Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAHANAN berkumis baplang itu tak mau diam. Ia gelisah dalam balutan seragam pesakitan dengan rantai besi yang membelenggu kaki dan tangannya. Alih-alih gembira menyambut sekelompok pria yang sengaja membesuknya, Rabu pekan lalu, tahanan yang satu itu lebih memilih berjalan wira-wiri di ruang jenguk kompleks penjara Manhattan, New York, Amerika Serikat.
Lelaki galau itu adalah Viktor Anatolyevich Bout. Pria itu disebut-sebut sebagai penjaja senjata ilegal terbesar di dunia. Sudah hampir 15 bulan ia ditahan kepolisian federal Amerika Serikat. Dia sedang menjalani peradilan atas tuduhan penjualan senjata haram ke kelompok pemberontak bersenjata beraliran komunis di Kolombia, FARC.
Bout layak senewen. Pekan ini pria kelahiran Dushanbe, Rusia, 45 tahun lalu itu akan menghadapi vonis. Ancaman hukumannya tak main-main: bui seumur hidup. Tim pengacaranya pun tak bisa apa-apa, karena para juri di pengadilan New York sudah berembuk dan memutuskan dirinya bersalah pada November 2011. Tuduhannya adalah konspirasi membunuh warga dan para pejabat Amerika serta membantu organisasi teroris. "Harapan bebas dari jeratan sangat tipis," kata Albert Dayan, kepala tim pembela Bout, saat diwawancarai The New Yorker pekan lalu.
Cerita penghakiman terhadap Bout bermula dari drama penangkapannya di Bangkok, Thailand, 5 Maret 2008. Kala itu Bout dan kolega bisnisnya, Andrew Smulian—dikenal Bout sebagai broker senjata di Afrika—datang ke Negeri Gajah Putih untuk menyelesaikan sebuah transaksi penjualan senjata dengan pihak gerilyawan Kolombia, FARC.
Sehari setelah menjejakkan kaki di Bandar Udara Suvarnabhumi, Bout menumpang taksi menuju Sofitel, sebuah hotel mewah di Bangkok, untuk berjumpa dengan Carlos, yang dipercaya sebagai perwakilan sekaligus penghubung transaksi Bout dengan gerilyawan.
Setelah bertemu dan sedikit beramah-tamah, Bout diajak naik ke lantai 27 untuk pembicaraan lebih serius. Sesampai di tujuan, Bout dan Smulian bertemu dengan Ricardo, yang mengaku sebagai komandan lapangan FARC. Hampir satu jam lebih mereka bercengkerama, sampai akhirnya empat pria itu mulai berbicara serius tentang apa saja yang dibutuhkan FARC.
Saat itu, berdasarkan dokumen berita acara penangkapan yang dipaparkan The New Yorker, Ricardo meminta Bout menyediakan 4 rudal antipesawat; 5.000 pucuk senjata serbu khas Rusia, Avtomat Kalashnikova 1947 AK-47; 250 senjata penembak jitu; 10 juta peluru; plus satu ton bahan peledak C-4. Segerobak pesanan itu reda dengan sekali anggukan Bout, "Semua bisa saya layani." Setelah semua tersenyum, Bout dan Ricardo berjabat tangan.
Namun, sedetik kemudian, braakkk….
Pintu ruangan dilabrak puluhan polisi Thailand yang didampingi agen federal anti-perdagangan narkotik Amerika (DEA). Aparat bersenjata lengkap itu meringkus Bout, Ricardo, Carlos, dan Smulian.
"Jangan bergerak, kalian kami tahan," kata Tom Pasquarello, Direktur Regional DEA Bangkok. Dengan santai Bout lalu menjawab, "Permainan sudah selesai, Tuan-tuan."
Sejak hari sial itu, Bout ditahan di penjara Bangkok. Peradilan untuknya sempat digelar hingga akhirnya nasib membawanya ke Amerika lewat jalan ekstradisi pada 2010, karena dianggap telah melakukan kejahatan internasional yang mengancam warga dan para pejabat Abang Sam.
Begitupun Smulian, walau belakangan kongsi mereka pecah karena kakek 70 tahun itu berkhianat dan memberikan kesaksian yang isinya menyudutkan Bout. Di titik itulah kemudian Bout menyadari bahwa semua transaksi yang dilakukannya adalah rekayasa Amerika belaka. Itu menjawab pertanyaannya sendiri tentang menghilangnya sosok Ricardo dan Carlos setelah operasi penangkapan dirinya.
"Carlos dan Ricardo bukan gerilyawan, dan Smulian memang sudah mengatur semua tempat dan pertemuan agar berakhir seperti ini, jadi tidak ada bukti saya menjual senjata selain rekaman percakapan yang sudah direkayasa itu," kata Bout dalam pleidoinya di muka pengadilan New York. Sayang, juri di pengadilan punya sikap berbeda.
Cerita hidup Bout sebagai pedagang senjata memang menarik hingga menginspirasi sebuah film Hollywood bergenre laga drama yang dibintangi aktor kenamaan Nicolas Cage, Lord of War. Banyak pihak menyebut lelaki bekas perwira di kesatuan elite angkatan udara Uni Soviet itu kerap hadir dan disebut-sebut dalam setiap perang yang berkecamuk di muka bumi ini.
Sebuah dokumen Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang tiba-tiba menyebar setelah tertangkapnya si pria Rusia menyebutkan, sejak 1990-an, Bout menjual barang haramnya itu ke kawasan yang dilanda perang saudara, seperti Angola, Liberia, Rwanda, Sierra Leone, Sudan, dan terakhir Libya.
Tak berhenti di situ, catatan juga menduga Bout bertransaksi dengan Taliban dan jaringan Al-Qaidah. Bahkan organisasi bangsa-bangsa itu juga mendapatkan kesaksian penting dari Charles Taylor, bekas Presiden Liberia yang kini sedang menunggu hukuman sebagai penjahat perang. "Ia adalah pengusaha, penjual, dan pengangkut senjata serta mineral yang mendukung rezim saya dalam upaya mengacaukan Sierra Leone dan mendapatkan akses ilegal terhadap berlian," kata Taylor, seperti yang tercatat di dokumen PBB.
Menurut ahli keamanan dunia seperti Douglas Farah dan Stephen Braun—yang menjuluki Bout sebagai "penjaja kematian" dalam buku mereka—Bout memulai karier bisnisnya pada awal 1990, seiring dengan runtuhnya Uni Soviet. Setelah meninggalkan dinas militer, ia memulai bisnis penerbangannya sendiri dengan modal awal empat pesawat kargo Antonov-8. Kala itu Afrika adalah pilihan utama jalur penerbangannya, dan Angola adalah negara pertama yang ia singgahi dan berbisnis dengannya.
"Aviasi adalah kedok yang baik untuk menyelundupkan barang haram, seperti senjata, ke sebuah negara," kata mereka berdua senada, saat diwawancarai The New York Times. PBB membenarkan soal kedok bisnisnya itu. Dalam laporan penyidik kejahatan perangnya di Kongo pada 2005, disebutkan penemuan beberapa bangkai pesawat milik Bout yang teronggok setelah terjadi konflik.
Tanah airnya, Rusia, menjadi kandang ternyaman baginya untuk menjalankan bisnis senjata sebelum akhirnya tertangkap. Ia sempat tinggal di Belgia pada 1990-an, tapi melarikan diri setelah dinyatakan sebagai buron pedagang senjata ilegal. Libanon, Rwanda, Suriah, Afrika Selatan, dan Uni Emirat Arab adalah negara yang pernah ditinggalinya meski hanya sebentar.
Pemerintah Rusia mengecam tuduhan terhadap Bout. Para pejabat Rusia, termasuk Vladimir Putin, yang baru menduduki kursi kepresidenan, menganggap operasi penjebakan itu adalah kelicikan Amerika. Kasus ini sempat membuat tegang hubungan kedua negara. Beruntung, gonjang-ganjing pemilihan umum yang baru lalu menyita sementara perhatian pemerintah Rusia.
Untuk melindungi hak Bout sebagai warga negara, pemerintah Rusia sempat memprotes Duta Besar Thailand di Moskow. Sebuah pesan kawat yang pernah dirilis WikiLeaks mengungkapkan bahwa Eric John, Duta Besar Amerika untuk Thailand, melaporkan ada indikasi gangguan dalam upaya ekstradisi Bout ke Amerika. Gangguan itu berupa uang dan pengaruh yang berasal dari Negeri Beruang Merah.
"Tidak seharusnya Bout diadili secara sewenang-wenang di negara lain," ujar Menteri Kehakiman Rusia Alexander Konovalov ketika melawat ke Washington, DC, bulan lalu, dan mendesakkan perjanjian ekstradisi dengan Amerika untuk kasus Bout. Namun, apa daya, mereka harus pasrah karena putusan tinggal menunggu ketukan palu. Bout hanya bisa kesal sambil wira-wiri di ruang jenguk penjara Manhattan sambil bergumam, "Ini hanya karena saya orang Rusia."
Sandy Indra Pratama (Ria Novosti, The New Yorker, The New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo