Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Menunggu Kepunahan di Siberut

Taman Nasional Siberut terancam rusak gara-gara penebangan hutan. Padahal inilah salah satu "museum hidup" spesies langka.

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kaipa nuei? Mugejek ka Siberut?" Sapaan dalam bahasa Siberut itu terdengar ramah dan tulus. Inilah sapaan sambutan warga suku Sakaliau, Siberut Selatan, Kabu-paten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, kepada Tempo. Dalam bahasa Indonesia, sapaan itu kira-kira berbunyi "Anda mau ke mana? Mau jalan-jalan di Siberut?". Sebuah tegur sapa yang menyejukkan setelah penat menempuh tujuh jam perjalanan berperahu motor dari Muara Padang, ibu kota Sumatera Barat, menembus ombak Samudra Hindia. Itu pun perjalanan belum tuntas karena masih harus disambung dengan perahu tempel menyusuri Sungai Sarereket selama tiga jam.

Aman Baroigok, 30 tahun, pria yang menyambut ramah itu, adalah anak rimata, sebutan untuk jabatan kepala suku Sakaliau. Dia lalu mengantar Tempo menyusuri jalan setapak penuh lumpur sejauh 500 meter sebelum tiba di Sakaliau. Sepanjang jalan, dia bercerita tentang desa dan sukunya. Tak lama kemudian, kami sudah sampai di "pusat" desa yang terdiri dari sekumpulan sapau (rumah kecil). Di tengah kumpulan rumah kecil ini, berdiri kukuh uma (rumah tradisional Mentawai). Di wilayah desa yang tak terlalu luas ini, sedikitnya berdiri enam uma yang lebih kecil, tempat anak dan kerabat kepala suku tinggal.

Di pintu masuk uma utama tersebut, berjejer puluhan utet atau tengkorak monyet Mentawai. Aman bercerita, dulu monyet, atau bokkoi dalam bahasa Siberut, sangat mudah diburu. Selain dagingnya yang lezat, perburuan yang dilakukan hampir setiap minggu itu juga untuk keperluan upacara adat. Tapi saat ini bokkoi (Macaca pagensis siberu atau Mentawai macaque) semakin sulit ditemui. "Untuk bahan upacara adat, kami harus mencarinya sampai jauh masuk hutan," katanya.

Bokkoi hanya satu dari empat primata khas Siberut. Keunikan pulau seluas 405 hektare ini antara lain karena sejarah geologi pulaunya yang terpisah dari daratan Sumatera lebih dari 500 ribu tahun. Isolasi alamiah itu membuat flora dan fauna Siberut nyaris tak tersentuh evolusi.

Selain bokkoi, tiga primata endemik (langka) lainnya adalah joja atau lutung (Presbytis potenziani siberu atau Mentawai leaf monkey) dengan ekor seperti sutra hitam, bilou atau siamang (Hylobates klossii atau kloss's gibbon) yang pandai bernyanyi, serta simakobu (Nasalis [simias] concolor siberu atau pig-tailed langur) sejenis bekantan namun berekor pendek seperti babi. Keempat primata ini dulunya tersebar di empat pulau di Mentawai, tapi kini hanya tersisa di Pulau Siberut.

Keunikan Siberut tak hanya dalam soal primata. Tahun 1980, World Wildlife Fund (WWF) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan survei di pulau ini. Hasilnya, ditemukan 7 jenis tupai, 5 di antaranya endemik, 17 jenis satwa mamalia, serta 130 jenis burung yang 4 di antaranya juga endemik. "Sekitar 65 persen spesies fauna dan 15 persen flora di Siberut bersifat endemik," kata Wiratno, policy annalist dari Conservation International Indonesia, lembaga yang memperhatikan soal konservasi Siberut.

Sayangnya, meski Organisasi Lingkungan Dunia (UNESCO) telah menetapkan Siberut sebagai cagar biosfer pada 1981, keempat jenis primata endemik ini tetap terancam punah. Apalagi pemerintah kemudian mengeluarkan izin HPH (hak pengusahaan hutan) skala besar seluas 49.440 hektare di Siberut Utara untuk PT Salaki Summa Sejahtera pada Desember 2003.

Penebangan hutan juga terpicu keluarnya IPK (izin pemanfaatan kayu) dari Bupati Mentawai. Di sini, beroperasi lima perusahaan pemegang IPK dan akan segera menyusul 17 lainnya yang bakal mengepung Pulau Siberut dari arah pantai timur.

Semua itulah yang dicemaskan bakal membabat hutan-hutan Siberut. Apalagi areal kedua HPH tersebut berbatasan langsung dengan Taman Nasional Si-berut (TNS) seluas 190.500 hektare. Taman nasional yang berdiri pada 10 Agustus 1993 ini menjadi satu-satunya kawasan perlindungan primata Siberut.

Menurut Kepala Balai TNS, Tri Prasetyo, dua HPH raksasa tersebut akan makin mempercepat kepunahan primata Siberut. Dari data terakhir TNS, tahun 1999, jumlah bilou terbilang lumayan karena masyarakat Siberut pantang memakan siamang sehingga jenis ini jarang diburu. Saat ini jumlah siamang diperkirakan tinggal 8.300 ekor. Tapi, untuk bokkoi, yang tersisa hanya sekitar 3.000 ekor, joja 2.200 ekor, bahkan simakobu hanya 1.600 ekor. "Sayangnya, kami hanya bisa mengawasi kawasan TNS. Di luar itu bukan wewenang kami," ujarnya.

Bahkan tanpa ancaman HPH pun kawasan Siberut secara geologis cukup rawan. Penelitian LIPI pada tahun 1995 membuktikan bahwa 46,6 persen dari kawasan ini tergolong tanah yang tak mampu menyimpan air resapan dengan baik. Apalagi, dengan kemiringan tanah yang rata-rata lebih dari 25 persen dan curah hujan yang tinggi (3.000-4.000 milimeter per tahun), kawasan ini tergolong rawan longsor.

Faktor-faktor itulah yang, menurut Wiratno, mestinya menjadi pertimbangan bagi pemerintah agar membatasi penebangan hutan. Ia menyebut masih banyak hasil hutan non-kayu yang bisa dimanfaatkan, seperti manau, pala, pinang, cengkeh, nilam, kopra, dan sagu. Pendapatan lain yang bisa digali adalah dari pariwisata, khususnya wisata selancar di laut. Untuk selancar saja, setiap tahun 2.000 lebih peselancar dari berbagai penjuru dunia datang ke Mentawai. "Nilai ekonomi wisata bahari ini mencapai Rp 30 miliar," tuturnya.

Rusaknya hutan berarti rusaknya habitat primata Siberut. Sayang, tak banyak orang seperti Aman dan kerabatnya, sesama suku Sakaliau, yang paham pentingnya menjaga hutan. "Daun-daun adalah kehidupan kami, tempat leluhur kami, dan aku tidak akan mengizinkan orang-orang datang mengambil hutan kami," kata Aman, sementara di kejauhan terdengar suara mesin penebang kayu menderu-deru.

Raju Febrian, Febrianti (Padang)


Taman Nasional Siberut

S.K. Menteri Kehutanan No. 407/Kpts-II/1993, dengan luas 190.500 hektare Letak: Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat Temperatur udara: 22° - 31° C Curah hujan: 2.900 - 3.700 mm/tahun Ketinggian: 0-500 mdpl Letak geografis: 1°05? - 1°45? LS, 98°36? - 99°03? BT

Hewan Endemik Pulau Siberut

Bilou Nama lain: Hylobates klossii atau kloss?s gibbon atau Mentawai gibbon. Spesifikasi: bulu jarang berwarna gelap. Punya selaput antara jari kedua dan ketiga. Jenis gibbon (siamang) paling primitif. Pandai bernyanyi selama 10 menit hingga 2 jam. Populasi: 8.300 ekor.

Joja atau Lutung Mentawai Nama lain: Presbytis potenziani siberu atau Mentawai leaf monkey. Spesifikasi: Punggung hitam berkilat, bagian perut cokelat tua, putih sekitar muka dan leher, serta ekor panjang dan hitam seperti sutra. Selalu tinggal di atas pohon. Populasi: 2.200 ekor.

Simakobu Nama lain: Nasalis [simias] concolor siberu atau pig-tailed langur. Spesifikasi: Termasuk keluarga bekantan tapi ekornya pendek menyerupai ekor babi. Badan gemuk pendek dan anggota badan sama panjang. Paling mudah diburu. Populasi: 1.600 ekor.

Bokkoi Nama lain: Macaca pagensis siberu atau Mentawai macaque. Spesifikasi: jenis beruk berbulu hitam tapi dengan pipi putih. Memiliki pekikan unik. Biasanya hidup berkelompok sekitar 30 ekor. Populasi: 3.000 ekor.

Sumber: Taman Nasional Siberut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus