Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden George Walker Bush menghabiskan 1 jam 15 menit bersama bekas menteri luar negeri James A. Baker III dan anggota Kelompok Studi Irak di Gedung Putih, Senin pekan lalu. Di hadapan panel independen yang menelaah kebijakan Amerika Serikat untuk Irak ini, Bush menjelaskan kebijakan pemerintahnya tentang penyelesaian masalah Irak yang semakin tak berujung, khususnya kehadiran pasukan Amerika yang malah menjadi bagian dari masalah di Irak.
Kini Bush tampak lebih realistis menghadapi masalah Irak, setelah tak lagi punya pijakan yang kuat di Capitol Hill, gedung Dewan Perwakilan Rakyat. ”Rakyat membuat usul untuk mengakui pilihan militer paling baik tergantung pada kondisi di lapangan (Irak),” katanya di hadapan anggota panel independen itu. Artinya, jika kehadiran pasukan Amerika di Irak akhirnya hanya menambah banyak kantong mayat yang dikirim pulang ke Amerika, Gedung Putih bisa saja mengambil kebijakan cabut dari Irak.
Inilah isyarat pertama Bush akan berubah: dari seorang konservatif menjadi ”realis”, setelah Partai Republik kalah dalam pemilihan anggota DPR dan Senat pada 7 November lalu. Tapi Bush tak beranjak terlalu jauh. Ia menentang setiap pembicaraan mengenai jadwal penarikan pasukan Amerika dari Irak yang sudah dipatok, sebagaimana yang dituntut sebagian anggota DPR dari Partai Demokrat. Senator John Kerry, misalnya, mengusulkan penarikan mundur pasukan yang dimulai dalam waktu satu bulan.
Bush kini memang berada di bawah tekanan kuat dari kubu Demokrat dan sebagian kubu Republik untuk mengubah kebijakannya di Irak. Salah seorang pemimpin Republik, Senator John W. Warner, Ketua Komite Persenjataan, menyatakan hasil pemilu yang membuat kubu Republik menjadi minoritas di DPR dan Senat merupakan satu teriakan lantang untuk satu strategi baru Irak. ”Rakyat Amerika telah berbicara dengan keprihatinan yang dalam terhadap kehilangan nyawa, kehilangan anggota badan, pengeluaran yang gila-gilaan, dan kredibilitas negeri kita,” katanya.
Kubu Demokrat terus menyerang Bush, bersenjatakan mandat baru yang telah diberikan sebagian besar rakyat Amerika lewat pemilu pada awal November silam. Dalam konferensi pers di Capitol Hill, Senator Carl Levin, yang bakal menjadi Ketua Komisi Persenjataan, menuduh pemerintah Bush mengingkari realitas terang-benderang di Irak. ”Kita terus terperosok ke dalam lubang yang lebih dalam dan lebih dalam yang seharusnya kita berhenti menggalinya,” ujar Levin.
Bahkan James Baker, yang pernah menjadi menteri luar negeri dalam pemerintahan Bush senior, secara terbuka meminta pemerintah Bush berbicara dengan musuhnya: Suriah dan Iran. Maklum, satu-satunya media komunikasi yang terbuka hanyalah dengan menggunakan ancaman dan dengan itu ia berharap memperoleh kepatuhan Suriah dan Iran. Sejauh ini, ancaman sanksi politik dan ekonomi gagal memaksa Presiden Suriah Bashar al-Assad dan Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad. Pemerintah Damaskus dan Teheran tetap memainkan pengaruh politiknya di Irak dan di wilayah konflik Timur Tengah lainnya yang dianggap merongrong kedigdayaan Amerika di Timur Tengah.
Tapi Bush pemimpin politik konservatif yang defensif. Di hadapan James Baker dan tim Iraknya, Bush malah mengatakan bahwa Amerika punya kedutaan di Suriah, tapi ia tak menyinggung kebijakannya mengandaskan hubungan dengan pemerintah Suriah. Ia mendaftar sederet persyaratan untuk membuka pintu pembicaraan dengan pemerintah Suriah.
Sikap yang sama juga ditunjukkan Bush dalam soal Iran. Ia mengulangi: pemerintah Iran harus menghentikan pengayaan uranium sebelum Washington mau membuka pintu pembicaraan. ”Dalam kebijakan luar negeri, Bush setali tiga uang dengan Bush tua. Ia tak akan berubah banyak,” ujar Stanley A. Renshon, ilmuwan politik dari City University di New York.
Sebagaimana kebanyakan kandidat anggota DPR dari kubu Republik yang menghindari Bush saat kampanye, sekutu Bush paling setia di luar negeri, Perdana Menteri Inggris Tony Blair, mulai mengambil sikap politik yang berjarak dengan Bush. Dalam satu pidato resmi di London, Senin pekan lalu, untuk pertama kalinya Blair bersimpang jalan dengan Bush dalam soal kebijakan Timur tengah, sejak invasi Amerika dan sekutunya ke Irak pada 2003. Ia meminta Bush mengubah strategi tentang Irak. ”Ne-gara Barat seharusnya membuka diri terhadap Iran dan Suriah,” ujar Blair.
Menurut Blair, invasi ke Irak yang telah berjalan tiga tahun itu telah menenggelamkan pasukan Amerika dan Inggris di dalam rawa-rawa konflik sektarian yang tak berujung. Baginya, jawaban utama masalah Irak tak hanya terbentang di Irak, tapi juga di luar Irak. ”Kekuatan di luar Irak sedang mencoba menciptakan aniaya di dalam Irak. Jadi kita harus punya satu strategi menusuk mereka kembali, tak hanya di Irak tapi juga di luar Irak,” katanya. Dengan bangga Blair menyebutnya sebagai satu strategi menyeluruh Timur Tengah.
Tony Blair merupakan sekutu utama Bush dalam invasi 2003 ke Irak. Tapi lawan politiknya menyatakan Blair hanya sebagai budak untuk memburu agenda politik Bush di Timur Tengah. Kini, ketika satu kaki politik Bush diamputasi sebagai hasil pemilu sela yang lalu, Blair mulai mengkaji ulang kesetiaannya pada pikiran konservatif Bush. Itu pun masih ditambah tekanan politik dari partainya, Partai Buruh, juga dari oposisi Partai Konservatif yang semakin gencar agar ia memboyong pasukan Inggris segera keluar dari Irak. Kerusuhan berkelanjutan di Irak telah mencabut empat nyawa lagi dari pasukan Inggris pada Ahad 12 November lalu.
Selain mengorbankan hampir 3.000 nyawa serdadu Amerika di lubang konflik di Irak itu, kebijakan main kayu Presiden Bush terhadap Korea Utara juga dipersoalkan kubu Demokrat. Tom Lantos, yang akan memimpin Komite Hubungan Internasional DPR, menilai kebijakan Bush terhadap Korea Utara telah gagal. Satu pendekatan baru, kata Lantos, harus diupayakan. ”Gedung Putih harus mencoba satu pendekatan berani terhadap krisis Korea Utara yang kini sangat jelas dilihat dunia bahwa kebijakan kita telah gagal,” ujar Lantos pada Rabu pekan lalu.
Menurut Lantos, sanksi dan pembekuan aset Korea Utara untuk percobaan senjata nuklir bulan lalu tentu membuat sakit hati pemimpin Korea Utara. Itulah sebabnya, katanya, utusan khusus Amerika, Chris Hill, harus mengikuti pembicaraan enam negara pada ronde berikutnya. Hill harus dibekali dengan otoritas merundingkan kesepakatan komprehensif. Lantos juga mengharuskan Hill mampir di Pyongyang untuk menunjukkan keinginan damai Amerika. ”Penolakan pemerintah (Amerika) mengizinkan kunjungan diplomat Amerika ke Korea Utara harus diakhiri, karena membuat pincang kebijakan Amerika,” katanya.
Tapi bukan Chris Hill yang mampir ke Pyongyang. Presiden Bush memboyong pesawat Air Force One ke tiga negara Asia Tenggara untuk mengendurkan sejenak tekanan politik yang dialaminya di Washington. Bush akan menghadiri pertemuan tahunan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Hanoi, Vietnam, tapi singgah di Singapura dan Indonesia. Dan itu masih Bush yang dulu. Di Universitas Nasional Singapura, Bush mengobarkan semangat anti-Korea Utara dan Islam militan yang dianggap menjadi ancaman keamanan bagi beberapa negara Asia Tenggara.
Maka bukan sambutan hangat yang ia peroleh, melainkan gelombang aksi demonstrasi menentang kunjungannya ke Istana Bogor, Senin pekan ini.
Raihul Fadjri (Washington Post, AFP, Reuters, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo