Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Suez Paman Saddam

Cita-cita presiden Irak, Saddam Husein dalam memimpin bangsa Arab, dan penyerbuan Irak ke Iran. dimata rakyatnya, ia seorang pemimpin yang kharismatik. bagi musuhnya ia berbahaya & kejam.

11 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELEVISI, poster dan suratkabar menunjukkan Saddan Hussein seperti paman yang baik hati. Ia diperlihatkan mampir di desa, membantu petani waktu panen dan mencium anak kecil. Tapi Presiden Irak itu tidak selalu lembut. Bahkan ia tak segan-segan memerintahkan angkatan bersenjatanya menyerbu ke Iran. Kenapa? "Saddam memerlukan suatu Suez untuk dirinya," cerita seorang Irak yang mengenang sukses Nasser melakukan nasionalisasi atas Terusan Suez. Citra pemimpin Mesir itu menonjol di dunia Arab setelah peristiwa tahun 1956 itu. Melihat tampangnya -- dengan kumis tebal dan rambut yang terpelihara -- Hussein jelas berwibawa. Di mata banyak rakyatnya ia seorang pemimpin kharismatis. Bagi musuhnya, ia berbahaya sekali dan sering kejam, tapi pragmatis. Hampir tiada tandingannya di kawasan itu. Dan ia memang kelihatan berhasrat menaikkan prestise Arab, terutama bagi Irak yang dipimpinnya, seolah meniru gaya Nasser. "Suez" itu antara lain dijumpainya dalam Shatt-al-Arab, jalur perairan sepanjang 70 mil yang memisahkan Irak-lran menuju Teluk Persia. Kedua negeri itu mengekspor minyak lewat jalur tersebut, tempat Sungai Tigris dan Euphrates bertemu. Bagi Irak, itu satu-satunya gerbang ke laut. Soal Shatt-al-Arab pernah membuat Irak-lran hampir berperang tapi didamaikan oleh Aljazair. Di Aljir 1975, Irak akhirnya mengulur dan mengakui hak Iran menggunakan jalur perairan itu. Sebagai imbalah Irak membuat jaminan bahwa Iran akan menghentikan bantuan subversinya pada gerakan suku Kurdi di bagian Utara Irak. Syah Mohammad Reza Pahlavi mematuhi perjanjian 1975 itu ketika Hussein masih Wakil Presiden. Tapi setelah Syah terlempar, Ayatullah Khomeini dianggap punya indikasi mau mengekspor Revolusi Iran ke tetangganya. Bukan halya Irak, tapi juga negara Teluk Persia lainnya merasa terancam. Maka Hussein mengira bahwa saatnya sudah tiba untuk menyerang Iran terlebih dulu. dengan tujuan menumbangkan kekuasaan sang ayatullah. Secara mendadak diumumkannya keharusan semua kapal yang melintasi Shatt-al-Arab supaya memakai pandu Irak dan membayar cukai pada Irak. Dan perjanjian 1975 dibatalkannya secara sepihak, sambil mengirim barisan tanknya menyerbu Iran (22 Septemher) dan angkatan udaranya mengebom sejumlah kota, termasuk lapangan udara Teheran. Dalam perang yang tak diumumkan ini, tentu saja, Irak menuduh Iran mmulainya. Antara lain satuan bersenjata Iran dituduh menembaki para petugas Irak yang mematok tanda perbatasan di Shatt-al-Arab. Tapi insiden perbatasan itu sudah sering dan dianggap biasa tahun ini. Bahkan helikopter yang membawa Presiden Bani-Sadr ke wilayah perbatasan dikabarkan pernah di tembaki. Saddam Hussein, 43 tahun, jelas mempertaruhkan nama dalam melakukan invasinya. Idamannya malah juga akan merebut kemhali 3 pulau -- Abu Nusa, Tumb Besar dan Tumb Kecil di dekat Selat Hormuz. Syah Iran menduduki ketiga pulau itu tahun l970. Konon Hussein ingin merebut dan menyerahkan ketiganya pada salah satu negara Arab sekitar Teluk ini yang belum tentu jadi pemisah Hussein itu ternyata merebut simpati negara-negara Teluk, yang memang jengkel terhadap "nasionalisme Persia." Tapi selain memenuhi panggilan menjunjung "martabat Arab", Partai Baath yang berkuasa di Irak juga mencurigai sebagian kaum Syiah. Lebih 50% dari 13 juta penduduk Irak adalah penganut Syiah, sedang kaum penguasa umumnya golongan Sunni. Sebelum perang ini terjadi, sekitar 40.000 penganut Syiah dari Irak dikabarkan terpaksa mengungsi ke Iran, negara yang mayoritasnya Syiah. Adalah an-Najaf, tempat Khomeini pernah bermukim selama 14 tahun sebelum sang ayatullah pindah ke Perancis, pusat Syiah di Irak. Rezim Baath Irak telah mengusir Khomeini. Atas desakan Syah Iran ketika Baghdad-Teheran menjalin hubungan bertetangga baik. Khomeini mungkin sudah memaafkan, tapi tentu belum melupakannya. Dengan Khomeini berkuasa di Iran, Hussein jelas punya alasan untuk khawatir. Namun Hussein tampaknya tidak mengira bahwa Iran masih begitu kuat. Disangka angkatan bersenjata Iran sudah lumpuh sebagai akibat banyak jenderal yang dihukum mati. Ternyata angkatan udara Iran masih lumayan dan armada lautnya masih ampuh bahkan menimbulkan banyak kerugian di pihak Irak. Langkah Hussein ini terpokok mahal. Irak bisa kehilangan penghasilan minyak selama setahun atau lebih. Dan mungkin gagal usahanya menjadikan diri sebagai kekuatan militer yang unggul di wilayah Teluk Persia. Dan Saddam Hussein, anak petani dari Takrit, kota kecil di tepi sungai antara Mosul dan Baghdad, mungkin menemui kesulitan di dalam negeri sendiri, seperti menghadapi kaum oposisi yang selama ini dikekangnya. Nasionalisme Iran yang bisa jadi kuat bila Hussein gagal, diduga akan meningkatkan agitasinya dengan bendera agama Islam, supaya terjadi pemberontakan terhadap pemerintahan sebuah partai nasionalisme Arab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus