Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berlindung pada Kolam Kecil

Dua waduk dibangun untuk mencegah banjir Jakarta. Sayang, ada kemungkinan tidak akan manjur.

17 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Orang boleh saja menyebut Jakarta kota yang garang. Tapi lihatlah bila hujan mengguyur kota ini. Sedikit saja datang siraman air dari langit, kegarangan itu langsung lumer, berganti jadi ketidakberdayaan. Tanggal 21 April lalu, misalnya, hanya hujan selama empat jam sudah membuat kelumpuhan di mana-mana. Ribuan orang terjebak di jalanan yang macet gara-gara genangan air, bahkan Gubernur Sutiyoso pun terpaksa naik ojek dari Jalan Gondangdia ke kantornya di Balai Kota.

Banjir memang musuh abadi Jakarta. Sudah banyak jurus dikeluarkan untuk menggebah banjir, dari pengerukan sungai, mewajibkan pemilik rumah membikin sumur resapan, hingga rencana membangun Banjir Kanal Timur, yang baru selesai 10 tahun lagi. Tapi hingga saat ini banjir tetap jadi langganan.

Demi mencegah banjir pula, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah dua pekan lalu mengumumkan rencana membangun dua waduk di Bogor. Dua waduk itu adalah Waduk Ciawi, yang akan mencegah banjir di Sungai Ciliwung, dan Waduk Genteng, yang akan menjadi pengatur air di Sungai Cisadane. Liukan kedua sungai ini memang membelah Jakarta dan saat musim hujan kerap melahirkan kolam raksasa.

Kedua waduk ini ditargetkan selesai tahun 2005. Dananya, patungan antara pemerintah pusat dan DKI Jakarta. Untuk Bendungan Ciawi, lokasi yang akan dipilih di sekitar Desa Gadog, Kecamatan Megamendung, tak jauh dari perempatan tol Ciawi. Lokasi yang bakal terpakai lumayan luas karena waduk bakal memakan lahan sampai 204 hektare dan mampu menampung air 36 juta meter kubik. Dari survei yang sudah tiga kali dilakukan, lahan yang diincar adalah Pasir Purut, Sukabirus, dan Ihong. "Tapi kami tak tahu yang mana yang akan dipakai," kata Tatang, Sekretaris Desa Gadog.

Sedangkan Waduk Genteng, yang lokasinya tak jauh dari Tapos, Bogor, diharapkan bisa menampung air 21 juta meter kubik. Baik Waduk Ciawi maupun Genteng memang tergolong kecil dibanding Bendungan Karangkates di Malang, Jawa Timur (mampu menampung 343 juta meter kubik air), atau Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, Jawa Tengah (730 juta meter kubik).

Tapi, meski kecil, kedua waduk itu bakal sangat vital bagi Jakarta. Menurut Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Mochamad Basuki Hadimoeljono, bila hujan melimpah, air yang mengalir ke Ciliwung-Cisadane bisa ditahan agar tak langsung menerjang Ibu Kota. Selama ini, bila kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) disiram hujan, airnya langsung menggelontor Jakarta lewat Ciliwung dan Cisadane. Karena kedua sungai tua ini tiap tahun makin dangkal dan sempit, terjadilah banjir yang menggenangi kawasan Bidara Cina, Bukit Duri, dan Manggarai Utara. "Waduk ini memang bukan jaminan Jakarta bebas banjir. Tapi, setidaknya akan mengurangi 30-40 persen banjir di Jakarta," ujar Basuki, yakin.

Basuki mengaku heran, bagaimana mungkin Jakarta yang begitu besar jauh tertinggal dalam urusan waduk dibanding kota lain. "Surabaya, misalnya, punya 20 waduk. Solo juga punya waduk yang menahan luapan Bengawan Solo," katanya. Begitu pula Semarang, juga dijaga waduk Kedungombo di Boyolali. "Jakarta, yang dilintasi Ciliwung dan Cisadane, mengapa tak punya waduk?" tanya Basuki.

Sebenarnya, waduk ini ide lama. Dalam rencana induk pengelolaan banjir Jakarta yang dibuat sejak zaman Belanda dan disempurnakan pemerintah pada 1973, pembangunan kedua waduk itu sudah disebut-sebut. Danau buatan itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan rencana pembangunan Banjir Kanal Timur dan perluasan Banjir Kanal Barat—saluran air yang berfungsi melindungi Jakarta dari banjir kiriman dari Bogor. Sayangnya, ide membuat waduk ini terlupakan dan baru diingat kembali ketika Jakarta tenggelam oleh banjir besar pada 2002.

Tapi, benarkah kedua waduk itu bisa mengurangi ancaman banjir di Jakarta? Pakar sumber daya air dari Institut Teknologi Bandung, Dr. Ir. Idratmo Soekarno, M.Sc., menilai waduk ini sebetulnya tak terlalu efektif untuk mengendalikan banjir Jakarta. Alasannya, tanpa penghijauan yang baik di kawasan Bogor, dalam waktu 15-20 tahun kedua waduk itu sudah akan penuh lumpur akibat erosi. Angka itu jauh dari umur ekonomis waduk, yang harus di atas 50 tahun (lihat Ketika Waduk-Waduk Mati Muda).

Mirip Idratmo, mantan Kepala Sub-Direktorat Drainase Departemen Pekerjaan Umum, R. Zainuddin, sepakat waduk itu memang tak terlalu efektif melindungi Jakarta. "Banjir di Jakarta mayoritas karena hujan lokal, bukan kiriman dari Bogor," tuturnya.

Ia menunjuk sejumlah wilayah yang sering terlanda banjir, seperti Kelapa Gading dan Pulomas (Jakarta Timur), Jelambar, Duri Kosambi, Pesanggrahan, Kedoya Selatan (empat wilayah ini di Jakarta Barat). Di semua kawasan itu, tiap hujan selalu muncul genangan air akibat macetnya saluran air dan sungai-sungai kecil. "Cuma daerah sekitar Bidara Cina, Kampung Melayu, Bukit Duri yang menjadi langganan banjir kiriman. Itu pun kesalahan penduduk," kata dia. Daerah-daerah itu sebenarnya di masa lalu merupakan kolam air limpahan Ciliwung, tapi sekarang penuh sesak jadi permukiman. Akibatnya, ya, itu tadi, banjir pun menerjang.

Ihwal buruknya saluran air itu bukannya tak diketahui Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Soenarno. Dua pekan lalu, saat meresmikan pompa penyedot banjir di Jakarta, dia mengakui, "Sistem pembuangan air dan penampungan air di Jakarta selama ini memang tidak berfungsi optimal karena penuh sampah." Karena itu, departemennya terus memperbaiki sarana pengendali banjir. Dua pekan lalu, contohnya, mereka baru saja memperbaiki lima stasiun pompa pengendali di kawasan Waduk Setiabudi Timur, Setiabudi Barat, Melati, Tomang Barat, dan Pluit.

Perbaikan pompa saja jelas tak cukup. Pengerukan sungai juga dilakukan Pemerintah DKI Jakarta. Dengan dana Rp 37 miliar, mereka membersihkan 13 sungai utama Jakarta. Sayang, pengerukan ini menurut Zainudin cuma ala kadarnya. "Yang dikeruk di tiap sungai cuma sepanjang 1-2 kilometer," ujarnya kesal. Mestinya, tutur Zainudin, kalau mau serius membebaskan Jakarta dari banjir, pengerukan 13 sungai harus sekaligus dari hilir hingga hulu, termasuk membersihkan para penghuni bantaran sungai.

Tanpa itu, dan hanya berharap pada waduk, upaya mengatasi banjir ibarat hanya mengandalkan dua kolam kecil yang lebih pantas dijadikan tempat memelihara ikan.

Burhan Sholihin, Danto (Tempo News Room), Bobby Gunawan (Bandung), Deffan Purnama (Bogor)


Ketika Waduk-Waduk Mati Muda

Waduk mana yang bisa melawan musuh abadinya, pendangkalan oleh endapan lumpur? Di Indonesia, nyaris tak ada. Tengok saja Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, Jawa Tengah. Waduk berdaya tampung 730 juta meter kubik itu kini terus menyusut akibat pendangkalan. Lumpur di punggung bukit sekitar waduk yang digerus hujan pelan-pelan membunuh waduk itu.

Berdasarkan penelitian Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, dalam tiga tahun pertama sejak diresmikan (1981-1984), daya tampung waduk itu menyusut 10,96 persen. Itu artinya, kalau pengendapan terjadi dengan laju yang tetap, yakni 3,65 per tahun, umur bendungan cuma mencapai 27,4 tahun. Padahal, menurut perhitungan ekonomis, sebuah bendungan baru layak dibangun kalau usianya bisa mencapai 50 tahun ke atas.

Bukan cuma Gajah Mungkur yang terancam mati muda. Karangkates, bendungan besar tertua di Jawa Timur, pun bernasib sama. Awalnya, endapan lumpur di bendungan yang mengatur aliran air Sungai Brantas itu diperkirakan hanya 500 ribu meter kubik per tahun. Tapi, saat dicek pada 1975, 10 tahun setelah bendungan beroperasi, angka sedimentasinya ternyata melonjak 12 kali lipat menjadi 5,5-6 juta meter kubik per tahun.

Kini, kata Soekistijono, Direktur Teknik Perusahaan Umum Jasa Tirta I, daya tampung Karangkates tinggal 50 persen. Saat diresmikan, pada 1961 bendungan itu mampu menampung 343 juta meter kubik air. Pada 1999, kapasitas airnya tinggal 176 juta meter kubik dan merosot menjadi 144 juta meter kubik pada 2000. "Masa efektif bendungan itu diperkirakan tinggal 30 tahun lagi," kata Soekistijono kepada Tempo News Room beberapa waktu lalu. Padahal waduk yang kini berumur 39 tahun itu dulu diperkirakan bisa tahan sampai 100 tahun.

Menghadapi ancaman penuaan dini ini, pengelola bendungan yang bernama Bendungan Sutami itu sudah melakukan berbagai upaya, seperti penghijauan dan pembangunan bendungan penahan lumpur—biasa disebut cekdam—di hulu sungai waduk. Tapi, toh tetap saja tak mempan. Dalam sekali musim hujan saja, semua cekdam sudah penuh endapan lumpur.

Di Jawa Timur, ada empat waduk lagi yang kini sekarat karena pendangkalan. Mereka adalah Bendungan Sengguruh dan Lahor di Kabupaten Malang, Bendungan Wlingi dan Lodoyo di Kabupaten Blitar. Sengguruh dan Lahor, misalnya, daya tampungnya sudah anjlok 80 persen dan 35 persen. Bendungan Wlingi dan Lodoyo lebih sengsara lagi, masing-masing mengalami sedimentasi hingga 80 persen dan 50 persen. "Keterbatasan daya tampung itu bisa mendatangkan musibah banjir hebat di hilir Sungai Brantas seperti Mojokerto, Sidoarjo, dan Surabaya," tutur Soekistijono. Keadaan itu nyaris terjadi pada 2002 lalu, semua bendungan sepanjang Brantas dinyatakan "siaga merah" karena air sudah melebihi daya tampung.

Fenomena waduk mati muda itulah yang dicemaskan bakal terjadi pada Bendungan Ciawi. Meski waduk itu belum dibangun, semua syarat-syarat kematian waduk itu kini sudah komplet: penggundulan hutan yang masif, pembangunan vila seenak udel, dan curah hujan yang tinggi. Jadi, tinggal tunggu waktu.

BS, Abdi Purmono (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus