Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Termin Keempat bagi Howard?

Australia menggelar pemilu untuk memilih pemimpin baru. Apa pun hasilnya, kandidat terkuat untuk perdana menteri baru, John Howard, memprioritaskan untuk bertemu secepatnya dengan calon presiden terpilih Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MARK Latham tak pernah kehilangan selera humor untuk mengolok-olok Perdana Menteri John Howard. Sehari sebelum pemilu berlangsung—pada Sabtu, 9 Oktober—pemimpin oposisi yang juga Ketua Partai Buruh itu berseloroh, "Saya berharap dia mengalami hari yang indah (pada Sabtu), meskipun tak seindah yang saya alami." Akhir pekan lalu, segenap anak negeri Australia mengantre di depan kotak-kotak suara untuk menjatuhkan pilihan bagi pemimpin baru Australia: Johan Howard dari Partai Konservatif atau pesaingnya, Mark Latham dari Partai Buruh. Siapa yang terpilih bakal lebih nikmat menikmati "Sabtu yang indah" seperti yang dilontarkan Latham.

Optimisme Latham di atas diucapkan saat dia mengunjungi SMP Ashcroft, sekolahnya dulu di kawasan Sydney Barat. Sambil menggandeng istrinya, Janine Lacy, dan ibunya, Lorraine, Latham mengelilingi sekolah itu sebelum menggelar jumpa pers terakhir menjelang pemilu. Dia berbicara tentang banyak hal, dari kanker testis yang pernah diidapnya sampai keamanan nasional. Dari soal imigran sampai rencana pemotongan pajak bagi yang berpenghasilan di bawah A$ 52 ribu (sekitar Rp 700 juta) per tahun.

Menurut catatan Komisi Pemilu Australia (AEC), ada 13 juta orang yang mempunyai hak pilih untuk menentukan perdana menteri ke-26 Negeri Kanguru. Kubu Liberal yang dikomandoi Howard menyatakan masih ada 10 persen pemilih yang belum yakin siapa yang akan mereka coblos di bilik suara. Partai Buruh mengamini angka ini dan menyatakan angka terbesar berada di pemilih usia remaja.

Itu sebabnya Latham paham mengapa ia mesti terus menggenjot kampanyenya, meski semua pemerintah negara bagian sudah berada dalam genggaman Partai Buruh. Sebab, di tingkat federal, pengaruh Partai Koalisi yang dimotori oleh Partai Liberal yang mendukung Howard masih tetap kuat. Optimisme Howard memenangi kursi perdana menteri (PM) untuk keempat kalinya bukan cuma pepesan kosong. Isu kawasan keamanan regional yang kurang berpihak bagi kepentingan Australia—terutama dengan adanya bom Bali (Oktober 2002) dan bom Kuningan (September 2003)—menjadi pedal gas yang membuat Howard terus melaju. Sebab, siapa yang bisa terlelap tidur dengan rasa tak aman di sekelilingnya?

Persepsi praktisi bisnis tentang Howard juga cukup baik. Michael Gordon, pemimpin redaksi harian The Age, berpendapat bahwa citra Howard cukup baik. Sebab, dia bukan saja menjanjikan suku bunga akan tetap rendah, tapi sudah membuktikan bahwa dia sanggup melakukannya. Bila kembali terpilih, untuk keempat kalinya, Howard menjanjikan penurunan pajak. Pada umumnya, menurut Gordon, di kalangan bisnis ada persepsi kuat bahwa pemerintah Koalisi lebih terampil dalam menangani ekonomi negara, kendati pada prakteknya indikasi kesenjangan antara si miskin dan si kaya kian lebar.

Di pihak lain, Mark Latham, yang menurut jajak pendapat beberapa bulan ini lebih populer di kalangan generasi muda, dalam pandangan Gordon masih belum memiliki kebijakan yang kukuh di sektor ekonomi. Akibatnya, mudah sekali bagi tim sukses Howard untuk menggertak para calon pemilih bahwa kalau Partai Buruh yang terpilih, negara akan kelimpungan: suku bunga akan melonjak, pengangguran akan membengkak, dan ekonomi akan rusak.

Walau generasi muda mungkin memandang enteng peringatan ini, generasi lebih tua yang sudah mengalami pemerintahan Partai Buruh cukup banyak yang percaya pada prediksi ini. Mereka tahu, umpamanya, kendati Latham sudah berjanji menurunkan tingkat pengangguran sampai 5 persen, jika ekonomi tidak ditangani secara terampil, janji Latham akan tinggal janji.

Masalah lain, Latham tak punya kelompok pendukung yang tahan banting. Seorang mantan menteri Partai Buruh sendiri, Gary Johns, secara terang-terangan mengatakan bahwa masalah Latham yang berumur 43 tahun ini adalah belum cukup matang untuk menjadi perdana menteri. Johns mengakui Latham punya potensi sebagai pemimpin negara yang baik, tapi tidak sekarang. Dia harus diberi waktu, menurut Johns.

Soal kebijakan luar negeri, Howard dan timnya selalu mengatakan akan mempertahankan hubungan baik dengan negara-negara tetangga Asia. Tapi pada prakteknya Howard belum menunjukkan komitmen yang nyata ke arah itu. Apakah Latham akan lebih besar komitmennya kepada Asia? Dan sanggupkah dia meyakinkan rakyat Australia bahwa menjaga keamanan perbatasan negara tidak perlu dengan kebijakan yang berbau xenofobia—rasa takut terhadap orang asing.

Boleh jadi, masalah Partai Buruh tingkat federal ialah kepemimpinannya. Kunci yang memungkinkan kemenangan Partai Buruh dalam pemilu federal 2004 ini ialah kejenuhan rakyat pada John Howard dan pemerintahnya, dan keinginan untuk mengganti pemegang kendali di atas. "Saya tahu, lebih dari cukup jumlah orang yang bosan dengan saya," ungkap Howard. "Tapi itu karena saya mengambil keputusan-keputusan sulit yang hanya bisa dimengerti menurut konteksnya," ujarnya diplomatis. Salah satunya adalah keikutsertaan Australia dalam invasi ke Irak yang menurut Howard, "memang harus dilakukan, bila kita melihat pada data-data yang tersedia pada masa itu," katanya.

Seakan berterima kasih atas pilihan itu, Bush mengirim ucapan "semoga berhasil" kepada Howard melalui Duta Besar AS di Australia, Tom Schieffer. Howard sendiri berharap ia segera bisa bicara dengan Bush, apa pun hasil pemilihan. Namun, yang lebih diinginkannya adalah secepatnya bertemu dengan Presiden Indonesia yang baru terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono—yang populer dengan sebutan SBY.

Ia menampik rumor yang menyatakan bahwa dalam pembicaraan dengan SBY, ia akan menjelaskan soal serangan penangkal (pre-emptive strike) yang akan dilakukan Australia ke negara lain. "Saya yakin ia mengerti apa yang akan saya katakan, dan ia tahu ini tidak mengancam Indonesia," katanya.

Akmal Nasery Basral (The Sidney Morning Herald, The Age, BBC), Dewi Anggraeni (Melbourne)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus