Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah Telur Tak Lagi Murah

Serangkaian protes anti-pemerintah meletus di puluhan kota di Iran. Dicap sebagai pembangkangan dan campur tangan asing.

14 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA saat orang-orang di negara lain merayakan pergantian tahun dengan pesta kembang api, penduduk Kota Teheran di Iran justru sibuk berunjuk rasa. Ahad sore dua pekan lalu itu, warga Teheran tumpah-ruah memadati jalan-jalan kota. Di Jalan Valiasr di Teheran utara, misalnya, massa pendemo berjalan beriringan menuju Bundaran Valiasr.

Sambil berbaris, para pengunjuk rasa berteriak, seperti disaksikan kontributor Tempo, Bahesty Zahra, "Pemerintah, perhatikanlah kondisi rakyat Iran! Turunkan harga bahan pokok!" Aksi protes terus berlanjut hingga malam. Di daerah Gohardasht, Karaj, sekitar 53 kilometer sebelah barat Teheran, ratusan demonstran juga tumplek di jalanan.

Masyarakat Iran memang tidak merayakan malam pergantian tahun pada 31 Desember seperti lazimnya penduduk di negara lain yang berkalender Masehi. Di Negeri Mullah itu, tahun baru jatuh saban 21 Maret, yang dikenal sebagai Nowruz atau hari baru di awal musim semi. "Jadi tiap akhir Desember tidak ada perayaan apa-apa di Iran," kata Bahesty, Rabu pekan lalu.

Namun Ahad dua pekan lalu itu Teheran ingar-bingar. Unjuk rasa pecah di sekujur kota, termasuk University of Tehran. Aksi protes semula damai dan para pendemo berbaris rapi, tapi kemudian berubah kisruh. "Massa tiba-tiba emosional dan merusak fasilitas umum seperti halte bus," ujar Bahesty. "Mereka membakar ban dan benda lain."

Unjuk rasa pertama kali justru meletus di Mashhad, kota terbesar kedua setelah Teheran, tiga hari sebelumnya. Protes itu awalnya dipicu oleh kenaikan harga sejumlah bahan pangan. Bak bola salju, aksi protes dengan cepat menjalar ke puluhan kota lain di penjuru Iran. Dari harga pangan, para pendemo juga memprotes korupsi pemerintah, ekonomi yang bobrok, serta tingginya angka pengangguran di kalangan pemuda dan kelas pekerja.

Di jalan-jalan Mashhad, ratusan demonstran meneriakkan "Matilah, diktator!", "Matilah, Khamenei!" yang ditujukan kepada pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei. Para pengunjuk rasa juga terlihat membakar poster bergambar pemuka Syiah berusia 78 tahun itu. Di lokasi lain, anak-anak bahkan tampak ikut dalam unjuk rasa dan memaki Khamenei.

Teriakan "Matilah, diktator!" antara lain juga menggema di Nowshahr, kota mungil di tepi Laut Kaspia, sekitar 205 kilometer di utara Teheran. Situs berita Reuters melaporkan, di Kota Malayer, Provinsi Hamadan, ratusan pengunjuk rasa memadati jalanan sambil bernyanyi: "Orang-orang mengemis, tapi pemimpin tertinggi bertindak seperti Tuhan!"

Selama lebih dari sepekan, rentetan unjuk rasa puluhan ribu orang itu menjelma jadi pembangkangan terbuka terhadap kepemimpinan Islam Iran. Massa tidak hanya berani mencerca Khamenei, figur pemimpin tertinggi politik dan agama di negeri itu. Mereka juga mengabaikan seruan damai Presiden Hassan Rouhani. Massa memilih merusak gedung-gedung pemerintah, bank, fasilitas umum, dan sejumlah kantor cabang Garda Revolusi.

Pemerintah merespons keras perlawanan warga. Lewat jurus andalannya, rezim kembali mengerahkan pasukan Garda Revolusi dan milisi Basij, paramiliter yang terbentuk sejak sebelum Revolusi Islam pada 1979. Seperti saat wabah protes 1999, 2003, 2006, dan 2009, Garda Revolusi dan Basij kali ini dapat meredam aksi demonstran. "Protes yang menghasut telah berakhir," kata Komandan Garda Revolusi Mayor Jenderal Mohammad Ali Jafari.

Tapi bentrokan telah memakan korban: sedikitnya 22 orang tewas, lebih dari 1.000 lainnya ditahan, termasuk pelajar dan mahasiswa. Amnesty International mencatat ada lima orang yang ditangkap baru-baru ini tewas di penjara Evin, Teheran. "Pihak berwenang harus segera menggelar penyelidikan yang transparan, termasuk autopsi independen," ujar Magdalena Mughrabi, Wakil Direktur Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara.

Pemerintah Iran juga meredam gerakan anti-pemerintah di jagat maya. Sejak Ahad dua pekan lalu, pemerintah menutup Telegram, aplikasi olah pesan yang digunakan oleh lebih dari 40 juta orang Iran. Telegram menyusul Facebook, Twitter, dan YouTube yang sejak dulu diblokir. "Rezim memblokir akses ke platform digital yang biasa dipakai pendemo untuk menyebarkan informasi," begitu diberitakan situs Foreign Policy.

Meski akses jaringan ditutup, pengguna masih bisa bertukar pesan di aplikasi Telegram menggunakan layanan virtual private network (VPN). Dengan VPN, mereka tetap dapat mengakses Telegram lewat jaringan pribadi yang dapat disetel agar tidak terdeteksi jaringan pemerintah. "Hanya Telegram yang harus pakai VPN. WhatsApp, Instagram, Line masih terbuka seperti biasa," ujar kontributor Tempo di kota suci Qom, Idrus Al Hamid.

Rentetan demonstrasi meletup setelah pemerintah Iran menaikkan harga bahan pokok pada pertengahan Desember 2017. Di Teheran, misalnya, telur ayam sebelumnya seharga 400 toman (sekitar Rp 1.400) per butir. "Kini tiap butir telur menjadi 700 toman atau sekitar Rp 2.400," kata Bahesty. Rezim moderat Hassan Rouhani, yang kembali berkuasa selepas memenangi pemilihan presiden pada Mei tahun lalu, juga menaikkan harga bahan bakar minyak.

Marzieh Hesari, 29 tahun, pelayan katering di dekat kampus University of Tehran, menolak kenaikan harga pangan. "Setiap pulang kerja dan melihat tidak ada makanan siap saji yang bisa saya santap, ya, saya memilih memakan omelet," ujarnya kepada Tempo. "Jika telur saja dinaikkan harganya, saya harus makan apa lagi?"

Sejak diteken Rouhani pada 2015, kesepakatan nuklir belum mengenyangkan perut rakyat Iran. The New York Times melaporkan bahwa tingkat pengangguran kaum muda, yang mengisi separuh dari sekitar 81 juta populasi Iran, mencapai 40 persen. "Para pemrotes kebanyakan orang muda yang menuntut solusi untuk pengangguran dan meningkatnya biaya hidup," begitu menurut harian itu.

Lonjakan harga telur juga berpengaruh. Menurut kantor berita Mehr, harga telur hingga dua pekan lalu naik 50 persen. Di pasar-pasar, harga satu nampan berisi 30 butir telur mencapai 210 ribu rial (sekitar Rp 70 ribu). Ini lebih dari dua kali lipat harga biasa. Selain untuk omelet, seperti yang kini kerap disantap Marzieh Hesari, telur jadi bahan baku sangak, roti gandum tradisional Iran. "Per potong sangak 700 toman (sekitar Rp 2.500)," kata Bahesty.

Versi lain soal penyebab protes adalah kebocoran anggaran pemerintah. Rouhani banyak menelurkan kebijakan yang tak populer, seperti pemotongan subsidi bagi warga miskin dan menaikkan harga bahan bakar untuk menurunkan utang negara. "Barang-barang kebutuhan dasar lainnya jadi mahal," demikian diberitakan The Washington Post.

Soal naiknya harga telur, pemerintah menyalahkan biaya pakan ternak yang tinggi dan wabah flu burung yang menyebabkan jutaan ayam petelur tak lagi layak. Namun, urusan selebihnya tentang demonstrasi, penguasa Iran mencari kambing hitam. "Kerusuhan ini dirancang oleh Amerika Serikat, Inggris, Israel, Arab Saudi, Mujahidin-e-Khalq (kelompok oposisi Iran di pengasingan), dan kaum monarkis," tutur Ali Jafari. Kaum monarkis adalah sebutan bagi pengikut Reza Pahlavi, putra mahkota terakhir Kerajaan Iran.

Jaksa Agung Mohammad Jafar Montazeri bahkan menuding badan intelijen Amerika, CIA, mendalangi aksi protes nasional di Iran. "Mereka berencana mengubah demonstrasi menjadi pemberontakan bersenjata ketika peringatan ulang tahun Revolusi Islam 1979 pada Februari nanti," ujarnya kepada kantor berita IRNA.

Benjamin Radd, profesor ilmu politik di University of California, Los Angeles, Amerika, yang berfokus pada Timur Tengah, menilai tudingan terhadap "agen asing" adalah jurus lawas penguasa Iran. Menurut dia, pejabat Iran selalu menyalahkan campur tangan asing dalam setiap kerusuhan domestik sejak CIA bersekongkol dengan dinas intelijen Inggris untuk memicu kudeta terhadap Perdana Menteri Mohammad Mossadegh pada 1953.

Mahardika Satria Hadi, Bahesty Zahra (teheran), Idrus Al Hamid (qom)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus