Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA pengujung 2017, Indonesia mendapatkan kabar baik dari Fitch Ratings. Lembaga pemeringkat investasi ini meningkatkan status investasi Indonesia dari BBB- ke BBB dengan perkiraan (outlook) stabil. Prediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia 2018 akan lebih tinggi daripada 2017 menjadi semakin besar. Kenaikan harga komoditas dunia, peningkatan investasi asing jangka panjang, reformasi struktural, dan disiplin fiskal adalah beberapa kunci kenaikan peringkat ini. Namun, menurut Fitch, sejumlah catatan masih membayangi ekonomi Indonesia. Antara lain tingginya ketergantungan ekspor pada komoditas primer, rendahnya daya saing industri, serta sempitnya basis dan kepatuhan pajak. Artikel ini mencoba menganalisis beberapa catatan tersebut.
Untuk ekspor, perhitungan penulis menunjukkan bahwa Indonesia memang masih mengandalkan komoditas primer pertanian dan pertambangan ketimbang hasil industri olahan. Ini terlihat dari indeks Revealed Comparative Advantage (RCA), yang menjelaskan kekuatan daya saing komoditas ekspor dan Constant Market Share Analysis (CMSA) untuk melihat komoditas dengan pertumbuhan positif. Kombinasi perbandingan harga ekspor-impor dengan selisih ekspor-impor menunjukkan 56 persen jenis ekspor nasional bukan berasal dari hasil industri. Dari persentase itu, 38 persennya terkait dengan migas. Hasil industri sendiri masih didominasi ekspor makanan dan minuman.
Itu sebabnya Indonesia perlu meningkatkan daya saing industri selain makanan dan minuman. Namun bagaimana caranya? Tabulasi silang dari data statistik industri menengah-besar Indonesia untuk pertanyaan "bentuk modal" (penanaman modal dalam negeri [PMDN], penanaman modal asing [PMA], dan nonfasilitas) serta pertanyaan "apakah perusahaan melakukan ekspor atau tidak" menunjukkan bahwa 76 persen PMA melakukan ekspor. Sedangkan PMDN dan perusahaan nonfasilitas yang melakukan ekspor hanya 38 persen dan 19 persen. Artinya, bila Indonesia ingin meningkatkan ekspor, usaha lokal perlu masuk ke jaringan produksi global.
Peningkatan ekspor yang dimaksud tentu bersumber dari hasil industri olahan. Ini dengan sendirinya akan mengurangi ketergantungan ekspor nasional pada komoditas primer. Karena itu, pemerintah perlu menciptakan kondisi yang membuat pengusaha lokal masuk ke pasar dunia, baik dengan melakukan ekspor langsung maupun ekspor tidak langsung, melalui jaringan produksi dan penjualan global.
Tantangan SDM
Agar bisa masuk ke jaringan produksi dan penjualan global, kita perlu meningkatkan daya saing industri. Banyak studi menunjukkan kunci untuk meningkatkan daya saing industri di pasar global adalah ketersediaan angkatan kerja terampil. Minimal tingkat pendidikan terakhir adalah sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Berdasarkan tingkat pendidikan, 73,6 persen angkatan kerja kita memiliki ijazah di bawah SLTA. Sedangkan 55 persen dari penganggur terbuka justru berasal dari kalangan berpendidikan SLTA atau sekolah menengah kejuruan (SMK) ke atas. Artinya, mayoritas lapangan kerja yang tersedia di Indonesia masih didominasi angkatan kerja tidak terampil. Lebih jauh, tidak semua di antara lebih dari 50 juta angkatan kerja berpendidikan di atas SLTA adalah tenaga terampil. Akibatnya, keterampilan mereka harus ditingkatkan sebelum mereka bekerja.
Dilihat dari sisi sektor, hanya 7,2 persen angkatan kerja yang mencari nafkah di sektor industri manufaktur. Rinciannya, 43 persen bekerja di sektor pertanian dan 47 persen di sektor jasa-dengan proporsi terbesar, sekitar 18 persen, bekerja di sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Transformasi tenaga tidak terampil ke tenaga terampil industri memerlukan peran jaringan produksi global. Karena itu, naiknya peringkat investasi Indonesia harus diikuti dengan meningkatnya investasi jangka panjang jaringan produksi global di Indonesia. Rencana pemerintah untuk berfokus pada pembangunan sumber daya manusia merupakan langkah yang tepat. Sebab, tenaga terampil dan jaringan produksi global memiliki hubungan saling ketergantungan dan menguntungkan.
Lantas, SDM seperti apa yang diinginkan? Setelah revolusi industri pertama yang ditandai dengan mesin tenaga uap, revolusi industri kedua dengan mesin listrik dan produksi massal, kini dunia memasuki revolusi industri ketiga melalui peran teknologi komputer, informasi, dan otomatisasi. Pemanfaatan teknologi informasi tidak hanya mempengaruhi sektor jasa telekomunikasi dan informasi, tapi juga semua sektor, dari pertanian hingga jasa lainnya. Itu sebabnya, pembangunan sumber daya manusia Indonesia harus diarahkan menuju tenaga yang "peka" terhadap perkembangan teknologi informasi, apa pun sektor yang dimasuki.
Selain sektor, jenis industri akan berubah. Di masa depan, peran industri kreatif, seperti desain produk dan perdagangan elektronik, akan semakin besar dibanding perakitan. Dengan perkembangan teknologi percetakan tiga dimensi (3D printing), bukan tidak mungkin perakitan yang selama ini dinikmati angkatan kerja negara berkembang akan tergantikan oleh mesin cetak. Proses dari desain produk, pembuatan, hingga penjualan akan semakin singkat dan efisien. Karena itu, pembangunan SDM di sektor industri harus diarahkan pada SDM yang unggul bukan hanya di perakitan, tapi juga di sisi desain produk dan perdagangan elektronik (e-commerce).
Tantangan Ekonomi Virtual
Bila status pekerjaan formal mencakup kategori berusaha yang dibantu buruh tetap dan buruh, karyawan, dan pegawai, jumlah pekerja formal di Indonesia hanya 36 persen dari total pekerjaan yang tersedia. Bila basis pajak didasarkan pada pendapatan pekerja formal, penerimaan pajak akan selalu berada di bawah potensi karena besarnya aktivitas nonformal. Ekonomi digital berpotensi meningkatkan aktivitas nonformal karena promosi produk langsung melalui media sosial. Transaksi barang antarindividu melalui medium elektronik juga meningkat. Akibatnya, keinginan penjual untuk membuka toko secara fisik menurun.
Fenomena itulah yang berpotensi mempersempit basis pajak. Tidak hanya mempengaruhi potensi pajak, aktivitas nonformal juga tidak tercatat secara langsung di dalam produk domestik bruto (PDB) sehingga tidak menggambarkan angka pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya. Ekonomi digital adalah tantangan bagi pemerintah di seluruh dunia, bukan hanya Indonesia. Kini pemerintah harus memikirkan tidak hanya bagaimana mendorong unit usaha menjadi formal dan membayar pajak, tapi juga mendeteksi potensi pajak dari transaksi ekonomi digital.
Tidak hanya dari sisi fiskal, ekonomi digital juga merambah sistem pembayaran di sisi moneter melalui model transaksi individu ke individu (peer-to-peer) yang belum terjangkau otoritas moneter dengan memanfaatkan jaringan perangkat lunak pembayaran digital (blockchain) dan alat transaksi uang virtual (cryptocurrency) yang terdesentralisasi menurut pengguna (bitcoin). Perubahan ini tentu mempengaruhi peta kerja otoritas moneter dan sistem perbankan dunia. Tidak ada pilihan, cepat atau lambat, pemerintah dan otoritas moneter harus masuk ke dunia ekonomi virtual. Catatannya, kebijakan harus bergerak secara netral, tidak menolak arah perkembangan industri dan teknologi, tapi juga tidak melupakan mereka yang tertinggal karena masih menjalankan bisnis secara konvensional seratus persen.
Tahun 2018 adalah tahun kesepuluh perubahan ekonomi ke arah digital di semua lini, transaksi barang dan jasa, investasi, fiskal, dan moneter. Perubahan ini adalah sebuah keniscayaan. Seperti halnya hukum alam inersia, setiap perubahan membutuhkan penyesuaian. Perubahan pada awalnya selalu mengalami penolakan, lalu penerimaan, dan pada akhirnya akan masuk ke keseimbangan baru. Aktivitas ekonomi global selalu berubah mengikuti arah revolusi industri dan teknologi. Di era ekonomi digital, ketersediaan tenaga terampil yang menguasai teknologi informasi adalah sebuah kebutuhan paling mendasar. Realitas selalu mengubah teori sehingga, dalam waktu yang tidak terlalu lama, serangkaian teori ekonomi pun akan ikut menyesuaikan diri mengikuti fakta ekonomi virtual ini. l
Kiki Verico
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia & Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo