bisa mendiktekan kemauan mereka kepada perwira atasan. Tapi itulah yang terjadi. "Ramos menghindari perang saudara," komentar wartawan. Kini timbul pertanyaan mengapa eksekusi Enrile bisa dilakukan Ramos dengan mudah, tapi tidak eksekusi Canlas. Risiko apa sebenarnya yang menghadang Ramos, hingga "dalang kerajaan' ini terpaksa memenuhi tuntutan Honasan dan kawan-kawan? Minimal, risiko itu berupa perpecahan dalam tubuh AFP, suatu hal yang sudah lama menggejala. Ileto sendiri mengakui, "AF digerogoti benih-benih pertentangan." Memang, 11 bulan menjabat kepala staf, Ramos berusaha keras menyukseskan konsolidasi. Bukan semata-mata karena AFP goyah, tapi juga karena pemerintahan Cory tidak menampung aspirasi mereka. Canlas, misalnya. bukan hanya tidak yal, tapi berani tidak mengakui pemerintahanan Cory. Kelompok RAM, dalam debat mereka dengan Ramos, memprotes, "Jika komunis berhak diperlakukan secara baik, mengapa kami - yang mempertaruhkan nyawa melawan komunis -- tidak?". Mungkin ini satu dari beberapa alasan politis yang memojokkan Ramos. Keberatan diperlakukan secara tidak adil sudah berdengung lama, dan Enrile waktu itu bertindak sebagai penyambung lidah mereka. Enrile gagal - karena cara-caranya memang tidak taktis. Ia menampilkan diri sebagai jagoan antikomunis -- persis seperti Canlas sekarang - sementara kubunya gencar mematangkan plot kudeta. Eksekusi terhadap Enrile tidak bisa dihindarkan lagi. Di balik pintu tertutup, para menteri bertepuk tangan untuk peristiwa bersejarah itu - sementara Ramos tak henti-hentinya mengisap cerutu. Beberapa hari sebelum itu, ia sudah menyerahkan satu memoranda kepada Cory, berisi 10 tuntutan, dan, paling utama di antaranya, melaksanakan cara-cara lebih efektif menangkis pemberontak komunis. Ramos mengulangi apa yang dilakukan Enrile, berusaha agar suara militer ikut diperhitungkan dalam pengambilan keputusan di Malacanang, tanpa perlu mencurigai profesionalisme kelompok baju hijau. Cory, dengan alasan-alasannya sendiri, tidak begitu menghiraukan tuntutan militer itu - hingga pada suatu dinihari, Selasa pekan lalu, seorang Canlas terang-terangan menolak eksistensi pemerintahannya. Masalahnya, kini, bukan lagi Marcos, Enrile, atau jenderal-jenderal itu. Tapi seberapa tulus Cory bisa menghargai loyalitas jajaran AFP, yang selama ini dibahasakannya sebagai "prajurit-prajuritku."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini