POTRET Stalin, di antara potret pemimpin komunisme lain, dibersihkan. Sidang Komite Sentral PKC (Partai Komunis Cina) segera berlangsung. Dan Ahad kemarin, di Balai Besar Rakyat Beijing, 210 anggota Komite Sentral PKC menerima resolusi yang digariskan pemimpin RRC Deng Xiaoping. Pada kesempatan itu pula tiga slogan lama dari zaman Mao Zedong tiba-tiba berkumandang lagi. Dengan segera bisa diketahui bahwa biarpun resolusi diterima, Cina masih belum bisa dibetot sama sekali oleh Deng dari pelukan Mendiang Ketua Mao -- dan dari slogan-slogan lama. Kompromi antara pandangan lama dan pandang baru yang dibawa Deng tak bisa dielakkan: Tidak heran jika janji mempertahankan Marxisme disejajarkan dengan tekad meneruskan politik pintu terbuka yang tentu saja tak terpisahkan dari perombakan sistem ekonomi dan politik. Dalam resolusi 10.000 kata yang tanpa rikuh meminjam slogan Mao tapi sekaligus diberi arti baru itu, memang tampak sikap yang mendua. Sepintas diperoleh kesan bahwa Deng, menghadapi pendukung pandangan lama yang Maois, terpaksa sedikit mundur. Setidaknya, ia tak berkeras maju. Memang, Marxisme-Leninisme dalam resolusi itu secara eksplisit diterima dengan lebih ingin luwes. "Salah untuk memandang Marxisme sebagai dogma yang serba kaku," kata resolusi. Tapi ditambahkan di sana bahwa tidak benar pula menilainya sebagai "teori yang ketinggalan zaman" dan "secara membabi buta memuja falsafah borjuis berikut doktrin sosialnya". Yang menarik, di tengah usaha Deng untuk menggerakkan ekonomi swasta sedikit demi sedikit, resolusi berteriak: sistem "moralitas sosialis tidak bisa menerima cara-cara mencari keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan orang lain." Juga diharamkan "mendewakan uang, menyalahgunakan kekuasaan, menipu, dan memeras." Tidak cuma itu. Lalu, terdengar janji: bahwa "pelacuran, pornografi, perjudian, dan obat bius akan dikikis habis." Pelacuran, pornografi, perjudian, dan obat bius tentu bukan cuma musuh sosialisme. Kalau tak percaya, tanya pada Ronald Reagan bagaimana ia juga memerangi semua itu -- sesuai dengan semangat kapitalis. Tapi di Cina tampaknya kuat pendapat bahwa aspek kapitalisme yang buruk telah mengotori Negeri Cina. Gaya hidup "kebaratbaratan" memang melanda orang-orang kota, dan itulah yang tiap kali dijadikan alasan bagi para pendukung paham lama untuk mengganjal reformasi Deng. Cara baru pendukung paham baru menampilkan sikapnya tampaknya ialah mendesakkan penafsiran kembali terhadap doktrin dan formula alias resep lama dalam membangun sosialisme Cina. Seperti ditegaskan dalam resolusi, "tidak pernah dan tidak mungkin ada formula yang siap pakai, karena itu wajarlah jika perbedaan pendapat timbul, baik di bidang teori maupun praktek." Sekalipun begitu, reformasi politik yang sudah, dikampanyekan sejak tiga bulan berselang, ternyata, tidak mungkin dipaksakan dalam sidang Komite Sentral PKC Ahal pekan lalu itu. Yang terjadi justru sebalihnya: reformasi politik harus ditahan, sedikitnya diperlambat. Diakui sebagai tugas berat, reformasi itu memerlukan pengkajian dan penelitian hingga PKC haruslah mematangkannya lebih dulu. Toh kini pun sudah dirumuska bahwa, kalaupun reformasi politik dilancarkan, maka itu akan terbatas pada perombakan dalam tubuh PKC dan sistem kepemimpinan negara. Semua itu sesuai dengan keterangan Yan Jiaqi, awal September lampau. Direktur Institut Ilmu-Ilmu Sosial Cina ini menyatakan, reformasi politik memang termasuk dalam agenda sidang pleno Komite Sentra PKC, tapi bukan sasaran utama. Baru pada tahun depan, reformasi politik akan dibahas dalam berbagai forum. Debat akan mencapai puncaknya dalam kongres PKC, September tahun depan. Karena reformasi politik begitu kompleks, maka pelaksanaannya tidak terjamin kalau sistem perundang-undangan tidak diperbaiki. Lagi pula, stabilitas politik jangka panjang tidak akan tercapai tanpa penyempurnaan sistem hukum. Dengan reformasi yang tersendat itu pun, resolusi partai kali ini melakukan koreksi terhadap konsep "persamaan" yang dulu dicanangkan Mao Zedong. Menurut Mao perjuangan kelas adalah kunci segala-galanya. Menurut Deng, perjuangan kelas bukan kunci. Yang penting ialah upaya memajukan negara. Karena itu, dalam pandangan kelompok Deng, persamaan upah untuk membayar jasa yang tidak sama dianggap keliru. Sebaliknya, resolusi Komite Sentral merestui kebijaksanaan yang membolehkan sejumlah orang menjadi kaya lebih dulu ketimbang yang lain. Gagasan ini, tentu, terlalu maju untuk dokrin dan semangat sama rata sama rasa yang selama pemerintahan Mao diserukan tak putus-putusnya. Hambatan besar diperkirakan datang dari pejabat tingkat rendah dan menengah yng takut kehilangan kekuasaan, karena mereka inilah yang mengatur dan mengontrol rakyat agar tak ada yang kaya sendirian. Akibat sampingnya tentu gairah masyarakat yang macet. Karena itu pula reformasi politk dianggap perlu. Tanpa ini, pertumbuhan ekonomi yang terhambat birokrasi tidak pernah akan terjadi. Kekhawatiran begini sudah jadi mendesak terutama sejak proyek zone ekonomi terbukti gagal. Terkecuali Shekou, empat lainnya -- Shenzhen, Zhukai, Xiamen, lan Shantou -- harus diakui gagal. Sekarang RRC mengalihkan eksperimen ekonominya ke beberapa pusat industri di sepanjang pantai timur. MELIHAT Berak reformasi politik begitu lamban seperti terlihat dari perkembangan 8 tahun terakhir, Den hampir hilang kesabarannya. Tokoh sepuh ini khawatir, jangan-jangan ia keburu meningal sebelum tata politik baru bisa diwujudkan. Segalanya akan sia-sia, sementara proses pergantian pimpinan belum jelas benar arahnya. Yan Jiaqi menKajukan Sekolah Pusat Partai sebagai contoh tentang bagaimana tidak siapnya kader-kader Partai Komunis dalam mengikuti gerak reformasi politik. Seorang kader dl sekolah ltu, mlsalnya, kontan menyatakan keberatannya, ketika soal pemilahan partai dan pemerintah dibicarakan. Kader ini menyatakan partai komunis adalah pemimpin negara, berarti harus pula memimpin pemerintahan. Padahal, dwifungsi seperti ini -- karena tidak semua orang partai adalah administrator yang tepat -- yang terbukti menghambat perbaikan ekonomi Cina. Yang juga menimbulkan masalah adalah pemusatan kekuasaan berlebihan, seperti disinyalir Wakil PM Wan Li. Ini berakibat pada pengambilan keputusan yang acap kali mutlak tapi salah. Menurut Su Shaozhi direktur Institut Marxisme-Leninisme, kebijaksanaan personalia sering kali didasarkan pada suap dan koneksi. Sistem itu pada gilirannya menghasilkan pemimpin kaliber sedang. Padahal, tantangan zaman menuntut pemimpin kaliber unggul. Yang menarik ialah bahwa resolusi Partai kali ini condong mempersalahkan keterbelakangan ekonomi Cina bukan pada impealisme Barat, tapi pada "sistem feodal yang dekaden, yang masih merongrong partai." Tampaknya ini berarti: sikap para tokoh yang menikmati hak istimewa, dengan alasan menjalankan tugas untuk "pemerataan", untuk "sosialisme". Masih harus dilihat, sejauh mana Cina berhasil mengganyang sebagian tokoh partai dan birokratnya sendiri. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini