Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daoed Joesoef
Dari pemberitaan di media massa kita tahu bahwa pemerintah mengajak investor asing mengelola pulaupulau kecil terluar, juga mengundang mereka untuk membangun pelabuhan di Indonesia. Dengan jaminan pemerintah, mereka pastilah bisa mengoperasikan sepenuhnya pelabuhan itu dengan konsesi jangka waktu yang disepakati. Menurut Menteri Perhubungan, pengelolaan sepenuhnya oleh asing bukan berarti jadi milik asing. Pengelolaan itu bersifat built operation transfer. Dari apa yang diungkapkan itu sudah cukup kiranya bagi kita untuk waspada.
Kini seluruh dunia sudah mengetahui bahwa kita, Indonesia, ingin membangun pelabuhanpelabuhan yang ”modern” dan untuk itu memberikan kesempatan pada pihak asing untuk ”membantu”. Bila keinginan itu terwujud, apa persisnya yang akan kita lakukan dengan pelabuhanpelabuhan itu? Sudahkah pemerintah memikirkan masakmasak implikasi geopolitis dan geostrategis dari pengoperasian sepenuhnya oleh asing atas pelabuhan-pelabuhan yang mereka telah mereka ”bantu” pembangunannya? Jangan dikira mereka (baca: pemerintah mereka) tidak punya kepentingan lain di luar keuntungan finansial dalam eksistensi pelabuhan negeri-negeri lain. Tambang tembaga Timika saja, yang kelihatannya begitu ”innocent”, sudah begitu sarat dengan kepentingan nasional dari bangsa penambang, apalagi pelabuhan.
Nasib pelabuhan terkait langsung dengan signifikansi lautan. Padahal, tidak gampang menggugat kelangsungan signifikansi itu bila berisiko membuatnya menjadi pengertian yang ketinggalan zaman. Saat ini sudah waktunya hak, politik, dan ekonomi pemanfaatan lautan dibicarakan secara terbuka di tingkat mondial. Lautan memang ”berkuasa” karena kekayaan yang ditawarkannya, semula dalam komunikasi antarbangsa, kemudian melalui sumbersumber kehidupan yang dikandungnya. Kini pemanfaatan lautan oleh manusia berubah dengan berkembangnya peralatan teknologis. Maka signifikansi lautan ikut berubah. Ia tidak lagi sama dengan yang berlaku di zaman dahulu, bahkan tidak dengan yang pernah disepakati seratusan tahun yang lalu.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah aspek fisik dari bangsabangsa yang sangat maju. Kompleks industriindustri dasar mereka telah bergeser dari pedalaman—di sana sumbersumber energi semakin tidak mencukupi—ke daerah pesisir tempat mereka dapat menerima langsung bahan yang diperlukan dari kapalkapal tanker. Pelabuhan-pelabuhan di pantai mereka merupakan stasiun akhir dari perjalanan laut yang panjang dari energi. Peralihan ke era nuklir tidak mengubah jalan panjang maritim tersebut.
Namun, demi kelancaran pasokan bahan energi itu, negara-negara industrial maju juga memerlukan pelabuhanpelabuhan yang memadai di negerinegeri lain demi kelancaran pelepasan produk nasional mereka. Maka, demi keamanan angkutan impor dan ekspornya, mereka bersedia ”membantu” membangun, apalagi mengelola pelabuhan-pelabuhan di negerinegeri asing tadi.
Dengan kata lain, pelabuhanpelabuhan di negeri kita tidak hanya menjadi ”pintu” keluarmasuk barangbarang yang kita perlukan, tetapi juga merupakan ”pintu” bagi aliran barangbarang bangsa asing. Maka, bila pelabuhan nasional kita lalu kita percayakan dioperasikan sepenuhnya oleh investor asing, berarti pintu rumah kolektif kita, gerbang nasional, kita percayakan kepada bangsa lain. Tidak hanya otoritasnya, tetapi sekaligus tanggung jawab atas pengoperasiannya. Kita memang punya pintu keluarmasuk yang layak, juga menerima ”masukan uang”, tetapi bagaimana dengan kemandirian, kalaupun bukan kebebasan kita, dalam bergeopolitik dan bergeostrategi?
Sudah saatnya kita dengan serius memikirkan konsep geopolitik dan geostrategi nasional yang selama ini kita abaikan. Bila data geografis ini kita perhitungkan, kita sebenarnya harus sudah sejak dulu membina Indonesia menjadi suatu kekuatan laut, a sea power. Kekuatan laut tidak mengacu hanya pada kekuatan militer yang mengapung, yang menguasai lautan atau bagianbagiannya dengan bersenjata, tetapi meliputi pula pelayaran niaga.
Pembinaan tersebut kita lakukan bukan saja karena permukaan laut Indonesia jauh lebih luas daripada tanah, tetapi lebihlebih karena kita memiliki empat di antara delapan titik yang diakui paling penting secara strategis di kawasan Eurasia, yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar.
Sebagai suatu kekuatan laut, menurut Admiral Mahan, ada beberapa unsurunsur yang menandainya, yaitu posisi geografis suatu bangsa, sifat dan keadaan alam, luasnya wilayah nasional, jumlah penduduk serta karakter nasionalnya, karakter dari pantainya, termasuk pelabuhanpelabuhannya, superioritas angkatan laut dan armada dagangnya, dan karakter dan sikap pemerintah serta elite penguasanya.
Jadi, ”pelabuhan” menjadi unsur penentu yang turut diperhitungkan bagi keberadaan kekuatan laut. Bila faktor angkatan laut dalam urusan sea power ini merupakan suatu sistem atau teori tentang pembentukan dan penggunaan kekuatan militer di lautan, faktor pelabuhan adalah instrumen penting dalam pengurusan tersebut. Maka, demi efektivitas dan kebebasan penggunaannya, pelabuhan harus kita kuasai sepenuhnya, tidak boleh dikelola, apalagi dimiliki, oleh pihak asing. Kita bisa saja minta bantuan luar untuk membuatnya dan sekaligus cara menggunakannya, tetapi pantang untuk dikuasai olehnya.
Kita telah berhasil menggariskan tata lautan nusantara bersendikan ”archipelago principles”, yang memandang seluruh wilayah Indonesia sebagai satu ”kesatuan utuh”. Prinsip ini menggantikan tata lautan Belanda yang dahulu didasarkan atas asas pulau demi pulau, yang masing-masing memiliki laut teritorialnya sendiri. Tata lautan nusantara ini merupakan pagar terhadap potensi aneka ragam gangguan asing terhadap sumber daya alam yang tak ternilai dan bagi sistem pertahanan keamanan kenusantaraan kita.
Tugas kitalah sekarang untuk menetapkan, bagi kepentingan pelayaran sipilekonomi, jalurjalur internal dan eksternal relatif terhadap posisi sentral angkatan laut dan zona khusus pengintaian. Jalurjalur internal memperbesar potensi bermanuver dari posisi sentral ke satu atau beberapa arah, begitu rupa hingga memungkinkan armada bertindak secara taktis terkonsentrasi pada tempat yang diperlukan, sementara kesatuankesatuan lainnya dapat ditugaskan di tempat-tempat yang berbeda. Jalur eksternal adalah yang akan dilalui oleh armada untuk menghadang lawannya dalam usaha strategis-defensif mempertahankan pantai nusantara.
Di sepanjang jalurjalur internal tidak boleh ada satu pun pelabuhan yang dikelola sepenuhnya, apalagi dimiliki, oleh investor asing. Sebab, dalam menetapkan posisi sentral, zona khusus pengintaian dan jalurjalur internal itu yang menjadi taruhan adalah penguasaan di daerah yang bersangkutan. Jadi, alihalih semakin menjauhkan potensi gangguan pihak asing di luar pagar tata lautan nusantara yang sudah ada, pemerintah malah memasukkan potensi itu ke dalamnya bila mengundang investor asing mengoperasikan sepenuhnya instrumen sea power yang kita perlukan.
Demi kemajuan ekonomi nasional, terutama ekonomi kerakyatan, kita memang perlu menyempurnakan pangkalanpangkalan tradisional yang kebetulan sudah berfungsi menjadi pelabuhan di jalurjalur internal yang sudah digariskan. Bila perlu, menambah jumlah pelabuhan baru di telukteluk yang relevan.
Penyempurnaan dan penambahan tempat berlabuh itu sekaligus bisa menghidupkan kembali semangat bahari yang sesuai dengan tuntutan kemajuan zaman dari penduduk kita, terutama mereka yang berada di bagian timur nusantara. Keadaan pelayaran rakyat yang nyaris tak tersentuh oleh proses modernisasi di bidang navigasi dan tingginya frekuensi kecelakaan yang terjadi di situ membuktikan betapa pemerintah selama ini telah mengabaikan tugas pembinaan mutu pelautpelaut tradisional kita. Padahal, mereka inilah yang sampai sekarang tetap menghayati semangat bahari yang dahulu pernah membuat negeri dan bangsa kita berjaya di lautan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo