KETIKA berumur empat tahun, satu hal yang membekas di hatinya
ialah ketakutan. Golda Meir, tokoh Israel dan bekas Perdana
Menteri yang meninggal pekan lalu dalam umur 80, lahir di Kiev
-- di wilayah yang kini disebut Soviet Ukrainia. Di kota itu
Golda bersama orang tuanya tinggal di sebuah rumah kecil yang
miskin. Sebagai seorang anak Yahudi di negeri di bawah duli Tsar
Rusia, ia sudah mulai dengar kata pogrom.
Ia tak tahu persis bahwa kata itu berarti pemburuan orang Yahudi
secara besar-besaran oleh orang pribumi. Tapi Golda merasa:
seorang Yahudi umumnya dipandang dengan benci sebagai "pembunuh
Kristus". Bapak-bapak mereka membuat barikade di depan rumah,
bersiap bila serbuan datang.
Golda kemudian besar, pindah ke Amerika dan ikut mendirikan
negeri Israel -- serta membuat barikadenya sendiri. Beberapa
hari setelah PBB di tahun 1948 memutuskan untuk memberikan
separuh Palestina kepada bangsa Yahudi, orang-orang Arab tak
bisa nenerima ini, perang pun mengancam Pemimpin Yahudi dan
"Bapak Israel" Ben Gurion pun mengutus Golda ke AS. Keadaan
begitu mendesak, hingga Golda berangkat tanpa membawa kopor.
Tapi ia berhasil kembali dengan lebih dari sekedar kopor: wanita
yang waktu itu tak begitu dikenal ini dapat mengumpulkan dana $
50 juta dari orang Yahudi Amerika. Dan senjata pun dibeli,
terutama dari Eropa Timur karena AS sendiri mengadakan embargo
terhadap penjualan senjata ke Timur Tengah. Uang itulah, dan
jasa Golda, seperti diakui Ben Gurion, yang ikut memungkinkan
berdirinya negara Israel, 14 Mei 1948.
Sampai kini pun, Israel sebagai unsur yang belum diterima dalam
tubuh Timur Tengah, tergantung benar pada suksesnya cara Golda
di tahun 1948. Tapi tentu bukan cuma karena itu. Tekadnya untuk
hidup terus -- selama 30 tahun yang tak kenal damai -- nampaknya
juga ditopang oleh keengganannya main gampangan. Seperti
dikatakan Meir sendiri dalam otobiografinya yang terbit tiga
tahun yang lalu: "Dunia ini keras, mementingkan diri sendiri dan
materialistis. Ia tak cukup peka akan penderitaan negeri-negeri
kecil." Maka jika Israel sendiri tidak kuat, tulis Meir "tak
akan ada damai."
Mencemoohkan
Bersikap realistis dan punya kekuatan, agaknya itulah syarat
mutlak dalam kehidupan Israel menurut Golda Meir -- suatu
cerminan dari pengalaman pahitnya sendiri sebagai seorang
Yahudi. Maka Meir pun mencemoohkan orang yang mudah percaya
omongan orang lain, khususnya dalam diplomasi yang ruwet di
Timur Tengah. Golda tak percaya akan niat damai Raja Feisal dari
Arab Saudi, dan ia mengejek Menteri Luar Negeri AS Rogers yang
di tahun 1970 yakin akan niat damai dari Ryadh itu. "Sebagaimana
banyak pria gentlemen yang saya kenal, Rogers mengira -- dan
celakanya, ia salah -- bahwa dunia ini semata-mata terdiri dari
para gentlemen melulu."
Golda Meir sendiri di tahun 1948, ketika umurnya 50 tahun,
pernah mengadakan pertemuan rahasia dengan Raja Abdullah yang
bertahta di Trans-Yordania waktu itu. Meir membujuk agar raja
tak ikut menyerang negara Israel yang mau diproklamasikan.
Abdullah berjanji -- menurut cerita Meir -- tapi kemudian
terpaksa tak bisa teguh dengan pendiriannya.
Meir menyesali sikap kakek Raja Hussein itu, yang kemudian di
tahun 1951 ternyata dibunuh oleh orang Arab sendiri. Yang
dimengertinya cuma bahwa pembunuhan Raja Abdullah itu
meninggalkan kesan panjang kepada para pemimpin Arab lain, takut
dituduh "berkhianat" kepada rakyat Palestina. Meir mengutip
kata-kata almarhum Presiden Mesir Nasser yang konon disampaikan
kepadanya melalui seorang perantara: "Jika Ben Gurion datang ke
Mesir untuk berbicara kepada saya, ia akan pulang sebagai
pahlawan yang menang. Tapi jika sayalah yang datang kepadanya,
sepulang dari sana saya akan ditembak."
Untunglah bagi hati Golda yang keras, nenek ini sebelum
meninggal sempat melihat seorang pemimpin Arab datang ke Israel.
Anwar Sadat Kepala Negara Mesir ini justru yang di tahun 1973,
dalam Perang Yom Kippur, berhasil mengguncangkan kedudukan
militer Israel di Sinai dan kedudukan Perdana Menteri Meir
sendiri di parlemen. Mungkin Meir menafsirkan langkah Sadat yang
berani itu sebagai tanda kekuatan Mesir -- sesuai dengan
keyakinannya bahwa hanya dengan kekuatanlah orang di Timur
Tengah bisa mengulurkan tangan tanpa diinjak.
Tapi sulitnya ialah bahwa menambah kekuatan, seperti yang
dilakukan Israel di wilayah yang direbutnya, tak berarti
menambah keadilan. Dan tanpa keadilan yang dirasakan luas,
bisakah damai itu? Sekali ini nenek Golda tak bisa menyahut. Ia
telah dimakamkan di Gunung Herzl, di antara para pendiri Israel
yang sudah tak ada lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini