Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zainal Arifin Mochtar*
SETIAP zaman punya problem dan tantangannya. Paling tidak, begitulah kata orang bijak. Era berganti memiliki kendalanya masing-masing yang menjadi bagian integral dalam proses menyejarahnya. Itu pula yang dialami Komisi Pemberantasan Korupsi. Tiga jilid KPK telah terhampar, masing-masing memiliki problemnya. Bahkan boleh jadi terstigma hal tertentu yang masih sangat mungkin diperdebatkan kebenarannya.
KPK jilid pertama sering diidentikkan dengan kompromistis—akibatnya keluarbiasaan KPK menjadi biasa-biasa saja. Tentu sangat bisa diperdebatkan, karena masa pertama, yang merupakan masa inisiasi awal, juga melakukan banyak terobosan. KPK jilid kedua penuh dengan aroma tuduhan penyalahgunaan kewenangan dan "main mata". Proses hukum telah menghukum ketua komisi itu dengan tuduhan menggunakan kewenangan untuk hal di luar kepentingan pemberantasan korupsi. Tuduhan yang sama juga ditujukan kepada pemimpin lain. Meski proses hukum membuktikan adanya konspirasi mengkriminalkan mereka, tetap saja tuduhan itu membekas.
KPK jilid ketiga punya problema yang tidak kalah besarnya, yakni perpecahan internal. Terjadi perseteruan dua kubu yang punya cara pandang cukup ekstrem berbeda melihat penegakan hukum antikorupsi. Bahkan, meski mereka sudah menjawab dengan berbagai tawaran senyum, pegangan tangan, dan ikrar tetap solid, kolegialitas mereka yang tak lagi kolektif tetap terdengar di ruang publik. Sama dengan yang lainnya, tentu masih bisa diperdebatkan. Tapi, menariknya, berbagai cerita tentang pengambilan keputusan yang tak lagi melalui proses kolegial dan kolektif terus membanjiri ruang publik. Kenapa?
Benih Perpecahan
Sebenarnya tak sulit menakar kemungkinan perpecahan untuk satu lembaga negara independen sepenting KPK. Ada banyak benih perpecahan potensial yang sangat mungkin tumbuh dan berkembang menjadi perpecahan aktual bagi KPK. Pertama, afiliasi politik. Tak mungkin menolak kemungkinan adanya afiliasi politik bagi proses pemilihan komisioner lembaga negara yang memang punya aroma politis tinggi. Bukan karena kita tak mampu membunuh benih politis itu, melainkan karena semua proses pemilihan di muka bumi ini punya kemungkinan terbajak secara politis. Ketika komisioner ditunjuk langsung, ataukah ketika ia dipilih melalui proses pemilihan terbuka, atau melalui swing di antara eksekutif kemudian diuji di parlemen, dan pemilihan oleh lembaga tertentu yang diberi tugas khusus memilih komisioner, semuanya punya peluang dan kemungkinan terbajak secara politis dengan koefisien yang hampir sama.
Pada saat yang sama, kita semua mafhum pemilihan komisioner hampir meniscayakan kedekatan kandidat komisioner dengan partai tertentu untuk dapat melenggang mudah di fit and proper test. Afiliasi politik inilah yang sangat mungkin di balik perpecahan di KPK saat ini. Meski pada saat yang sama, sesungguhnya sangat mudah dicek ulang apakah afiliasi politik inilah yang menjadi prima causa-nya. Jika afiliasi politik menyebabkan beberapa proses diterabas dan mengesampingkan kolegialitas yang seharusnya kolektif, "mengejar" partai tertentu yang diduga menjadi afiliasi sang penerabas itu menjadi penting. Kalau memang ia menerabas karena perintah partai tertentu, jadikan kasus di partai yang sama untuk mengecek apakah sang penerabas tetap bisa berpikir "maju dan penuh terobosan". Sulitkah menemukan kasus di partai tersebut? Di tengah banalnya partai politik mengisap uang negara, rasanya tak sulit menemukan kasus korupsi yang melibatkan para petinggi partai.
Kedua, benih problem komunikasi dan koordinasi. Memang, inilah dua kata yang mudah diucapkan tapi sering kali sulit terwujud di tengah kepemimpinan yang seharusnya kolegial dan kolektif dan pada saat yang sama berlatar belakang majemuk. Kolegialitas dan kolektivitas merupakan resep wajib dalam sebuah lembaga negara independen. Paling tidak, begitulah catatan teoretisnya. Funk dan Seamon (2001), misalnya, menuliskan bahwa salah satu ciri sebuah lembaga negara independen adalah kepemimpinannya yang bersifat kolegial. Tanpa itu, ia sulit dikategorikan sebagai lembaga negara independen.
Di situlah sulitnya, karena menerjemahkan kolegial-kolektif menjadi proses bersama punya problem anakronik, apalagi untuk lembaga penegak hukum semacam KPK. Sangat dijunjung tinggi berarti memiliki kemungkinan durasi pengambilan keputusan lebih lama. Sedangkan dikesampingkan begitu saja berpeluang menjadi cacat prosedural sangat berbahaya dengan kemungkinan gugatan bersifat formal prosedur pengambilan keputusan. Pada hakikatnya, memang itu ciri penyakit dari proses pengambilan keputusan secara kolegial-kolektif. Ini yang oleh Klitzman dan Edies (2008) disebutkan menjadi salah satu problem pengambilan keputusan oleh lembaga pemerintah.
Bukan tak mungkin, inilah yang jadi penyebab utama terpecahnya KPK. Di tingkat memaknai kolegial-kolektif saja sudah muncul proses kerumitan, apalagi jika diimbuhi latar belakang sangat berbeda. Komposisi saat ini yang akademisi, pengacara, aktivis, birokrat, dan jaksa bersatu padu tentu memerlukan cara komunikasi tepat. Bukan cuma komunikasi, sudut pandang memaknai teori dan praktek penegakan hukum antikorupsi pun akan sangat berbeda. Perdebatan tentang "alat bukti yang cukup" saja bisa mendatangkan perbedaan yang besar.
Perdebatan juga bisa muncul dari belum rapinya aturan hukum dan pemahaman bersama untuk menjelaskan pola hubungan kelembagaan secara internal. Meski seorang ketua menjadi pemegang kemudi, tak berarti ia menjadi primus interpares yang lebih penting dan lebih berkuasa dibanding komisioner lainnya. Ini bisa menyebabkan pola komunikasi yang tunggal dan bahasa individual semacam "saya", padahal hal itu berpeluang mengaburkan proses kolektif-kolegial sehingga seakan-akan hanya ada orang tertentu yang berpikir mengejar perkara tertentu sedangkan yang lainnya berupaya menghalang-halangi.
Termasuk di kasak-kusuk pengembalian beberapa penyidik KPK. Bahasa-bahasa tunggal mengakibatkan orang mencium adanya penyidik loyal dan tak loyal pada komisioner tertentu. Ketika sudah diberi sensasi oleh media bahwa seakan-akan para penyidik berunjuk rasa dan protes atas pengembalian penyidik, lengkaplah isu perpecahan di tengah publik. Menempatkan penyidik di garis komando yang jelas dan tepat dengan pimpinan KPK memang wajib.
Pola hubungan dengan penyidik tidaklah personal komisioner, tetapi kolektif-kolegial. Oleh pola ini, tentu tidak layak ada pengembalian secara personal. Pengembalian penyidik ke lembaga asalnya haruslah merupakan kesepakatan kolektif kelembagaan. Hal yang tentu saja ditujukan sebagai cara agar tidak ada politisasi personal para penyidik. Pun ketika dipanggil kembali oleh institusi asalnya, harus ada masa peralihan untuk penyelesaian perkara yang sedang dia pegang. Hal yang berkaitan dengan tingkat penguasaan pada perkara tersebut.
Bukan cuma itu, menempatkan penyidik ke dalam KPK juga harus bisa menghitung posisi secara pas antara tingkat independensinya dan hegemoni komisioner. Penyidik yang diberi kewenangan besar penentuan arah perkara bisa mengaburkan makna para komisioner sebagai penanggung jawab utama pemberantasan korupsi. Tapi, memberikan hanya kepada komisioner bisa membunuh peran penyidik yang seharusnya bisa independen dari segala macam pengaruh dan bias latar belakang pimpinan KPK.
Sejatinya, problem komunikasi dan pemaknaan kolegial-kolektif masih bisa direformulasi serta dicanangkan kembali. Jawaban persoalan kolegial-kolektif adalah mereka kembali duduk bersama dan menyetujui apa yang boleh dan apa yang tak boleh, jika perlu hingga sanksi administratifnya. Garis-garis demarkasi tindakan harus ditegakkan kembali, supaya tak ada lagi penyelenggaraan konferensi pers seorang diri yang bisa jadi melambangkan "perpecahan".
Pecah atau Punah
Saya masih percaya (tentu seraya berdoa), perpecahannya tak diakibatkan afiliasi politik, apalagi gabungan antara gagal pemaknaan kolegial-kolektif dan afiliasi politik. Obatnya akan jauh lebih sulit jika penyebabnya dua hal itu. Perpecahan KPK sangat mungkin berujung pada punahnya harapan percepatan pemberantasan korupsi. Karena itu, siapa pun komponen di KPK yang ada kini harus mampu dan mau keluar dari benih-benih perpecahan.
Benih-benih perpecahan di ataslah yang juga telah mengakibatkan eksisnya berbagai stigma dan pandangan terhadap dua jilid KPK terdahulu, sesuatu yang harus segera diantisipasi oleh lima komisioner yang ada di KPK saat ini. Saatnya mengeliminasi benih perpecahan. Banyak koruptor yang senang jika KPK pecah, tapi jauh lebih banyak masyarakat pencinta antikorupsi yang berharap KPK tetap solid. Mereka harus mampu menjawab isu kolegialitas KPK yang tak lagi kolektif. Sebab, jika tidak, punahnya harapan pemberantasan korupsi akan membayang.
* Pengajar ilmu hukum FH UGM dan Ketua PuKAT Korupsi Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo