JANGAN minum minuman keras di Malaysia. Jangan pula berdua-duaan laki perempuan, kecuali suami-istri atau keluarga langsung (mahram). Apalagi sampai berzina-jangan. Memang, larangan ini ditujukan hanya kepada para Muslim. Syamsuddin Muhammad, 21 buruh di Kuala Lumpur, terpaksa menjadi pesakitan pertama yang harus menerima hukuman cambuk. Tak banyak hanya enam kali - pada hari Kamis pekan lalu, di Penjara Kota Baru, sebagai pelaksanaan vonis Mahkamah Syari'ah Kelantan. Pasalnya, ia kedapatan ber-khalat (bersunyi-sunyi alias dua-duaan) dengan wanita bukan istri dan bukan mahramnya. Peristiwa itu terjadi dengan latar belakang semangat pelaksanaan hukum Islam secara utuh, di negeri yang 48% penduduknya beragama Islam itu. Parlemen sendiri memang telah menyetujui amendemen pelaksanaan hukum syari'ah yang disahkan awal tahun lalu itu. Tapi, ekornya, kontroversi berkembang. Bekas perdana menteri, Tunku Abdul Rahman mengecam hukuman yang sekarang hanya dipraktekkan di Pakistan dan Arab Saudi itu. Dalam hukum syari'ah yang baru diterapkan itu, dicantumkan hukuman khalwat yang sama dengan hukuman maksimal minum minuman keras. Sedangkan pelaku zina dikenai tak hanya azab cambuk, tapi juga denda 5.000 ringgit dan tiga tahun penjara. Tapi, semua ini, "Akan mengakibatkan adanya dua pelaksanaan hukuman yang kontras di Malaysia," Tunku berkata. Kecaman yang sama dilontarkan bekas PM yang lain, Hussein Onn. "Harus hati-hati mempraktekkan hukum ini, karena di sini banyak pemeluk agama lain." Tentang minuman keras, Tunku berkata pula, "Acara koktil (yang kerap menyertai pembicaraan bisnis ataupun lain-lain yang penting), yang sering dilakukan dengan minum anggur, nanti, tak akan dihadiri orang Islam, karena takut dicurigai ikut minum...." Dan reaksi balik pun dilancarkan. Persatuan Mahasiswa Universitas Islam Antarbangsa (UIA) segera menyampaikan nota protes, dan mengajukan surat kepada Menteri Pendidikan Malaysia - agar yang berwenang meninjau kembali kedudukan Hussein Onn di lembaga pendidikan tinggi itu. Apa jabatan Datuk Onn di sana? Presiden alias rektor. Surat kedua datang dari Persatuan Kebajikan Islam Malaysia (Perkim), dikirimkan kepada Perdana Menteri. Isi: permintaan menggeser Tunku dari jabatannya di sana yang juga presiden. Malah lebih dari itu. Perkim masih menuduh tokoh yang diberi gelar "Bapa Bangsa" itu melanggar UU pasal 298-A, alias "Menimbulkan kekacauan dan ketidakharmonisan di kalangan rakyat." Reaksi sebaliknya datang dari kalangan yang berbeda, tentu saja. Salah satunya, "Tunku, sebagai Bapak Malaysia, tak mungkin bicara bukan untuk kepentingan seluruh bangsa," kata Manteri Kepala Dr. Lim Chong Eu. Toh tidak berarti baik Tunku maupun Datuk Onn persis sebarisan dengan para pendukung mereka. Dua tokoh itu sendiri tak kurang dikenal sebagai banyak sekali memperjuangkan Islam. Tunku, misalnya, aktivis organisasi Islam internasional yang berpusat di Mekah, adalah seorang pendakwah (dengan, konon, banyak warga negara keturunan Cina yang masuk Islam) yang sekaligus penghimpun dana yang besar, khususnya dari Dunia Arab. Masalahnya, baik Tunku maupun Onn adalah tokoh-tokoh - seperti sering digunjingkan -- "warisan Inggris" dalam arti gaya hidup dan pandangan dunia. Padahal, penerapan hukum Islam model Malaysia itu sudah terhitung sangat ringan dibanding yang bisa dibaca dalam yurisprudensi Islam. Cambukan, misalnya, tidak sampai 40, 80, atau 100 kali. Tapi, sepanjang sejarah, penjabaran nyata hukum-hukum baku itu memang bukan sama sekali tanpa melihat kondisi. Dan apa yang dicapai Malaysia barangkali perwujudan dari yang pernah diucapkan Dr. Anwar Ibrahim, tokoh Islam berpengaruh di pemerintahan dan sekarang Menteri Pendidikan sebagai "berikhtiar melaksanakan ajaran Islam dalam konteks aktual" - baik yang tertuang itu merupakan bentuk yang diharapkannya maupun yang justru berbeda. Anwar sendiri, yang juga Ketua Gerakan Pemuda UMNO, dan yang dulu tokoh muda harapan PAS (partai Islam lawan UMNO), ternyata tak kurang tajam mengecam dua bekas perdana menteri itu. "Orang-orang yang menentang pelaksanaan hukum itu," katanya, "hanyalah membawakan suara orientalis, penjajah yang menganggap hukum Islam sudah tak layak lagi diterapkan sekarang." Dilihat dari kaca mata politik, komentar itu seperti tudingan kepada dua jagoan yang sejak masa muda Anwar Ibrahim memang sudah tak disukainya - sikap yang dulu mendorong pemuda yang dikenal saleh dan ikhlas ini menyeberang ke UMNO dan mendukung Mahathir Mohammad, saingan besar Tunku dan Onn dan tokoh yang "lebih tidak Barat". Dan dilihat dari perimbangan pengaruh dengan kaum "fundamentalis", yang sebagiannya berkumpul dalam PAS, hukum yang dihasilkan sekarang ini boleh dianggap semacam konsesi. Setidak-tidaknya yang terakhir itulah, tentunya, yang dipikirkan Tunku Abdul Rahman. Katanya, "Jangan gabungkan politik dengan agama." Tokoh yang di Indonesia sangat terkenal di zaman konfrontasi dulu itu yakin, atau setidak-tidaknya menuduh, bahwa penetapan hukum baru itu cuma sebuah tindak politik. "Ini hanya untuk menggalang penyokong Barisan Nasional (UMNO dan kawan-kawan, koalisi yang memerintah) yang mulai goyah," katanya. Mungkin benar, untuk sebagian. Tapi untuk sebagian yang lain, mungkin lebih dari itu. Musthafa Helmy & Syu'bah Asa, Laporan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini