Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Siasat Hun Sen Menekuk Oposisi

Pemerintah Kamboja menangkap tokoh oposisi dan meminta partainya dibubarkan. Reaksi terhadap partai oposisi menguat.

19 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGENAKAN busana Barong Tagalog, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen berfoto bersama Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Ahad malam dua pekan lalu. Dalam jamuan makan malam di sela Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan BangsaBangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Manila, Filipina, itu keduanya tidak hanya bersalaman. Senyum Hun Sen tampak mengembang. Trump tersenyum lebar sambil memberi acungan jempol.

Untuk orang yang akhirakhir ini rajin menuding Amerika, Hun Sen terlihat rileks berfoto dengan Trump. Padahal, dalam sejumlah kesempatan, ia menilai Negeri Abang Sam berusaha menggulingkan pemerintahannya. Tudingan Hun Sen itu mencuat setelah Amerika mengkritik langkah pemerintah Kamboja menangkap tokoh partai oposisi, Kem Sokha, September lalu.

Hun Sen cukup keras mengecam Amerika. Salah satunya ia sampaikan saat mengun­jungi sebuah pabrik garmen di Distrik Dangkor, Phnom Penh, Rabu dua pekan lalu. Berbicara kepada 14 ribu buruh pabrik, Hun Sen memperingatkan Amerika agar tidak ikut campur dalam pemilihan umum Kamboja tahun depan. Penangkapan Sokha, menurut Hun Sen, tak bisa dijadikan dalih mengintervensi politik Kamboja.

"Jika Anda bereaksi terhadap penangkapan (Sokha) dan campur tangan dalam urusan dalam negeri atau pemilu mendatang, itu hanya akan membunuh demokrasi liberal yang multipartai," ujar Hun Sen tanpa menyebut secara eksplisit Amerika Serikat, seperti diberitakan situs Khmer ­Times. Selain mengkritik Amerika, ia menyatakan tidak akan mengebiri oposisi. "Kami berkomitmen meneruskan demokrasi liberal multipartai," ucapnya.

Kedutaan Besar Amerika Serikat di Kamboja beberapa kali menampik tudingan mencampuri politik dalam negeri negara berpopulasi 15 juta jiwa itu. Hun Sen, di sela pertemuan KTT ASEAN, mempertanyakan kebijakan Kedutaan Besar Amerika kepada Trump. "Kebijakan Anda telah berubah, tapi kedutaan negara Anda di Phnom Penh belum mengubahnya," kata Hun Sen, menyinggung kebijakan politik nonintervensi Trump.

Meski ia berjanji meneruskan kebijakan demokrasi liberal multipartai, fakta di lapangan berkata lain. Hun Sen terlihat berusaha memberangus partai oposisi utama di negeri itu, Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP), yang dipimpin Sokha. Lebih dari 100 polisi Kamboja menggerebek rumah Sokha di Phnom Penh, 3 September lalu. Dengan kedua tangan diborgol, Sokha dibawa petugas bersenjatakan senapan AK47 untuk ditahan di balai kota. "Kem Sokha ditahan tanpa surat perintah penangkapan," kata putri Sokha, Kem Monovithya.

Pemerintah Kamboja menuding Sokha bersekongkol dengan pemerintah Amerika untuk mendorong perubahan rezim di Kamboja sejak 1993. "Tindakan konspirasi tersebut adalah pengkhianatan," kata pejabat pemerintah Kamboja dalam pernyataannya. Dengan jerat pasal pengkhianatan, Sokha bakal tak berkutik meski ia punya kekebalan sebagai anggota parlemen. Jika terbukti bersalah, pria 64 tahun itu dapat dipenjara hingga 30 tahun dan partainya bisa dibubarkan.

Penahanan Sokha adalah manuver terbaru pemerintah Hun Sen terhadap oposisi yang sedang menguat. "Untuk pertama kalinya dalam sejarah Kamboja, partai oposisi berkembang sangat pesat," ucap Sam Rainsy, tokoh oposisi Kamboja, di pengasingan di Paris, Prancis, kepada Tempo melalui sambungan telepon tiga pekan lalu. Rainsy menyebut langkah terbaru Hun Sen itu mengindikasikan ketakutannya terhadap oposisi. "Partai penguasa dan Perdana Menteri Hun Sen sangat takut."

DIBENTUK pada 2012, CNRP merupakan hasil merger dua partai oposisi, Partai Sam Rainsy dan Partai Hak Asasi Manusia, yang masingmasing diketuai Rainsy dan Sokha. CNRP adalah partai pertama yang sukses memberi perlawanan sengit terhadap kemapanan Hun Sen dan partainya, Partai Rakyat Kamboja (CPP). Hun Sen dan CPP telah berkuasa selama 32 tahun. "Rakyat Kamboja ingin perubahan," kata Sokha pada Juni lalu soal besarnya dukungan terhadap oposisi.

Sebelum dilebur, Partai Sam Rainsy dan Partai Hak Asasi Manusia keok melawan CPP. Pada Pemilu 2008, Partai Rainsy meraih 26 kursi di parlemen, sedangkan partai Sokha hanya mendapat 3 kursi. Adapun partai Hun Sen menyabet 90 kursi. Lima tahun berselang, wajah oposisi berubah drastis. Setelah berkongsi menjadi CNRP, kubu oposisi semakin perkasa. CNRP sukses meraup 55 kursi di parlemen, hanya terpaut 13 kursi dari CPP, yang memenangi pemilu.

Berbarengan dengan makin besarnya dukungan terhadap oposisi, tekanan terhadap para pemimpinnya juga kuat. Salah satunya menimpa Rainsy, yang kemudian membuatnya mengasingkan diri ke Prancis. Pada 2015, saat Rainsy menjadi Ketua CNRP, ia diincar dengan kasus tujuh tahun sebelumnya. Pada 2008, ia membuat komentar tentang hubungan Menteri Luar Negeri Kamboja kala itu dengan Khmer Merah- rezim komunis pimpinan Pol Pot. Pada 2013, pengadilan menyatakan Rainsy bersalah karena penghinaan dan penghasutan. Ia dijatuhi hukuman dua tahun penjara, tapi tidak pernah dieksekusi.

Rainsy berada di Korea Selatan saat ancaman penahanan terhadapnya mencuat karena kasus penghinaan pada 2008. Saat itu ia tengah mengunjungi diaspora Kamboja yang menjadi pendukungnya di Seoul. Rainsy semula berjanji untuk kembali meski ada ancaman penjara. Namun legislator CNRP itu berubah pikiran saat parlemen, yang dikuasai para politikus CPP proHun Sen, mencabut keanggotaan dan kekebalannya sebagai wakil rakyat. Rainsy pun batal pulang dan memutuskan pergi ke Paris.

Serangan terhadap Rainsy tak berhenti di situ. Pada Desember 2016, dalam sebuah sidang in absentia, pengadilan Phnom Penh memvonis Rainsy dengan hukuman lima tahun penjara. Ia dianggap bersalah menghina Hun Sen melalui Facebook. Pada saat hampir bersamaan, Hun Sen mengusulkan perubahan undangundang partai politik yang melarang terpidana duduk di kepengurusan partai. Aturan ini memicu Rainsy memutuskan mundur dari kursi Presiden CNRP pada Februari 2017. Sejak saat itu, posisinya diisi Kem Sokha, yang sebelumnya menjabat wakil Rainsy.

Tanpa Rainsy, perlawanan CNRP rupanya tak mengendur. Pada pemilu regional 4 Juni lalu, Sokha sukses membawa CNRP memenangi 489 dari 1.646 komune- daerah setingkat kecamatan. Bagi CNRP, perolehan suara itu terbilang cukup signifikan. Pada pemilu lima tahun lalu, CNRP hanya berjaya di 40 komune.

Namun nasib partai oposisi jadi tak menentu setelah pemerintah menangkap Sokha pada September lalu dengan tuduhan pengkhianatan. Pada bulan yang sama, pemerintah juga meminta Mahkamah Agung membubarkan CNRP. Hun Sen berdalih CNRP telah melakukan kegiatan yang mengancam keamanan nasional. Mahkamah mengabulkan permintaan pemerintah dan membubarkan CNRP, Kamis pekan lalu. Tanpa CNRP, Hun Sen dan partainya praktis tanpa penantang dalam pemilu tahun depan.

Setelah berhasil mendepak para pentolan oposisi, Hun Sen juga menyasar para anggotanya. Pria 65 tahun itu mendorong para legislator CNRP membelot. "Kami memberi Anda tangga. Jika Anda tidak memanjatnya, Anda akan nyemplung ke neraka," ucap Hun Sen. Taktik itu cukup ampuh. Dalam beberapa pekan terakhir, ada seorang anggota parlemen dan lebih dari 100 pejabat komune dari CNRP yang telah menyeberang ke partai Hun Sen.

Penahanan Sokha juga membuat kader CNRP kocarkacir. Kem Monovithya, yang juga juru bicara CNRP, mengatakan ada 20 dari 55 anggota parlemen CNRP yang hengkang dari Kamboja. Monovithya dan saudara perempuannya, serta Wakil Ketua CNRP, Mu Sochua, termasuk yang melarikan diri ke Amerika karena khawatir ditangkap. "Pemerintah menuduh kami berkomplot dengan CIA (Badan Intelijen Pusat)," ujarnya.

Dari tempat pelariannya di Washington, DC, Monovithya meminta Presiden Trump bertindak menyelamatkan demokrasi di Kamboja. "Hun Sen berpikir dunia tidak memperhatikan dan tidak ada yang siap berbuat apa pun," tuturnya.

Dari dalam penjara, Sokha menulis surat terbuka kepada Hun Sen. "Saya bukan musuh Anda. Saya pesaing Anda yang berkewajiban memperbaiki bangsa kita lewat kritik dan kompetisi untuk mendapat dukungan rakyat."

Mahardika Satria Hadi (phnom Penh Post, Asia Times, Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus