TUBUH Alhusain, terpental di padang Karbala, 10 Muharram, 1338
tahun yang lalu. Cucu Nabi itu tewas dalam pertikaian perkara
kepemimpinan dengan golongan Islam lain. Kepalanya dipotong,
dipersembahkan kepada Gubernur Kufah. Dengan tongkatnya sang
Gubernur pun mencolek-colek kepala berdarah tanpa tubuh itu
--yang bagi kaum Islam Syi'ah, terutama, justru kepala seorang
martir besar.
Tahun ini peringatan gugurnya Alhusain betul-betul bersuasana
hari syuhada, di Iran. 1200 orang tewas selama minggu-minggu
demonstrasi menentang Shah. Sebagian mereka ditembak polisi atau
tentara. Tapi gelombang protes tak berhenti. Bahkan untuk
perayaan 10 Muharram atau Asyura awal pekan ini, semangat martir
kaum Syi'ah dalam suatu "perjuangan suci" nampak mengentara.
Berhari-hari sebelumnya orang asing di Iran mencemaskan
bentrokan besar akan terjadi 10 dan 11 Desember ini. Soalnya,
sementara penguasa militer melarang orang bergerombol, suatu
suasana massal peringatan Asyura tak dapat dielakkan.
Untunglah. Menyadari hal yang tak terelakkan itu, Jenderal
Gholam Reza Azhari, yang kini dipercayai Shah untuk jadi perdana
menteri, mengalah sedikit: untuk peringatan Asyura, massa boleh
kasih unjuk perasaan selama dua hari. Maka Ahad yang lalu
300.000 orang pun berarak di Teheran -- suatu jumlah besar yang
menurut para anti-Shah konon mencapai 1,5 juta lebih.
"Allahu Akbar!"
Mereka mula-mula berkumpul di mesjid dekat rumah Ayatullah
Teleghani la seorang Ayatullah berusia 70 tahun yang merupakan
tangan kanan pemimpin perlawanan Ayatullah Khomeini. Dari sana,
mereka bergerak ke Monumen Shayad, bangunan indah yang dibangun
Shah Iran untuk dinastinya sendiri. Sementara berseru "Allahu
Akbar" dan "Shah Turun!", massa berlaku lumayan tertib. Tentara
dan polisi tak tampil menyolok, meskipun tank-tank disiapkan
dan beberapa tempat dinyatakan dilarang dilewati. Tak urung
jauh dari Teheran, di kota Ishafan yang termashur akan madrasah
lama dan bangunan antik, kerusuhan mengakibatkan 4 orang mati.
Hari itu oleh Ayatullah Teleghani dinyatakan sebagai "hari yang
menentukan bagi Shah".
Tapi sampai dengan saat berita ini ditulis, Shah belum jatuh
dari Mahligai Meraknya. Bahkan awal pekan lalu dikabarkan ada
demonstrasi yang menyokongnya di ibukota. Namun pesimisme umum
tentang nasib Shah Iran dan pemerintahannya menjalar sudah.
Ratusan orang Iran yang kaya -- dan yang tersangka terlibat
dalam korupsi yang meluas -- berduyun-duyun meninggalkan negeri
mereka.
Pekan lalu, setiap harinya ke Tel Aviv saja rata-rata 400 orang
Iran terbang, dan dari ibukota Israel itu mereka menyebar ke
Eropa atau Amerika. Meskipun kedutaan besar AS tak ingin memberi
kesan ada boyongan orang Amerika meninggalkan Iran, tapi dari
41.000 orang Amerika yang tinggal di Iran, sekitar 10.000 sudah
kabur. Deparlu Jepang bahkan sudah menyatakan "siap 24 jam"
untuk mengangkut warganegara Jepang keluar dari negeri jauh itu,
bila hal yang buruk terjadi.
Kecemasan juga menjangkiti Presiden Carter di Washington.
Pemerintah AS sebelumnya menyatakan keyakinannya bahwa Shah Iran
akan dapat bertahan berkuasa. Namun pekan lalu ketika ditanyakan
kepada Presiden Carter adakah harapan itu masih berdasar, keluar
jawaban: "Saya tidak tahu. Saya harap demikian. " Beberapa waktu
sebelumnya, Carter diketahui mengecam badan intelijen AS yang
rupanya salah perhitungan tentang perkembangan Iran. Dalam
penilaian CIA -- yang rupanya hanya mengandalkan info dari dinas
intelijen Iran, Savak -- para penentang Shah "tak punya
kemampuan untuk jadi lebih dari sekedar mengganggu keadaan."
Israel Takut
Kini, sementara orang menghitung jam sebagai saat-saat terakhir
Shah Iran, beberapa negeri tentulah mulai memikirkan apa yang
akan terjadi bila Shah terguling, dan suatu rezim baru muncul
di Teheran Iran begitu penting, siapa pun tahu, karena Iran juga
berarti minyak bumi.
Yang mungkin akan terpukul sekali bila pergantian rezim terjadi
di sana ialah Israel. Iran merupakan satu-satunya negara dengan
mayoritas penduduk Islam yang berhubungan baik dengan Tel Aviv.
Bahkan 80% persediaan minyak Israel berasal dari Iran. Dalam
hal minyak bumi, Jepang dan Eropa Barat juga akan terpukul bila
tiba-tiba suatu rezim baru menukar beleid dalam pengeksporan
minyak --atau bila suatu perang saudara panjang terjadi di Iran.
AS tak sejauh Jepang dan Eropa Barat dalam ketergantungannya
pada minyak bumi Iran. Tapi AS toh akan bisa kehilangan banyak
jika Shah jatuh. Menurut harian Washington Post awal Desember
yang lalu, ada AS$ 700 juta investasi langsung Amerika di Iran.
Di samping itu, lebih dari 500 perusahaan Amerika punya pabrik
permanen di sana, dan setiap tahunnya ke Iran tercapai AS$ 3,8
milyar ekspor. Jumlah penjualan senjata AS saja mencapai lebih
dari AS$ 2,6 milyar. Sementara itu, sikap anti-Amerika mulai
terdengar pula di kalangan penentang Shah, yang siapa tahu
sebentar lagi berkuasa.
Tapi apa yang dapat dilakukan dari Washington D.C.? Suatu campur
tangan militer tampaknya bakal dihindari Presiden Carter apa
pun yang bakal terjadi. Di kalangan Deparlu AS ada masih tersisa
harapan, bahwa betapa pun dingin nya sikap suatu rezim terhadap
Washington, seperti halnya Aljazair, Iraq dar Libya, tak akan
menghentikan penjualan minyak bumi ke AS.
Para Lanjut Usia
Meskipun begitu, perkiraan lama bahwa Uni Soviet tak akan senang
bila ternyata di Iran nanti muncul pemerintahan Islam -- sudah
mulai ditinjau kembali. Pengalaman menunjukkan bahwa suatu
"republik Islam" yang "ekstrim" seperti Libya lebih suka
mendekati Moskow ketimbang negeri Barat.
Dan memang masih jadi pertanyaan jika nanti para Ayatullah yang
lanjut usia itulah yang menentukan politik Iran, dapatkah mereka
menghadapi infiltrasi agen-agen komunis dari tetangga dekat, Uni
Soviet? Meskipun dalam kondisi lain, sebuah tetangga Uni Soviet
yang lain telah berubah rezim melalui penyusupan kaum komunis
dalam pemerintahan -- yakni Afghanistan.
Sekurang-kurangnya, itulah kecemasan sebagian negara Arab.
Menurut sebuah berita dari Kuwait, dua pemimpin telah memutuskan
sikap tentang Iran. Putera Mahkota Pangeran Fahd, "orang kuat"
Saudi, dan pemimpin Kuwait Pangeran Saad Abdullah, dalam suatu
pembicaraan baru-baru ini menyatakan tetap menginginkan Shah di
tahtanya. Pemerintahan Shah, menurut kedua pemimpin itu, adalah
"satu-satunya jaminan untuk terpeliharanya cara hidup Muslim
yang meluas di wilayah itu."
Sangat meragukan, akankah para Ayatullah yang Syi'ah akan
sependapat dengan kedua pangeran penganut Sunni itu. Tapi pekan
lalu diberitakan dari Yordania bahwa Raja Hussein akan mencoba
menemui Ayatullah Khomaeni yang berada di Paris dalam waktu
dekat. Raja Yordan itu akan mencoba menjadi perantara antara
sang Ayatullah itu dengan sang Shah.
Sementara itu, suatu pembicaraan menyebut kemungkinan pemberian
pinjaman darurat dari Arab Saudi dan Kuwait kepada Shah Iran
sebesar beberapa milyar dollar Amerika. Uang itu untuk mengatasi
soal yang terjadi akibat pemogokan buruh minyak selama
kerusuhan. Diperkirakan Iran sepanjang bulan pemogokan Nopember
yang lalu rugi sampai AS$ 1,5 milyar. Setiap juta barrel yang
hilang, Shah setiap harinya kehilangan pula AS$ 12,5 juta.
Meskipun cadangan devisa negeri itu masih kuat, lebih dari AS$
10 milyar, namun kerugian sebesar itu pada akhirnya akan memukul
yang bertahta di Mahligai Merak.
Tentu saja bila ia masih tetap bisa bertahta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini