HUMOR nampaknya sedang disibukkan dengan serius. Coba saja lihat
Setengah tahun terakhir ini saja di Jakarta ada empat kali lomba
lawak, dan satu sayembara penulisan naskah lawak. Akhir Juli
lalu Radio Universitas Kristen Indonesia menyelenggarakan lomba
lawak, yang diikuti 72 peserta kelompok maupun perorangan. Lalu,
untuk menyambut peringatan hari proklamasi nasional, Pasar Seni
Ancol membuka lomba lawak Remaja. Lomba yang diadakan pada 17
dan 18 Agustus 1978 itu diikuti 34 peserta.
Tak cukup dengan itu, pemerintah sendiri turun tangan untuk
"meningkatkan pembinaan dan pengembangan" lawak. Direktorat
Kesenian P&K merencanakan festival lawak nasional. Untuk itu DKI
Jakarta terlebih dahulu memeloporinya. Festival Lawak DKI
Jakarta Oktober yang lalu diikuti 60 peserta. Dan pertengahan
Desember ini, salah satu acara dalam Pekan Humor ialah Lomba
Lawak Mahasiswa. Yang mendapat peminat tak kurang seriusnya
ialah Sayembara penulisan Naskah Lawak oleh Dewan Kesenian
Jakarta. Dibuka 23 Oktober dan ditutup 13 Nopember lalu, waktu
yang tak ada sebulan itu memasukkan 122 naskah, yang akan
diputuskan pemenangnya pekan ini.
Ada apa ini? Tak seorang pun tahu. Humor pokoknya tak mengalami
devaluasi. Ia tiba-tiba menyelip dalam beberapa kegiatan atau
hasil karya, yang sebelumnya susah dibayangkan mengandung humor.
Misalnya dalam sastra.
Memang dulu ada hasil sastra yang sengaja menyuguhkan humor.
Ingat saja yang disebut pantun jenaka, atau Hikayat Lebai Malang
atau Si Kabayan. Atau kumpulan cerita pendek Teman Duduk atau
Kawan Bergelut. Tapi karya sastra yang dianggap utama, misalnya
Layar Terkembang atau Jalan Tak Ada Ujung, praktis tak
mengandung humor. Berbeda dengan itu, karya yang terbit tahun
70-an tak sedikit penceritaan adegan atau beberapa percakapan
yang disengaja mengundang tawa. Hasil pemenang sayembara naskah
drama DKJ di antaranya ada yang berjudul Jaka Tarub, Ben Go Tun.
Dua naskah yang menyediakan peluang cukup untuk ha, ha, ha, ha,
hi, hi, hi, hi.
Dalam Jaka Tarub, Nawangwulan si bidadari tidak kabur ke langit
tapi pernah kabur ke Jakarta bersama seorang sutradara filem.
Lakon Akhudiat ini memang sebuah parodi. Dalam Ben Go Tun
diceritakan beberapa orang yang tunduk dan patuh pada perintah
seorang jenderal yang kemudian baru ternyata hanya oknum dari
rumah sakit jiwa.
PERSEGI Bukan PERSAGI
Tak cukup begitu, tampil pula novel-novel Putu Wijaya atau
Yudhistira Ardi Noegraha. Juga beberapa cerita pendek yang ada
di majalah-majalah. Dan puisi, terutama yang disebut "Puisi
Mbeling" -- rubrik puisi dalam majalah Aktuil dulu -- agaknya
memang disengaja main-main nakal. Jangan pula dilupakan bahan
grrr-grrr dalam pementasan Rendra -- meski lebih diingat orang
karena kritik-kritiknya. Juga pementasan-pementasan Teater
Kecil-nya Arifin C. Noer.
Dan mungkin yang paling tak diduga adalah hadirnya humor dalam
karya seni rupa Pameran Seni Rupa Baru tahun 1975, kecuali
menonjolkan kritik sosial, Juga humor. Ada patung Ken Dedes yang
separuh tubuhnya seperti patung yang ada di candi dan separuh
lagi bercelana jean. Kemudian Pameran PERSEGl, Persekutuan
Seniman Gambar Indonesia (bukan PERSAGI yang Persatuan Ahli-ahli
Gambar Indonesia). Pameran ini mengetengahkan sejumlah
gambar-gambar yang sebagian besar -- disengaja atau tidak --
memang lucu. Dalam Pameran PERSEGI akhir Maret 1978 yang lalu
itu, ada gambar penampang ikan yang bagian-bagiannya antara lain
bernama "kamar tunggu", "pengocok perut" dan di bawah gambar
penampang ikan itu ada keterangan. "Isi di Luar Tanggung Jawab
Ikan."
Dalam pameran itu pula dibagi surat kabar yang bernama Surat
Kabar. Rubriknya seperti juga koran-koran biasa Surat Kabar
sempat terbit nomor berikutnya, sekitar Agustus lalu. Isinya:
komentar atas komentar terhadap Pameran PERSEGI. Aneh-aneh.
Misalnya ada kartun yang merekonstruksi kenapa salah sebuah
resensi tentang Pameran PERSEGI di salah sebuah harian Jakarta
bisa salah nama pengarangnya.
Dunia filem pun tak ketinggalan berhumor. Salah satu filem
terlaris tiga tahun terakhir ini ialah Inem Pelayan Seksi,
Bahkan DKJ menyelenggarakan satu ceramah tentang filem-filem
Nya' Abbas (sutradara Inem) yang judul ceramah itu Nya' Abbas
Acub Tukang Ejek Nomor Wahid."
Majalah sementara itu hampir semua menyediakan ruang untuk
kartun dan artikel, lagu, puisi, kartun dan lain-lain. Tapi
isinya "ngawur". Artikel tentang kewibawaan misalnya, dibuka
demikian: "Kewibawaan dari kata wibawa ditambah awalan ke dan
akhiran an. Jadi kewibawaan adalah kata benda abstrak." tulisan
humor pendek-pendek. Surat kabar pun mempunyai ruang pojok yang
isinya komentar peristiwa aktuil dengan gaya humor. Bahkan di
tahun 1971 terbit majalah yang mengkhususkan diri berhumor. Dan
Stop, majalah itu, masih bertahan sampai sekarang. Tahun 1974
terbit pula Astaga. Namun Astaga ini tak sampai lima nomor hidup
-- mungkin karena humornya terlalu khusus, berbicara seputar
seniman melulu. Tahun 1975 kembali Astaga terbit -- dengan
pengasuh-pengasuh baru, antara lain Arwah Setiawan. Pun Astaga
yang kemudian ini tak bertahan lama: bernafas (sambil geli)
selama satu setengah tahun.
Kok ternyata Arwah belum kapok atawa bosan. Orang ini yang masih
sanak sama Bung Karno, adalah penulis rubrik "Komedi Masyarakat"
dalam harian Sinar Harapan yang isinya satire politik (1968 -
1969). Ia lalu nekad, menjadi pemimpin redaksi majalah Astaga
yang telah disebutkan terdahulu (1975-1976), untuk menyatakan
bahwa "humor itu serius." Dalam ceramahnya tentang humor, Juli
1977, antara lain dikatakannya: "Ibarat masakan, humor baru
dianggap bumbu penyedap. Kurang dipikirkan humor sebagai
hidangan pokok penuh gizi."
Dan kelanjutan dari ceramahnya soal gizi itu, empat bulan
kemudian Arwah memprakarsai pertemuan untuk menjajagi
kemungkinan adanya Lembaga Humor Indonesia. 11 Nopember siang,
15 orang dari berbagai profesi yang sebetulnya tak berhubungan
langsung dengan humor, bertukar pendapat tentang sinyalemen
Arwah bahwa ada semacam sistim kasta dalam kebudayaan kita,
ialah yang ilmiah dianggap lebih terhormat daripada yang indah,
dan yang indah lebih dihargai daripada yang lucu. Jelasnya ilmu
lebih disanjung daripada seni, dan seni lebih diperhatikan
daripada humor. Maka kata sepakat mereka ialah perlu dilancarkan
upaya yang disengaja dan terkoordinasi guna meningkatkan humor.
Artinya, Lembaga Humor Indonesia memang perlu ada. Dan setahun
kemudian, 29 Nopember yang lalu, LHI di resmikan adanya. Tak
tanggung-tanggung, LHI merasa perlu juga menemui Wakil Presiden
Adam Malik untuk memperoleh bantuan bila memang diperlukan.
Diwakili oleh para pengurusnya-Arwah sendiri, Krisbiantoro, S.
Bagyo pelawak, GM Sudarta kartunis dan Bambang Utomo -- 5
Desember yang lalu mereka berbincang-bincang dengan Wapres. Lucu
juga.
Apa sih, tujuah LHI itu? Dalam konsep LHI yang diketik tak
kurang 9 halaman folio dalam bab "Tujuan" yang dikatakan dalam
satu kalimat saja -- dan karena itu merupakan kalimat panjang
--singkatnya ialah, untuk "mengembangkan, meningkatkan, dan
memperdalam humor, sehingga akan banyak membantu manusia
Indonesia ke arah mencapai sikap budaya yang lebih paripurna."
Kalimat ini tentu saja jelasnya begini: "Kita ingin melihat
film, buku lebih berkembang, lebih bermutu. Demikian pun
terhadap humor. Orang tentu sudah mempunyai kriteria sendiri,
sehingga bisa membedakan mana humor yang baik, mana yang tidak.
Kita bisa merasakan itu. Tapi kalau kegiatan bidang lain, seni
dan ilmu pengetahuan, kegiatan apresiasinya sudah melembaga,
humor belum."
Jadi perlu ada kritik. Perlu ada pembahasan humor yang mendalam,
agar "perkembangan humor tak terhambat." Ini untuk menjawab
keluhan masyarakat: bahwa humor Indonesia kok itu-itu saja,
yang menurut konsep LHI bukan salah para humoris saja. Para
humoris tak pernah mendapatkan informasi atau pegangan bagaimana
mengembangkan humornya, begitu pleidooinya.
Bahwa orang memerlukan kritik, atau diskusi tentang humor, bisa
dilihat dari gelisahnya para humoris sendiri: mereka rata-rata
tak puas dengan lelucon yang selama ini berjumpalitan di
Republik.
Dengar misalnya suara Dwi Koendoro, 37 tahun, yang gagal membuat
film kartun karena pemesan tak kunjung muncul, kemudian
menggantungkan hidupnya dari membuat kartun. Kini ia sudah
nongkrong di Gramedia Film. Ini kritiknya: "Saya kurang
senang kartun yang Isinya sindiran saja. Itu cuma lelucon. Saya
senang kartun yang mengajak tertawa dan berpikir." Ia
menyayangkan kartunis Johny Hidayat yang coretannya seenaknya
saja. "Tapi dia saya anggap sudah menyatu dengan masyarakat.
Atau mungkin kartunis macam Johny itulah yang tepat untuk
masyarakat kita kini."
Pendapatnya disetujui oleh "bapak"nya "Oom Pasikom" dari Kompas,
ialah GM Sudarta, 30-an. Oom ini jebolan "Asri" Yogyakarta. Ia
sekarang bekerja sebagai illustrator harian apalagi kalau bukan
Kompas. Ia melihat bahwa kartun-kartun yang bertebaran di
majalah-majalah kita kurang bermutu. Tapi dengan sopan ia
tambahkan itu tergantung bobot majalahnya juga.
Apa kata Johny Hidayat, 36 tahun, yang hidup dari mencipta
kartun dan berpenghasilan rata-rata Rp 400 ribu sebulannya
"Humor kartun yang baik nemang tak usah pakai teks. Tapi itu
sulit." Tentu saja. Apalagi bagi si John yang harus melahirkan
30 kartun rata-rata sehari. Dan menurut penilaian dia, "kartun
sekarang yang itu-itu juga."
Tapi ia senang perhatian masyarakat meningkat. Buktinya?
"Sekarang ini ada iklan humor, ada permintaan brosur humor."
Yang tak disebutnya: ada juga penghasilan humor. Seorang
kartunis muda misalnya bisa mengumpulkan uang sekitar Rp 50 ribu
sebulannya. Namanya Iskandar Buchori, yang berpendapat:
"Sekarang semua kartunis mikirin duit melulu."
"Mikirin duit" mungkin kuat tendensinya di dunia lawak. Tapi di
sini pun kegelisahan mencari terdengar pula. Budi SR jebolan
Srimulat yang sekarang membentuk kelompok ludruk di Pasar Seni
Ancol juga ikut menilai lawak sekarang. "Memang banyak pelawak
baru muncul. Tapi lawakannya kasar-kasar. Banyak sekali unsur
seksnya ditonjolkan." Tapi ia pun menambahkan: "Tapi barangkali
sekarang ini memang yang diinginkan orang begitu."
Tapi (sekali lagi tapi) menurut penilaian seorang anggota
kelompok ludruk di Surabaya, Markaban, "Kemampuan melawak kita
ini belum ada yang benar-benar hebat. Jadi harus punya partner
dalam melawak, agar kekurangan yang satu bisa ditambal yang
lain."
S. Bagyo, lahir di Purwokerto 1933, yang agaknya bisa disebut
pelawak yang tahan zaman, rupanya juga tak puas. Mungkin
karena itu ia bilang: "Jangankan mengritik masyarakt,
pelawaknya sendiri perlu dikritik." Cup, cup, cup.
Syahdan, menurut Krisbiantoro, di luar negeri (tentunya
negara-negara tertentu, seperti misalnya Amerika Serikat) "sejak
gelandangan sampai presiden bisa dijadikan bulan-bulanan untuk
humor." Agaknya ia mensinyalir sebab-sebab keterbatasan
fundamental dari humor kita situasi dan kondisi yang tak begitu
longgar. "Di Indonesia ini mana ada surat kabar yang melukiskan
kepala negaranya dengan aneh-aneh."Tapi selain itu ia menganggap
kemampuan publik menangkap humor masih terbatas. Seperti
dikatakan Bagyo juga: "Dikasih sedikit satire saja sudah jarang
yang mau ketawa."
Memang tak bisa disalahkan kalau kemudian bahan humor terbatas.
Dan lalu bisa disaksikan kalau larinya ke seks dan sadis. Itu
diakui oleh Bagyo. Kalau sudah kepepet, ceritanya, yah keluarlah
seks, keluarlah pukul-memukul rekan dan sejenisnya.
Mungkin soalnya bukan seks atau non-seks. Seperti kata Markaban:
"Sekarang ini bicara soal kondom dan spiral 'kan tidak cabul
lagi." Masalahnya ialah bagaimana cara membicarakannya itu.
Bagaimana caranya, yah kita sendiri tidak tahu. Maka baik juga
kalau kita menjenguk ke Galeri Baru TIM, dalam rangka Pekan
Humor ini, 5 - 18 Desember 1978. Misalnya kartun dinding
mahasiswa Seni Rupa ITB. Banyak yang lucu, tapi jika anda
mahasiswa ITB dari generasi tertentu. Sifatnya agak kurang umum.
Salahkah cara humor ini? Belum tentu. Humor sering berhasil
justru karena tidak "universil", untuk semua masa dan semua
tempat. Bagyo misalnya, tak jarang kalau hendak melawak di suatu
tempat menyelidiki dulu apa yang terjadi akhir-akhir itu di
tempat penontonnya. Humor seks yang tidak lucu untuk anda
mungkin lucu untuk mertua anda. Itu tidak berarti kita tak perlu
"pembahasan humor" -- antar para humoris, sekurang-kurangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini