Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEKACAUAN di pekan terakhir Liga 1 Indonesia membuat Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia dalam sorotan. Arah kompetisi berubah setelah Komisi Disiplin PSSI menghukum Mitra Kukar dengan kekalahan 03 karena menurunkan pemain yang mendapat larangan bertanding saat melawan Bhayangkara FC, 3 November lalu. Keputusan itu dituding berpihak pada salah satu klub karena, dengan tambahan tiga poin, Bhayangkara FC menggusur Bali United di puncak klasemen akhir. "Stop imajinasi PSSI ingin menjadikan Bhayangkara FC juara," kata Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha Destria.
Kekisruhan bermula dari kartu merah yang diterima gelandang Mitra Kukar, Mohamed Sissoko, dalam laga melawan Borneo FC, 23 Oktober lalu. Namun Mitra Kukar tetap memainkan Sissoko saat menahan Bhayangkara FC 11. Padahal saat itu Sissoko masih menjalani larangan tampil. Akibatnya, Komisi Disiplin PSSI menganulir hasil imbang itu dan memberikan kemenangan 30 kepada Bhayangkara FC sekaligus menjadikan klub milik Kepolisian RI ini kampiun. Hasil akhir ini memicu reaksi dari sejumlah klub, seperti Bali United yang menggelar pesta sebagai juara sejati dan Madura United menyebut kompetisi ini sebagai liga dagelan.
Jejak kekacauan Liga 1 sebenarnya sudah terlihat ketika kompetisi masih bergulir. Liga pertama sejak Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) mencabut sanksi bagi Indonesia itu diikuti 18 klub yang tak satu pun mengantongi lisensi klub nasional versi PSSI. Belakangan, Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) menerbitkan lisensi bagi lima tim- tiga di antaranya diberikan dengan catatan. "Sepak bola kita masih dalam masa transisi. Bisa ribut kalau PSSI mewajibkan aturan lisensi klub nasional," ujar Tisha, 31 tahun.
Kebijakan PSSI memanfaatkan jasa wasit asing pun dikritik, karena sempritannya kerap blunder. Yang teranyar adalah saat Shaun Evans asal Australia tidak mengakui gol Ezechiel N’Douassel, penyerang Persib Bandung, saat melawan Persija Jakarta awal bulan ini yang berbuntut Persib ogah melanjutkan pertandingan pada menit ke83.
Kamis malam pekan lalu, Tisha menerima wartawan Tempo Reza Maulana, Egi Adyatama, dan Raymundus Rikang di Hotel Grand Zuri, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, seusai uji coba tim nasional Indonesia U23 melawan Suriah U23. Meski sejak pagi pontangpanting menyiapkan laga persiapan tim nasional menuju Asian Games 2018, nada bicara dan sorot mata Tisha tak sedikit pun meredup meladeni tanyajawab hingga menjelang tengah malam.
Keputusan Komisi Disiplin PSSI di pekanpekan akhir Liga 1 menyulut kisruh. Apa yang terjadi?
Hukuman untuk pemain Mitra Kukar, Mohamed Sissoko, itu sudah diputuskan tiga hari sebelum laga mereka melawan Bhayangkara FC. Komite Disiplin PSSI mengirim email soal sanksi ke klub. Tembusannya dilayangkan ke PT Liga Indonesia Baru (LIB, operator liga) yang punya instrumen bernama Nota Larangan Bermain (NLB). PT LIB sudah mengakui kelalaian administratif, tidak menyampaikannya di NLB sebelum pertandingan. Hukumannya dua kali pertandingan. Perkara Mitra Kukar dihukum kalah 03 dan didenda uang, ya, itu konsekuensi pelanggaran mereka karena isi kode disiplin begitu.
Mengapa klub yang dihukum karena kelalaian operator liga?
Substansinya bukan kelalaian itu. PSSI pasti mengevaluasi operator liga secara terpisah. Tapi klub tersebut memainkan pesepak bola yang kena larangan bertanding. Ketika pemain yang kena sanksi diturunkan, ya, harus dihukum dengan pasal yang berlaku. PSSI mendapat amanah untuk menegakkan regulasi, tapi mengapa kami terus ditekan ketika berusaha menegakkan aturan?
Tak ada tendensi menguntungkan salah satu klub?
Stop imajinasi negatif soal PSSI bahwa keputusan itu diberikan karena kami ingin menjadikan Bhayangkara FC juara. Itu keliru. Orang berimajinasi dengan asumsiasumsi yang tak masuk akal karena arus informasi yang sangat deras. Kalau kami tidak menegakkan sanksi larangan main itu, bisa saja orang menuding PSSI menganakemaskan Bali United menjadi juara liga. Serba salah.
Mitra Kukar tidak membaca email Komisi Disiplin karena dilayangkan ke CEO mereka, Endri Erawan. Lumrahkah praktik korespondensi itu?
Di awal kompetisi, ada sejumlah formulir yang diisi klub, termasuk jalur komunikasi dan alamat email. Terserah mereka mau mencantumkan kontak siapa. Yang pasti, PSSI menganggap itu jalur komunikasi resmi dengan klub.
Ada rencana memperbaiki prosedur?
Penerbitan NLB dari operator liga memang harus diperbaiki. Nota itu harus dibuat menjadi instrumen formal karena klub sangat bergantung pada dokumen tersebut untuk memainkan skuadnya. Artinya, operator liga harus memperbaiki profesionalismenya. Tak boleh ada alasan lalai menerbitkan NLB, karena itu menjadi salah satu instrumen penilaian club empowerment. Tapi klub juga harus bertanggung jawab terhadap catatan administrasinya kalau mau disebut klub profesional.
Liga bergulir dengan hanya 5 dari 18 klub yang punya lisensi. Kok, bisa?
Lisensi itu adalah menuju kompetisi Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), bukan lisensi klub nasional yang diterbitkan PSSI. Lisensi AFC adalah sistem untuk menyeleksi klub secara menyeluruh siapa saja yang layak ikut kompetisi level Asia. Karena di klub AFC itu syaratnya macammacam, finansial harus bagus agar bisa berkompetisi dengan yang lain.
PSSI tak punya sistem lisensi klub nasional?
Kompetisi nasional yang semua klubnya sudah punya lisensi adalah negara yang kompetisinya tak pernah terputus, organisasinya tak pernah berhenti. Sedangkan PSSI selama limatujuh tahun lalu tergempur halilintar. Kami ingin membuat lisensi klub nasional dalam waktu dekat. Berkaca dari JLeague di Jepang, mereka butuh tiga tahun untuk menata sistem lisensi sejak liganya bergulir. Selama itu pula tidak berjalan promosi dan degradasi.
Mengapa lisensi nasional tak segera diterapkan?
Apakah klub Indonesia siap, misalnya juara Liga 2 tidak bisa promosi ke Liga 1? Wong keputusan Bhayangkara FC melawan Mitra Kukar saja ribut sejagat raya begitu, kok. Kami juga melihat pertimbangan transisi sepak bola nasional.
Sampai kapan masa transisi itu?
Saya targetkan klub sudah siap mengurus lisensi klub nasional dalam tiga tahun ke depan. Tahun ini adalah tahun pertama transisi. Tahun depan akan ada peleburan klub di mana kami akan mengenalkan asistensi klub, club empowerment untuk bicara lisensi AFC dan Liga 1. Tahun ketiga, kami akan mendorong klub Liga 2 dan Liga 3 mengurus lisensi klub nasional. Maka nanti kalau 20212022 sudah ada kepengurusan baru, semua sistem sudah siap dan tertata.
Pantaskah Liga 1 disebut profesional bila mayoritas klubnya tak berlisensi?
Pantas, dong. Kompetisi ini sudah diakui oleh berbagai macam partner di industri. Tapi, saya akui, PT LIB punya pekerjaan rumah yang berat menyongsong kompetisi yang akan datang karena klubklub tak bisa berbicara banyak bila tolok ukur liga adalah lisensi klub.
Apa ganjalan terbesar klub Indonesia tidak mendapat lisensi?
Tidak ada sistem pembinaan pemain usia muda yang disebut elite youth academy. Ini berbeda dengan sekolah sepak bola, yang muridnya harus membayar. Elite youth academy itu diciptakan dengan sistem berjenjang dari kelompok umur sampai klub senior dan pesertanya tidak membayar, sebagai investasi klub di masa depan. Kultur sepak bola Indonesia belum mengarah pada paradigma pembinaan semacam ini.
Kabarnya izin Bhayangkara FC bermasalah. Apa benar?
Saya tak punya kapasitas membuka sejarah klub. Hal yang wajar untuk berganti kepemilikan lalu berganti nama. Tak ada masalah mengganti nama klub. Selama ini orang cenderung mempertahankan nama klub karena berkaitan dengan akar sejarah klub.
Apakah pergantian nama harus dilegalkan secara hukum? Benarkah tak ada bukti legal perubahan nama klub?
Harus dilegalkan. Tak mungkin tak ada dokumen pengesahan karena mereka harus mengumpulkan semua dokumen kepemilikan klub di awal musim. Dokumen legalnya harus dilampirkan ke PSSI secara lengkap.
Akuisisi klub juga dituding tak transparan, pemilik baru membeli lisensi bermain di liga, sesuatu yang dilarang FIFA.…
Enggak adalah seperti itu. Ada jualbeli saham, pergantian pemilik. Karena pemilik berganti, mereka ingin identitasnya juga berubah, yang tadinya Bhayangkara Surabaya United menjadi Bhayangkara FC. Itu hal yang wajar. Sesederhana membeli suatu perusahaan, lalu diganti namanya. Tak ada kongkalikong atau tukar guling di balik itu semua.
Anda setuju dengan pendapat yang menyebutkan akuisisi klub di Indonesia kacaubalau?
Ya. Transparansi kepada publik perlu diperbaiki sehingga tak menimbulkan persepsi yang anehaneh. Tantangan klub profesional memang di sana. Tak bisa lagi klub itu berkilah bahwa bukan perusahaan terbuka, tak ada kewajiban mengumumkan ke publik soal perubahan dalam klub. Ini sepak bola, semua mata melihat dan mengamati setiap detail perubahan.
Apa solusi Anda?
PSSI akan mendampingi klub. Ketika ada hal krusial dan strategis yang berhubungan dengan klub, ya, harus diumumkan agar tak jadi rumor dan kontroversi.
Bagaimana dengan kinerja wasit asing?
PSSI tak punya kuasa untuk mengevaluasi mereka. Ada forum sendiri untuk mengevaluasi wasit, namanya Komite Wasit. Wasit asing itu berlindung di bawah Komite Wasit di negara asal. Jadi, performa mereka mengecewakan atau ada keputusan yang janggal, Komite Wasit negara asal yang berhak mengevaluasi mereka, bukan Komite Wasit PSSI. Kepentingan kami mengembangkan wasit lokal Indonesia, untuk apa repotrepot mengurusi kesalahan wasit asing.
Lalu bagaimana PSSI melindungi kompetisi dari keputusan wasit yang sembarangan?
Kalau performa mereka buruk, tidak kami pakai lagi. Kontrak kerja sama kami kan per pertandingan. Kami tak ada kepentingan menempa kapabilitas mereka.
Wasit asal Australia yang memimpin partai PersijaPersib termasuk yang performanya buruk?
Shaun Evans sudah membuat laporan panjang ke PSSI dan Komite Wasit Australia. Lantaran kontroversi yang tinggi, lalu laporan dari Komite Wasit Australia terbit, keesokan harinya dia langsung pulang, tak lagi bertugas di Liga 1. Biasanya wasit asing minimal bertugas tiga kali.
Apa isi laporan Evans?
Wasit punya instrumen mengambil keputusan dari asisten wasit. Ketika asisten wasit tak menunjukkan tandatanda gol, sesuai dengan hukum wasit, dia tak boleh mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan masukan asisten wasit. Evans kemudian merasa diintimidasi, lalu menghentikan pertandingan sebelum 90 menit.
Klub yang merasa dirugikan mengadu ke PSSI?
Lapor ke PSSI. Nanti kami yang menyampaikan ke federasi asal wasit tersebut. Toh, keberatan klub kepada wasit harus dibaca dengan asas praduga tak bersalah. Saya pernah mengirim laporan klub soal wasit ke Jerman untuk mencari second opinion. Mereka bilang 70 persen keberatan klub error, hahaha.... Ini bisa terjadi karena persepsi terhadap wasit lokal telanjur jelek.
Kompetisi musim depan akan tetap memakai wasit asing?
Kami akan mengkaji dulu. Karena ini cuma transisi untuk mengantar reformasi wasit lokal. Wasit asing itu hanya untuk sementara. Penggunaan wasit asing sematamata untuk menyelamatkan kepercayaan publik terhadap kompetisi kita. Akan kami putuskan di kongres berikutnya, apakah transisi sepak bola nasional sudah mulai beres sehingga kompetisi kita sudah bisa dipimpin wasit lokal secara penuh.
Apa evaluasi PSSI terhadap marquee player?
Evaluasinya di klub masingmasing, karena pemain tipe ini dikontrak untuk mendongkrak nilai jual klub, bukan mengangkat performa skuad. Harapan PSSI ketika menerapkan aturan marquee player adalah aspek bisnis kompetisi ikut melambung seiring dengan hadirnya pemain bintang yang pernah bermain di Eropa dan Piala Dunia. Kami belum melihat apakah nilai sponsor jadi melambung karena marquee player, tapi citra liga meningkat. Target pasar kami juga jadi berkembang.
Anda mendengar klub mulai kelimpungan memenuhi permintaan para pemain bintang?
Klub seharusnya bisa mengantisipasi permintaan tinggi jika berani mengontrak pemain bintang.
Apa strategi Anda menekan angka kematian suporter yang mencapai 12 orang sepanjang tahun ini?
Jika bicara fans dan suporter, klub yang harus bertanggung jawab.
Lantas apa peran Divisi Fans dan Suporter di PSSI?
Itu bukan mengurusi tawuran suporter. Masalah suporter itu masalah personal. Biarkan mereka menyelesaikan rivalitasnya sendiri. Divisi Suporter PSSI mengurusi cara menjangkau komunitas lebih luas. Bagaimana kita datang ke sekolahsekolah untuk mendukung kompetisi internal mereka. Bukan mengurusi orangorang yang, mohon maaf, tidak punya pengetahuan soal rivalitas. Kita terbiasa mencari siapa yang bersalah ketimbang mencari solusi.
PSSI dikritik karena menerapkan hukuman secara komunal, sementara yang bersalah segelintir suporter....
Bagaimana bisa menghukum individu, seperti di luar negeri, kalau kami tak ditunjang sistem yang canggih? Untuk menghukum personal, harus ada CCTV yang bisa mengidentifikasi orang per orang dan single seat sesuai dengan nomor tiket di setiap stadion. Untuk jangka panjang, kami menggandeng pemerintah daerah untuk memperbaiki infrastruktur. Jangka pendeknya, ya, hukuman komunal. Masak, harus menunggu semua itu siap, sementara kerusuhan yang terjadi saat ini dibiarkan? Enggak benar kalau begitu mikirnya.
Pernah belajar sepak bola Eropa, apa yang bisa kita tiru dari sana dalam hal organisasi suporter?
Adanya football intelligent di Inggris, kerja sama antara kepolisian, Premier League, The FA, dan pemerintah. Mereka samasama menegakkan hukum untuk keamanan dan keselamatan pertandingan sepak bola. Indonesia harus mengarah ke sana pelanpelan.
Anda puas terhadap penyelenggaraan Liga 1?
Tentu masih perlu banyak perbaikan. Masukan untuk PT LIB sudah kami sampaikan kepada mereka. Jika ukurannya persepsi publik, FIFA sudah menobatkan Liga 1 Indonesia sebagai "The Hottest Competition" di Asia Tenggara. Apresiasi itu muncul karena juara liga kita baru muncul pada pekanpekan terakhir. Ini fenomena langka dalam sepak bola dan kita harus berbangga atas pencapaian ini.
Apa yang sudah baik dan masih kurang dari penyelenggaraan Liga 1?
Competitiveness, quality of play, dan aktivitas sponsor sudah berjalan di Liga 1. Yang masih kurang adalah club empowerment. Sebab, apabila itu sudah berjalan, tak ada miskomunikasi antara pengurus liga dan klubklub. Konsistensi penerapan regulasi kompetisi juga perlu menjadi catatan PT LIB. l
Ratu Tisha Destria
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 30 Desember 1985 | Pendidikan: l SMA Negeri 8 Jakarta l Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (2004) l FIFA Master in Sports Humanity, Sports Management, and Sports Law (2014) | Karier: l Sekretaris Jenderal Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (2017-2020) l Direktur Kompetisi dan Operasional PT Liga Indonesia Baru (2017) l Direktur Kompetisi dan Operasional PT Gelora Trisula Semesta, operator Indonesia Soccer Championship (2016) l Pendiri LabBola (2008)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo