Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kerusuhan pecah dalam unjuk rasa menentang pembakaran Alquran di Swedia. Puluhan orang terluka akibat kerusuhan di Swedia tersebut. Polisi telah menangkap sejumlah orang yang disebut terlibat kerusuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka ditangkap di Linköping dan Norrköping tempat kekerasan dimulai pada hari Jumat. "Akan ada lebih banyak lagi yang ditangkap," menurut juru bicara kepolisian seperti dikutip dari CNN, Selasa, 19 April 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerusuhan meletus di beberapa kota selatan setelah pembakaran Alquran di Swedia oleh Rasmus Paludan, pemimpin partai sayap kanan Stram Kurs (Garis Keras) Denmark. Paludan yang merupakan aktivis anti-Muslim, memposting foto dirinya di media sosial dengan Alquran yang terbakar. Dia menyatakan akan membakar lebih banyak lagi Alquran.
Politisi sayap kanan asal Denmark Rasmus Paludan disebut sebagai dalang di balik aksi pembakaran Alquran di Swedia. Kejadian itu menimbulkan demonstrasi balasan yang tidak berhenti sampai Minggu, 17 April 2022.
Sebelum kejadian kemarin, Rasmus Paludan pernah menggelar unjuk rasa serupa yang berakhir dengan rusuh beberapa tahun terakhir. Pada November 2020, ia ditangkap di Prancis dan kemudian dideportasi.
Siapa sebenarnya Rasmus Paludan yang disebut menjadi pemantik kerusuhan? Dilansir dari Euronews pada Senin, 18 April 2022, Paludan adalah pendiri partai Stram Kurs (Garis Keras) Denmark yang memegang kewarganegaraan Swedia.
Misi partai Paludan adalah melarang imigran, pengungsi, hingga Umat Islam. Partai Garis Keras itu didirikan atas jatuhnya partai nasionalis Partai Rakyat Denmark (DPP).
Paludan mengatakan dalam video Desember 2018 bahwa musuhnya adalah Islam dan Muslim. "Hal terbaik adalah jika tidak ada satu pun Muslim yang tersisa di bumi ini. Maka kita akan mencapai tujuan akhir kita," katanya.
Sejak mendirikan partainya pada Juli 2017, Paludan mendapat keterikatan pengikut di media sosial. Dia muncul dengan memanfaatkan ketenaran virtual di kalangan remaja.
Pada bulan April 2019, pengadilan Denmark memutuskan Paludan bersalah atas rasisme setelah ia berpendapat bahwa orang-orang dari Afrika kurang cerdas.
Martin Krasnik, pemimpin redaksi surat kabar Denmark "Weekendavisen", menyebut Paludan seorang Nazi dalam editorial miliknya pada 2019 silam. Dia mengatakan bahwa Paludan jelas akrab dengan hukum Nuremberg dari Jerman era Nazi. Paludan menyangkal memiliki hubungan dengan Nazisme.
Spesialis Pemilu dan Profesor Ilmu Politik Universitas Kopenhagen, Kasper Møller Hansen, mengatakan gaya Paludan tidak jauh berbeda dengan Donald Trump di Amerika Serikat. "Dia menyalahkan kemapanan, media, sering berbohong. Tapi pemilihnya tidak peduli," katanya
Juni 2020 Paludan divonis satu bulan penjara dengan dua bulan tambahan hukuman percobaan setelah dinyatakan bersalah atas 14 akun rasisme, pencemaran nama baik, dan kekerasan jalanan.
Dilansir dari TRT World, Rasmus Paludan adalah seorang pengacara dan seorang YouTuber yang berniat mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif Swedia pada September. Ia belum mengantongi dukungan yang cukup untuk mengamankan pencalonannya.
Baca: Demo Menentang Pembakaran Alquran di Swedia Rusuh, 40 Orang Terluka
REUTERS | EURONEWS | TRTWORLD | CNN