YANG terjadi agak luar biasa: suatup perayaan orang ramai buat
sebuah peristiwa yang biasanya dirayakan secara rutin terbatas.
5 Oktober pekan lalu hari Angkatan Bersenjata seolah hari raya
tiap orang di Jakarta. Ratusan ribu sejak jam 5 pagi mendatangi
jalan megah Jagorawi yang menghubungkan Jakarta-Bogor,
menyaksikan peringatan hari ulang tahun ABRI ke-35 yang untuk
pertama kalinya diselenggarakan di tempat itu. Apalagi transpor
disediakan gratis.
Di tengah terik di sekitar alam yang terbuka itu mereka
nampaknya tak kecewa melihat tontonan yang disajikan demonstrasi
peralatan baru dan kemampuan ABRI.
Antara lain dipamerkan kemampuan pesawat terbang A-4 Skyhawk dan
F-5E Tiger yang dibeli dari Amerika Serikat, penerjunan
sekaligus 1 batalion tempur dari pesawat Hercules C-130H serta
peragaan berbagai panser dan tank haru ABRI. Sekitar 16.000
anggota ABRI dan 110 pesawat terbang ikut serta dalam defile
ini.
Seperti diakui Presiden Soeharto, dalam pidatonya pagi itu
parade 5 Oktober itu adalah yang "terbesar sejak Indonesia
merdeka." Tapi bukan suatu pameran kekuatan, melainkan suatu
"pertanggungjawaban ABRI kepada rakyat."
Pertanggungjawaban ini perlu. Kini, setelah ekonomi makin
kuat, pembangunan ABRI mendapat perhatian yang lebih besar.
Mulai Pelita III, 14 tahun setelah pemerintahan Orde Baru, ABRI
memperoleh anggaran pembangunan setelah selama ini hanya
mendapat anggaran rutin. Artinya boleh menambah, tak cuma
memelihara yang ada. Jumlah angaran itu terus meningkat.
Anggaran pembangunan tahun ini misalnya Rp 250 milyar atau 2«
kali tahun lalu.
Parade 5 Oktober lalu tampaknya memang dimanfaatkan oleh
pimpinan ABRI sekarang untuk memperlihatkan apa yang telah
dilakukan selama dua setungah tahun terakhir ini. Khususnya
program pemantapan 100 batalion dan embelian peralatan dan
perlengkapan baru.
Penyusunan "satuan penangkal" 100 batalion itu, juga pengadaan
sistem senjata, memang dianggap mendesak oleh pimpinan Hankam.
Peristiwa Timor Timur telah menunjukkan betapa mundurnya
kemampuan teknis AIRI, hingga beberapa bidang dianggap perlu
mendapat prioritas utama.
Yang pertama digarap adalah kesejahteraan anggota, berupa rohani
maupun jasmani. Prioritas ini diwujudkan dalam anggaran: 80%
dari anggaran ABRI 1980/1981 dipakai untuk pengeluaran personal.
Uang makan dan lauk-pauk prajurit ditambah dan asrama diperbaiki
atau dibangun.
Prioritas kedua baru untuk persenjataan, kendaraan dan alat
komunikasi. Semua peralatan disesuaikan dengan kondisi geografis
Indonesia. Misalnya, Hercules C-130 yang dibeli Indonesia punya
kemampuan terbang 16 jam, hingga dapat mencapai daerah Indonesia
yang paling ujung.
Daftar peralatan yang dibeli cukup panjang. Mulai dari senapan
M-16 yang dijadikan senjata ringan standar, 1 skuadron pesawat
buru sergap F-5E, dua setengah skuadron (40 buah) pesawat
pengangkut Hercules C-130 sampai 14 kapal baru untuk TNI-AL.
"Dengan adanya peralatan baru ini, kita sekarang telah memiliki
kekuatan penangkal yang cukup berarti," seorang pejabat Hankam
menegaskan. Strategi pertahanan penangkalan yang dianut sekarang
memang memerlukan apa yang dalam jargon Hankam sekarang disebut
suatu "bala reaksi cepat" (quick reaction force). Artinya
kekuatan yang segera bisa dikirim dalam 24 jam ke daerah yang
diserbu musuh.
Guna mendukun peralatan baru ini, disediakan fasilitas
pendidikan dan latihan. Kemudian pelayanan kesehatan. Dan yang
terakhir cadangan bekal (warstock). "Baru mulai tahun ini kami
bisa membangun cadangan bekal ini, berupa munisi, peralatan dan
suku cadang yang penting. Dulu anggaran terbatas, dan
seolah-olah kita selalu membeli peralatan secara eceran," kata
Kasmin Hankam Letjen Yogi Supardi pada TEMPO.
Jenderal Soemitro
Cara pembelian yang lama juga merugikan usaha membakukan
peralatan. Namun yang diarah tampaknya lebih jauh dari itu. 1
Juli yang lalu, Presiden mengeluarkan Keppres no. 40/1980
tentang Tim Pengembangan Industri Hankam. Tim ini diketuai oleh
Menteri Ristek/Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
dengan Menhankam dan Menteri Perindustrian sebagai anggota.
Untuk membantunya ada tim teknis yang beranggotakan antara lain
Jenderal Soemitro, Letjen Hasnan Habib dan Letjen Sajidiman. Tim
Industri Hankam ini bertugas membantu Presiden, antara lain
untuk merumuskan kebijaksanaan dalam mengembangkan industri
peralatan Hankam dengann memanfaatkan industri nasional yang
telah ada.
"Arahnya, kita mau membuat peralatan dan senjata sendiri," kata
Ketua Tim, Menteri Ristek B.J. Habibie. Sebelum Indonesia mampu
ke arah itu, tim akan menyusun suatu kebijaksanaan dalam
pembelian sistem persenjataan. Misalnya senjata standar apa yang
akan dipakai, dari negara mana harus dibeli dan sejauh mana
kebutuhan ABRI.
Usaha ke arah itu sebenarnya sudah dimulai secara tidak resmi
sejak beberapa tahun lalu: Habibie adalah orang yang selalu
diminta pertimbangan tiap kali ABRI mau membeli peralatan baru.
Beberapa industri yang berkaitan dengan hankam, misalnya Pindad
(Perindustrian Angkatan Darat) dan PAL (Perum Dok dan Galangan
Kapal) Surabaya sejak tahun lalu ditaruh di bawah wewenang
Habibie -- yang juga membawahkan PT Nurtanio.
Langkah untuk membuat dan mendisain sendiri senjata buatan
Indonesia juga sudah dimulai dengan pengembangan senapan ringan
SS (senjata serbu)-77. Diharapkan senapan made in Indonesia ini
sudah akan bisa diproduksi mulai 1984 dan akan dipakai
menggantikan senapan M-16.
Dengan kata lain, apa yang dipamerkan dalam perayaan 5 Oktober
1980 tampaknya baru satu langkah awal. Berbagai peralatan itu
kebanyakan masih merupakan perlengkapan dasar yang perlu
disempurnakan terus menerus.
Apakah perkembangan ini akan menyebabkan personil ABRI kelak
kurang terlibat langsung dalam pelbagai urusan di luar bidang
utamanya, yakni hankam? Pertanyaan ini tampaknya selalu muncul
-- meski orang tahu dwifungsi sebagai ide tak akan hilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini