Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Si Nenek Kuat Tak Ada Lagi

Golda Meir, orang yang banyak berjasa dalam pembentukan negara israel. menurut dia: Israel harus kuat, kalau tidak, tak akan ada damai di Timur Tengah. Perdamaian belum tercapai, ia telah tiada.

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA berumur empat tahun, satu hal yang membekas di hatinya ialah ketakutan. Golda Meir, tokoh Israel dan bekas Perdana Menteri yang meninggal pekan lalu dalam umur 80, lahir di Kiev -- di wilayah yang kini disebut Soviet Ukrainia. Di kota itu Golda bersama orang tuanya tinggal di sebuah rumah kecil yang miskin. Sebagai seorang anak Yahudi di negeri di bawah duli Tsar Rusia, ia sudah mulai dengar kata pogrom. Ia tak tahu persis bahwa kata itu berarti pemburuan orang Yahudi secara besar-besaran oleh orang pribumi. Tapi Golda merasa: seorang Yahudi umumnya dipandang dengan benci sebagai "pembunuh Kristus". Bapak-bapak mereka membuat barikade di depan rumah, bersiap bila serbuan datang. Golda kemudian besar, pindah ke Amerika dan ikut mendirikan negeri Israel -- serta membuat barikadenya sendiri. Beberapa hari setelah PBB di tahun 1948 memutuskan untuk memberikan separuh Palestina kepada bangsa Yahudi, orang-orang Arab tak bisa nenerima ini, perang pun mengancam Pemimpin Yahudi dan "Bapak Israel" Ben Gurion pun mengutus Golda ke AS. Keadaan begitu mendesak, hingga Golda berangkat tanpa membawa kopor. Tapi ia berhasil kembali dengan lebih dari sekedar kopor: wanita yang waktu itu tak begitu dikenal ini dapat mengumpulkan dana $ 50 juta dari orang Yahudi Amerika. Dan senjata pun dibeli, terutama dari Eropa Timur karena AS sendiri mengadakan embargo terhadap penjualan senjata ke Timur Tengah. Uang itulah, dan jasa Golda, seperti diakui Ben Gurion, yang ikut memungkinkan berdirinya negara Israel, 14 Mei 1948. Sampai kini pun, Israel sebagai unsur yang belum diterima dalam tubuh Timur Tengah, tergantung benar pada suksesnya cara Golda di tahun 1948. Tapi tentu bukan cuma karena itu. Tekadnya untuk hidup terus -- selama 30 tahun yang tak kenal damai -- nampaknya juga ditopang oleh keengganannya main gampangan. Seperti dikatakan Meir sendiri dalam otobiografinya yang terbit tiga tahun yang lalu: "Dunia ini keras, mementingkan diri sendiri dan materialistis. Ia tak cukup peka akan penderitaan negeri-negeri kecil." Maka jika Israel sendiri tidak kuat, tulis Meir "tak akan ada damai." Mencemoohkan Bersikap realistis dan punya kekuatan, agaknya itulah syarat mutlak dalam kehidupan Israel menurut Golda Meir -- suatu cerminan dari pengalaman pahitnya sendiri sebagai seorang Yahudi. Maka Meir pun mencemoohkan orang yang mudah percaya omongan orang lain, khususnya dalam diplomasi yang ruwet di Timur Tengah. Golda tak percaya akan niat damai Raja Feisal dari Arab Saudi, dan ia mengejek Menteri Luar Negeri AS Rogers yang di tahun 1970 yakin akan niat damai dari Ryadh itu. "Sebagaimana banyak pria gentlemen yang saya kenal, Rogers mengira -- dan celakanya, ia salah -- bahwa dunia ini semata-mata terdiri dari para gentlemen melulu." Golda Meir sendiri di tahun 1948, ketika umurnya 50 tahun, pernah mengadakan pertemuan rahasia dengan Raja Abdullah yang bertahta di Trans-Yordania waktu itu. Meir membujuk agar raja tak ikut menyerang negara Israel yang mau diproklamasikan. Abdullah berjanji -- menurut cerita Meir -- tapi kemudian terpaksa tak bisa teguh dengan pendiriannya. Meir menyesali sikap kakek Raja Hussein itu, yang kemudian di tahun 1951 ternyata dibunuh oleh orang Arab sendiri. Yang dimengertinya cuma bahwa pembunuhan Raja Abdullah itu meninggalkan kesan panjang kepada para pemimpin Arab lain, takut dituduh "berkhianat" kepada rakyat Palestina. Meir mengutip kata-kata almarhum Presiden Mesir Nasser yang konon disampaikan kepadanya melalui seorang perantara: "Jika Ben Gurion datang ke Mesir untuk berbicara kepada saya, ia akan pulang sebagai pahlawan yang menang. Tapi jika sayalah yang datang kepadanya, sepulang dari sana saya akan ditembak." Untunglah bagi hati Golda yang keras, nenek ini sebelum meninggal sempat melihat seorang pemimpin Arab datang ke Israel. Anwar Sadat Kepala Negara Mesir ini justru yang di tahun 1973, dalam Perang Yom Kippur, berhasil mengguncangkan kedudukan militer Israel di Sinai dan kedudukan Perdana Menteri Meir sendiri di parlemen. Mungkin Meir menafsirkan langkah Sadat yang berani itu sebagai tanda kekuatan Mesir -- sesuai dengan keyakinannya bahwa hanya dengan kekuatanlah orang di Timur Tengah bisa mengulurkan tangan tanpa diinjak. Tapi sulitnya ialah bahwa menambah kekuatan, seperti yang dilakukan Israel di wilayah yang direbutnya, tak berarti menambah keadilan. Dan tanpa keadilan yang dirasakan luas, bisakah damai itu? Sekali ini nenek Golda tak bisa menyahut. Ia telah dimakamkan di Gunung Herzl, di antara para pendiri Israel yang sudah tak ada lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus