Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berita Tempo Plus

Musuh Siluman Memetik Nyawa

Dengan senjata yang lebih canggih dan serangan yang "terorganisasi", pejuang Irak memetik lebih banyak nyawa tentara Amerika sekarang ketimbang di waktu perang.

16 November 2003 | 00.00 WIB

Musuh Siluman Memetik Nyawa
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Rekor itu pecah pekan lalu: 32 tentara Amerika Serikat mati dalam sepekan saja. Dan jadilah pekan ini paling mematikan bagi Amerika Serikat (AS) sejak mereka menduduki Irak—seusai menumbangkan Presiden Irak Saddam Hussein—pada Mei silam. Sebuah helikopter Black Hawk Angkatan Darat AS jatuh berdebam pada Jumat pekan lalu di tepi Sungai Tigris. Dihantam granat milik penyerang Irak, insiden ini melayangkan nyawa enam serdadu AS. Padahal baru lima hari sebelumnya, pada Ahad, 2 November—rakyat AS meratapi peristiwa di Fallujah. Hari itu, dingin udara pagi masih melingkupi Desa Baisa di kawasan Fallujah—kota yang menjadi jantung kaum Sunni Irak. Sebuah helikopter Chinook milik AS meraung-raung memecah keheningan pagi. Tapi penduduk tak terlalu peduli. Tak lama kemudian, suara lebih keras mengagetkan penduduk desa setelah rudal meluncur dari balik rimbun pepohonan dan menghantam badan Chinook itu. Blaaaaam! Helikopter yang sedang mengangkut 50 pasukan AS ini rontok berdebam ke bumi. Akibatnya, 19 anggota pasukan AS tewas dan 20 luka-luka. Ironisnya, para serdadu itu sedang menuju bandara internasional di Baghdad untuk menjalani cuti pertama yang mereka nikmati sejak Maret silam. Ini korban kedua terbesar setelah rekor 28 pasukan AS tewas pada 23 Maret silam. Dihitung-hitung sudah 145 tentara AS tewas sejak Presiden George Walker Bush menyatakan perang utama berakhir pada 1 Mei silam. Di antaranya, 32 nyawa rontok hanya pada pekan lalu. "Situasinya kian buruk. Musuh menggunakan teknik lebih canggih untuk menyerang pasukan kita," ujar Paul Bremer, pemimpin pemerintahan pendudukan AS di Irak. Fallujah, kota di sebelah barat Baghdad, adalah pendukung berat Saddam Hussein. Tak mengherankan, jatuhnya helikopter Chinook disambut pesta oleh penduduk Desa Baisa dan warga kota. "Kami amat senang hari ini," kata Ammar Majid, pegawai penjualan mobil. Seorang petani menyatakan serangan itu merupakan pelajaran baru dari pejuang Irak untuk agresor yang tamak. "Mereka tak akan pernah aman sampai mereka enyah dari negeri kami." Paul Bremer di Baghdad, petinggi di Washington, hingga Presiden George Bush gusar bukang kepalang. Bayangkan, rata-rata jumlah serangan terhadap pasukan AS sekitar 12 kali sehari. Pada akhir Oktober lalu, malah pernah mencapai 33 kali sehari. Serangan terhadap AS kian merepotkan karena makin terorganisasi. Juga, persenjataaan Irak lebih baik dari beberapa bulan sebelumnya. Mortir 160 mm jenis terbaru—yang ditembakkan dari jarak lebih jauh—sudah biasa mereka gunakan untuk menembus sasaran AS di Tikrit. Ranjau anti-tank menghajar tank canggih Abrams di kawasan selatan Baghdad, yang membunuh dua pasukan AS pada dua pekan lalu. Itu serangan frontal pertama terhadap tank AS setelah Bush mengumumkan berakhirnya Perang Irak. Repotnya, hingga saat ini AS bingung mengidentifikasi pelaku serangan. "Amerika dan Inggris tahu sedikit sekali tentang musuh. Mereka memerangi musuh yang tak dapat mereka lihat," kata seorang kepala badan intelijen di Eropa. Kebingungan para pejabat AS tampak dari pernyataan petinggi Washington yang saling bertentangan. Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld yakin, peningkatan serangan terhadap pasukan AS tak lepas dari peran Saddam Hussein. Pasukan AS memang mengaku menangkap dua bekas jenderal Irak Selasa pekan lalu. Keduanya dicurigai membiayai dan mengorganisasi serangan terhadap pasukan AS dan koalisinya di sekitar Fallujah. Presiden Bush pun memberi jawaban mengambang soal peran Saddam. Bush hanya berani menyatakan Saddam tak lagi berkuasa, kendati Bush yakin Saddam sedang membuat masalah. Sebaliknya, dua pejabat penting AS, Menteri Luar Negeri Colin Powell dan Paul Bremer, meragukan peran Saddam. Alasannya sepele: Saddam sibuk menghindari penangkapan sehingga tak mungkin mengorganisasi perlawanan. "Tak ada bukti Saddam berada di balik (serangan-serangan) ini," kata Bremer. Seorang bekas pemimpin oposisi Irak yang kini bekerja untuk Dewan Pemerintah Irak bikinan AS juga membantah keterlibatan Saddam. Pejabat ini mengatakan, penggerak serangan terhadap pasukan AS adalah pejabat level menengah Partai Baath, termasuk Mukhabarat, lembaga intelijen rezim Saddam Hussein. Sumber ini yakin serangan roket ke Hotel al-Rashid di Baghdad saat Wakil Menteri Pertahanan AS Paul Wolfowitz menginap di sana adalah hasil kerja Mukhabarat. Pengakuan seorang bekas milisi Fedayeen mendukung keyakinan Bremer dan Powell. Sebut saja namanya Umar Saleh, 22 tahun. Dia mengaku ada sekitar 600 relawan yang berbasis di Tikrit. Mereka tergabung dalam kelompok bawah tanah "Pasukan Muhammad" (lihat Permen Berbalas Mortir). Kelompok ini terbagi dalam enam divisi. Sebagian besar dari 100 orang dalam kelompok Umar adalah bekas milisi Fedayeen. Tapi, katanya, serangan terhadap AS tidak untuk mendukung Saddam. Mereka menerima perintah dari seorang ulama yang amat percaya pada jihad. Walau, kata Umar, tak ada alasan keagamaan bagi kelompoknya dalam memerangi AS. Jadi, untuk apa? Pejuang muda itu mengatakan, perlawanan kelompoknya saat ini bertujuan mengakhiri pendudukan AS. "Mereka datang sebagai pembebas, tapi kini berubah menjadi pasukan pendudukan," ujarnya. Umar mengaku terlunta-lunta tak punya pekerjaan setelah Saddam Hussein tumbang. Dari mulut Umar pula keluar pengakuan bahwa ada 75 ribu pejuang asing yang terlibat di Irak. Umumnya warga Suriah. "Mereka sudah di sini berbulan-bulan," katanya. Para pejuang asing ini kemudian disalurkan ke beberapa kelompok pejuang Irak. Beberapa penduduk Baisa mengaku melihat seorang lelaki warga Suriah melatih gerilyawan Irak. Cerita Umar klop dengan pernyataan Donald Rumsfeld bahwa pasukan AS menangkap 200 hingga 300 pejuang asing dan telah membunuh beberapa lainnya. Dan klop pula dengan kemarahan pemerintah AS terhadap pemerintah Suriah dan Iran, yang dipandang AS secara sengaja mengirim para sukarelawannya ke tanah Irak. Perwira militer AS mencurigai Izzat Ibrahim, seorang perwira senior dalam pemerintahan Saddam Hussein. Dia diyakini merekrut para pejuang asing ini sekaligus memimpin organisasi serta membiayai serangan terbaru. Kalangan kontrateroris Barat memperkirakan ada 15 kelompok militan yang terlibat. Beberapa di antaranya jaringan Al-Qaidah, yang sekarang beroperasi di Irak. Salah satunya, kelompok Ansar al-Islam, yang dituding AS sebagai jaringan Al-Qaidah, berperan dalam serangan terhadap pasukan AS belakangan ini. "Al-Qaidah, Ansar al-Islam, loyalis (Saddam Hussein), bekas personel militer yang tak puas, semuanya tersangka. Tapi tak terfokus pada kelompok tertentu," ujar seorang perwira senior kontraterorisme AS. Washington memang pantas bingung. Apalagi, sejumlah negara yang mengirim pasukan ke Irak juga sudah mulai khawatir. Peningkatan serangan terhadap pasukan AS akhir-akhir ini, bagaimanapun, telah menumbuhkan ketakutan bahwa AS bukan mustahil akan terseret dalam "Perang Vietnam" kedua: berlarut-larut dan mematikan. Raihul Fadjri (AFP, AP, San Francisco Ch, The Independent)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus