SEBUAH pemandangan yang menyentuh dan begitu manusiawi terjadi di penghujung Minggu itu. Nun di Malou, Sudan Selatan, 255 anak-anak yang biasa disebut "tentara", karena mereka berseragam militer dan berperang, kini bernyanyi menyambut kedatangan hari untuk dirinya: menjadi anak-anak kembali. Upacara yang diselenggarakan di sebuah kamp Angkatan Perang Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA) ini menjadi simbol transformasi anak-anak bersenjata yang terbiasa berperang menjadi anak-anak "biasa". Mereka akan bersekolah. Upacara ini merupakan serah-terima tentara anak-anak dari SPLA ke UNICEF (lembaga PBB yang mengurusi dana untuk anak-anak).
Ratusan anak-anak itu menanggalkan senjatanya dan meletakkannya di tanah. Dan baju seragam militer pun dibuka, simbol bahwa mereka tidak akan berperang di garis depan lagi. Mereka mengganti bajunya dengan celana pendek dan T-shirt. Mereka pun bukan lagi menenteng senjata, melainkan tas sekolah dengan buku dan bolpoin di dalamnya.
Paulina Kowl, salah seorang mantan tentara anak-anak yang berusia 15 tahun, pun tampak begitu gembira sembari menjinjing tas sekolahnya. Paulina yang kurus-tinggi itu akhirnya bersekolah, setelah sekian tahun berada di garis depan pertempuran di Sudan Selatan. "Saya sangat bahagia hari ini," ujar Paulina, yang telah bergabung dengan SPLA sejak berusia 10 tahun. "Dan seandainya orang tua saya masih hidup, mereka akan sangat bahagia menyaksikan saya bersekolah," ia melanjutkan.
Setelah upacara itu, ada penerbangan UNICEF untuk mengangkut bekas tentara anak-anak tersebut. Selasa pekan lalu merupakan penerbangan terakhir yang akhirnya membawa sekitar 2.500 bekas tentara anak-anak yang meninggalkan garis depan pertempuran di Provinsi Bahr-el-Gazal, tempat sering kali terjadi bentrokan bersenjata antara SPLA dan pasukan pemerintah.
Sekitar 100 anak yang bertelanjang kaki dan mengenakan pakaian seadanya, bahkan ada yang koyak, itu menaiki tangga pesawat. Wajahnya tampak berseri-seri karena mereka terbebas dari medan pertempuran dan untuk pertama kalinya mereka mengendarai pesawat terbang. Anak-anak itu diterbangkan menuju kamp transit UNICEF di Rumbek, sekitar 250 mil dari garis depan.
"Saya sangat bahagia keluar dari barak," demikian pengakuan Deng Ghol, bocah berusia 13 tahun yang telah ikut bersama kelompok pemberontak sejak berumur enam tahun. Menurut Ghol, ayahnya tewas tahun 1994, sementara ibunya diculik hingga kini. "Saya sangat gembira bisa sekolah. Dan saya harap itu akan membantu saya untuk melacak ibu saya yang hilang," tuturnya sambil memegangi mug yang berisi air, sementara tangan satunya penuh dengan kue.
Pada Oktober lalu, SPLA telah bersepakat dengan pemimpin UNICEF, Carol Bellamy, bahwa anak-anak yang berusia 8 hingga 18 tahun akan dikeluarkan dari kamp pemberontak. Saat itu, Bellamy sedang mengunjungi daerah konflik tersebut dan menemukan bahwa setidaknya masih ada 9.000 tentara anak-anak lainnya yang masih berkeliaran di kawasan ini dan tergabung dalam berbagai kelompok bersenjata.
SPLA, yang telah bertempur sejak 1983, memperjuangkan otonomi untuk kawasan Sudan Selatan, yang dihuni oleh mayoritas masyarakat Kristen dan penganut animisme. Mereka berperang melawan pemerintahan yang sah di utara, yang dikuasai kelompok muslim.
"Kami bahagia karena bisa mengirim kalian ke kawasan yang jauh dari bahaya," ujar komandan SPLA, Majak D'Agot, kepada mantan tentara anak-anak saat upacara serah-terima. "Sebenarnya kami sedih karena hidup anak-anak muda seperti kalian telah hancur akibat perang. Kami berdoa agar kalian sejahtera dan tidak mati muda," tutur D'Agot.
Menurut Bellamy pada Selasa pekan lalu di Jenewa, kesadaran untuk tidak melibatkan anak-anak di dalam pertempuran sudah mulai meningkat. Tetapi, kenyataannya masih ada sekitar 300 ribu anak di seluruh dunia yang digunakan sebagai tentara, porter, dan budak seks. "Hanya gerakan global yang bisa menghentikan ini," tutur Bellamy dengan tegas.
Sementara itu, petinggi pemberontak, Elijah Melok, menyatakan bahwa 30 persen dari pasukan pemberontak adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Namun, dia memperkirakan hanya lima hingga tujuh persen yang benar-benar bertempur. Lainnya mengumpulkan kayu bakar dan memasak. Kebanyakan dari anak-anak itu sudah yatim setelah orang tua mereka tewas atau diculik untuk menjadi budak pasukan pemerintah ataupun milisi yang didukung pemerintah.
Pemerintah Sudah menyatakan protes atas operasi UNICEF yang dianggap diselenggarakan dengan diam-diam. Menteri Negara untuk Perdamaian, Mutreif Siddeiq, menyatakan bahwa operasi tersebut dilakukan dengan sangat rahasia, dan dia mencurigai adanya motif tersembunyi UNICEF dan SPLA. Menurut dia, pemerintah akan mengambil tindakan yang tepat setelah mendapat penjelasan dari UNICEF mengenai operasi rahasia tersebut. "Seharusnya ada pemberitahuan dan konsultasi dengan Khartoum untuk mempertemukan anak-anak dengan keluarga mereka, daripada memindahkan mereka ke kawasan lain yang juga dikuasai pemberontak," ujar Siddeiq.
Purwani Diyah Prabandari (dari AP, AFP, dan BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini