Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Siaga Merah karena Ayam

Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra dituduh berbohong dan nyaris menuai mosi tak percaya gara-gara flu burung.

8 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Walau tanpa saling bentak dan tuding, suasana rapat kabinet itu tetap saja tegang dan melelahkan. Perdana Menteri Thaksin Shinawatra terenyak di kursinya, lalu mengeluh, "Saya capek dengan isu berat ini: soal Selatan-ayam, ayam-Selatan, Selatan-ayam." Selatan yang disebut-sebut Thaksin adalah Pattani, provinsi paling selatan Thailand. Daerah itu tengah berada di mulut konflik agama gara-gara serangan bom oleh kelompok separatis Pattani.

Lalu perihal ayam. Soal ini membikin Thaksin puyeng tidak keruan. Maklum, Thailand tiba-tiba tersohor ke seantero dunia sebagai "pengekspor" besar flu burung. Jutaan ayam Thailand tersebar di 23 provinsi. Sudah 10 juta ayam dibunuh. Dan kini 22 juta burung rencananya akan ditewaskan. Bak sedang menghadapi musuh negara, Thaksin mengirim tentara dan narapidana untuk membantai para unggas ini.

Ratusan narapidana dan sekitar 400 tentara bahkan dikirim ke Provinsi Suphan Buri untuk melakukan pembantaian massal tersebut. Para pembantai ini dilengkapi dengan masker pengaman, sarung tangan, sepatu karet, dan tutup kepala plastik. Suphan Buri, yang terletak di barat laut Bangkok, paling parah terinfeksi flu burung. Kawasan ini memproduksi sekitar satu juta ayam saban tahun dengan nilai ekspor US$ 1,5 juta atau sekitar Rp 13,5 miliar.

Menjadi produsen ayam potong nomor lima dunia, pada tahun silam saja Thailand mengapalkan 500 ribu ton daging ayam senilai US$ 1,3 miliar. Pasar utamanya adalah Jepang dan Uni Eropa. Tapi, gara-gara flu burung, kedua konsumen raksasa itu menutup pintu impor mereka. Heboh penyakit ini seakan menjadikan Thailand berada dalam "siaga merah" saat korban manusia mulai tumbang. Ahad, 25 Januari lalu, Captan Boonmanut, seorang bocah lelaki, tewas akibat terinfeksi flu burung.

Captan, yang berasal dari sebuah desa di Provinsi Kanchanaburi, tertular flu ini setelah bermain-main dengan ayamnya. Enam korban lain tewas di Vietnam pada 11 Januari lalu. Maka kepanikan tiba-tiba melanda Thailand. Sambungan telepon hotline di Bangkok selama 24 jam penuh dengan suara penduduk yang cemas tidak keruan. Ada yang meminta petugas datang ke kampungnya untuk membunuh semua merpati. Yang lain meminta agar semua ayam cepat dimusnahkan.

Situasi inilah yang mengguncang kabinet Thaksin. Media massa segera saja menyalahkan sang Perdana Menteri karena dituding menutupi wabah flu tersebut. Padahal virus itu terdeteksi merebak di Thailand dua pekan sebelumnya. Bahkan koran The Nation yang terbit di Bangkok melaporkan, sebenarnya sudah lebih dari satu orang yang tewas akibat flu burung di Thailand. Tapi pejabat pemerintah takut menyampaikannya karena kabinet Thaksin berupaya menutupi kasus ini dan ngotot menyatakan Thailand bebas dari flu burung.

Menurut Wakil Menteri Pertanian Newin Chidchob, sejak November tahun silam banyak ternak ayam terjangkit bronkitis dan kolera. "Saya memutuskan tak mengumumkannya agar rakyat tidak panik," kata Thaksin berkilah. Akibatnya, kelompok oposisi mengancam mengajukan mosi tak percaya. Menurut Abhisit Vejjajiva, Wakil Ketua Partai Demokrat yang beroposisi, tak ada satu pun pemerintahan di dunia yang ingin rakyatnya panik. "Tapi mengapa pemerintah tak mengambil tindakan pencegahan ketika rakyat menghadapi risiko tertular?" kata Abhisit.

Bukan dalam hal ayam saja Thaksin berupaya berbohong. Media setempat juga menulis, Thaksin sempat mati-matian membantah bahwa Negeri Gajah Putih itu merupakan salah satu jaringan terorisme demi melindungi turisme dan investasi asing. "Ini bukan sekadar urusan tak lagi menyantap daging ayam," ujar Somchai Anektaweepan, analis sekuritas di Bangkok. Bukan pula soal Thaksin yang tak lagi menemukan ayam panggang kesukaannya dalam menu makan siang seusai sidang kabinet. Tapi ini soal nyawa yang bisa tercabut gara-gara ayam-ayam pembawa flu.

Raihul Fadjri (The Nation, Reuters, Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus