TELEVISI, poster dan suratkabar menunjukkan Saddan Hussein
seperti paman yang baik hati. Ia diperlihatkan mampir di desa,
membantu petani waktu panen dan mencium anak kecil.
Tapi Presiden Irak itu tidak selalu lembut. Bahkan ia tak
segan-segan memerintahkan angkatan bersenjatanya menyerbu ke
Iran. Kenapa? "Saddam memerlukan suatu Suez untuk dirinya,"
cerita seorang Irak yang mengenang sukses Nasser melakukan
nasionalisasi atas Terusan Suez. Citra pemimpin Mesir itu
menonjol di dunia Arab setelah peristiwa tahun 1956 itu. Melihat
tampangnya -- dengan kumis tebal dan rambut yang terpelihara --
Hussein jelas berwibawa. Di mata banyak rakyatnya ia seorang
pemimpin kharismatis. Bagi musuhnya, ia berbahaya sekali dan
sering kejam, tapi pragmatis. Hampir tiada tandingannya di
kawasan itu. Dan ia memang kelihatan berhasrat menaikkan
prestise Arab, terutama bagi Irak yang dipimpinnya, seolah
meniru gaya Nasser.
"Suez" itu antara lain dijumpainya dalam Shatt-al-Arab, jalur
perairan sepanjang 70 mil yang memisahkan Irak-lran menuju Teluk
Persia. Kedua negeri itu mengekspor minyak lewat jalur tersebut,
tempat Sungai Tigris dan Euphrates bertemu. Bagi Irak, itu
satu-satunya gerbang ke laut.
Soal Shatt-al-Arab pernah membuat Irak-lran hampir berperang
tapi didamaikan oleh Aljazair. Di Aljir 1975, Irak akhirnya
mengulur dan mengakui hak Iran menggunakan jalur perairan itu.
Sebagai imbalah Irak membuat jaminan bahwa Iran akan
menghentikan bantuan subversinya pada gerakan suku Kurdi di
bagian Utara Irak.
Syah Mohammad Reza Pahlavi mematuhi perjanjian 1975 itu ketika
Hussein masih Wakil Presiden. Tapi setelah Syah terlempar,
Ayatullah Khomeini dianggap punya indikasi mau mengekspor
Revolusi Iran ke tetangganya. Bukan halya Irak, tapi juga
negara Teluk Persia lainnya merasa terancam. Maka Hussein
mengira bahwa saatnya sudah tiba untuk menyerang Iran terlebih
dulu. dengan tujuan menumbangkan kekuasaan sang ayatullah.
Secara mendadak diumumkannya keharusan semua kapal yang
melintasi Shatt-al-Arab supaya memakai pandu Irak dan membayar
cukai pada Irak. Dan perjanjian 1975 dibatalkannya secara
sepihak, sambil mengirim barisan tanknya menyerbu Iran (22
Septemher) dan angkatan udaranya mengebom sejumlah kota,
termasuk lapangan udara Teheran.
Dalam perang yang tak diumumkan ini, tentu saja, Irak menuduh
Iran mmulainya. Antara lain satuan bersenjata Iran dituduh
menembaki para petugas Irak yang mematok tanda perbatasan di
Shatt-al-Arab. Tapi insiden perbatasan itu sudah sering dan
dianggap biasa tahun ini. Bahkan helikopter yang membawa
Presiden Bani-Sadr ke wilayah perbatasan dikabarkan pernah di
tembaki.
Saddam Hussein, 43 tahun, jelas mempertaruhkan nama dalam
melakukan invasinya. Idamannya malah juga akan merebut kemhali
3 pulau -- Abu Nusa, Tumb Besar dan Tumb Kecil di dekat Selat
Hormuz.
Syah Iran menduduki ketiga pulau itu tahun l970. Konon Hussein
ingin merebut dan menyerahkan ketiganya pada salah satu negara
Arab sekitar Teluk ini yang belum tentu jadi pemisah Hussein
itu ternyata merebut simpati negara-negara Teluk, yang memang
jengkel terhadap "nasionalisme Persia."
Tapi selain memenuhi panggilan menjunjung "martabat Arab",
Partai Baath yang berkuasa di Irak juga mencurigai sebagian kaum
Syiah. Lebih 50% dari 13 juta penduduk Irak adalah penganut
Syiah, sedang kaum penguasa umumnya golongan Sunni. Sebelum
perang ini terjadi, sekitar 40.000 penganut Syiah dari Irak
dikabarkan terpaksa mengungsi ke Iran, negara yang mayoritasnya
Syiah.
Adalah an-Najaf, tempat Khomeini pernah bermukim selama 14 tahun
sebelum sang ayatullah pindah ke Perancis, pusat Syiah di Irak.
Rezim Baath Irak telah mengusir Khomeini. Atas desakan Syah
Iran ketika Baghdad-Teheran menjalin hubungan bertetangga baik.
Khomeini mungkin sudah memaafkan, tapi tentu belum melupakannya.
Dengan Khomeini berkuasa di Iran, Hussein jelas punya alasan
untuk khawatir.
Namun Hussein tampaknya tidak mengira bahwa Iran masih begitu
kuat. Disangka angkatan bersenjata Iran sudah lumpuh sebagai
akibat banyak jenderal yang dihukum mati. Ternyata angkatan
udara Iran masih lumayan dan armada lautnya masih ampuh bahkan
menimbulkan banyak kerugian di pihak Irak.
Langkah Hussein ini terpokok mahal. Irak bisa kehilangan
penghasilan minyak selama setahun atau lebih. Dan mungkin gagal
usahanya menjadikan diri sebagai kekuatan militer yang unggul di
wilayah Teluk Persia. Dan Saddam Hussein, anak petani dari
Takrit, kota kecil di tepi sungai antara Mosul dan Baghdad,
mungkin menemui kesulitan di dalam negeri sendiri, seperti
menghadapi kaum oposisi yang selama ini dikekangnya.
Nasionalisme Iran yang bisa jadi kuat bila Hussein gagal, diduga
akan meningkatkan agitasinya dengan bendera agama Islam, supaya
terjadi pemberontakan terhadap pemerintahan sebuah partai
nasionalisme Arab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini