Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pertanggungjawaban 5Ooktober

Perayaan hari Angkatan Bersenjata ke-35, dirayakan dengan meriah. Indonesia akan mengembangkan industri hankam sendiri dibawah pimpinan B.J. Habibie.

11 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG terjadi agak luar biasa: suatup perayaan orang ramai buat sebuah peristiwa yang biasanya dirayakan secara rutin terbatas. 5 Oktober pekan lalu hari Angkatan Bersenjata seolah hari raya tiap orang di Jakarta. Ratusan ribu sejak jam 5 pagi mendatangi jalan megah Jagorawi yang menghubungkan Jakarta-Bogor, menyaksikan peringatan hari ulang tahun ABRI ke-35 yang untuk pertama kalinya diselenggarakan di tempat itu. Apalagi transpor disediakan gratis. Di tengah terik di sekitar alam yang terbuka itu mereka nampaknya tak kecewa melihat tontonan yang disajikan demonstrasi peralatan baru dan kemampuan ABRI. Antara lain dipamerkan kemampuan pesawat terbang A-4 Skyhawk dan F-5E Tiger yang dibeli dari Amerika Serikat, penerjunan sekaligus 1 batalion tempur dari pesawat Hercules C-130H serta peragaan berbagai panser dan tank haru ABRI. Sekitar 16.000 anggota ABRI dan 110 pesawat terbang ikut serta dalam defile ini. Seperti diakui Presiden Soeharto, dalam pidatonya pagi itu parade 5 Oktober itu adalah yang "terbesar sejak Indonesia merdeka." Tapi bukan suatu pameran kekuatan, melainkan suatu "pertanggungjawaban ABRI kepada rakyat." Pertanggungjawaban ini perlu. Kini, setelah ekonomi makin kuat, pembangunan ABRI mendapat perhatian yang lebih besar. Mulai Pelita III, 14 tahun setelah pemerintahan Orde Baru, ABRI memperoleh anggaran pembangunan setelah selama ini hanya mendapat anggaran rutin. Artinya boleh menambah, tak cuma memelihara yang ada. Jumlah angaran itu terus meningkat. Anggaran pembangunan tahun ini misalnya Rp 250 milyar atau 2« kali tahun lalu. Parade 5 Oktober lalu tampaknya memang dimanfaatkan oleh pimpinan ABRI sekarang untuk memperlihatkan apa yang telah dilakukan selama dua setungah tahun terakhir ini. Khususnya program pemantapan 100 batalion dan embelian peralatan dan perlengkapan baru. Penyusunan "satuan penangkal" 100 batalion itu, juga pengadaan sistem senjata, memang dianggap mendesak oleh pimpinan Hankam. Peristiwa Timor Timur telah menunjukkan betapa mundurnya kemampuan teknis AIRI, hingga beberapa bidang dianggap perlu mendapat prioritas utama. Yang pertama digarap adalah kesejahteraan anggota, berupa rohani maupun jasmani. Prioritas ini diwujudkan dalam anggaran: 80% dari anggaran ABRI 1980/1981 dipakai untuk pengeluaran personal. Uang makan dan lauk-pauk prajurit ditambah dan asrama diperbaiki atau dibangun. Prioritas kedua baru untuk persenjataan, kendaraan dan alat komunikasi. Semua peralatan disesuaikan dengan kondisi geografis Indonesia. Misalnya, Hercules C-130 yang dibeli Indonesia punya kemampuan terbang 16 jam, hingga dapat mencapai daerah Indonesia yang paling ujung. Daftar peralatan yang dibeli cukup panjang. Mulai dari senapan M-16 yang dijadikan senjata ringan standar, 1 skuadron pesawat buru sergap F-5E, dua setengah skuadron (40 buah) pesawat pengangkut Hercules C-130 sampai 14 kapal baru untuk TNI-AL. "Dengan adanya peralatan baru ini, kita sekarang telah memiliki kekuatan penangkal yang cukup berarti," seorang pejabat Hankam menegaskan. Strategi pertahanan penangkalan yang dianut sekarang memang memerlukan apa yang dalam jargon Hankam sekarang disebut suatu "bala reaksi cepat" (quick reaction force). Artinya kekuatan yang segera bisa dikirim dalam 24 jam ke daerah yang diserbu musuh. Guna mendukun peralatan baru ini, disediakan fasilitas pendidikan dan latihan. Kemudian pelayanan kesehatan. Dan yang terakhir cadangan bekal (warstock). "Baru mulai tahun ini kami bisa membangun cadangan bekal ini, berupa munisi, peralatan dan suku cadang yang penting. Dulu anggaran terbatas, dan seolah-olah kita selalu membeli peralatan secara eceran," kata Kasmin Hankam Letjen Yogi Supardi pada TEMPO. Jenderal Soemitro Cara pembelian yang lama juga merugikan usaha membakukan peralatan. Namun yang diarah tampaknya lebih jauh dari itu. 1 Juli yang lalu, Presiden mengeluarkan Keppres no. 40/1980 tentang Tim Pengembangan Industri Hankam. Tim ini diketuai oleh Menteri Ristek/Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dengan Menhankam dan Menteri Perindustrian sebagai anggota. Untuk membantunya ada tim teknis yang beranggotakan antara lain Jenderal Soemitro, Letjen Hasnan Habib dan Letjen Sajidiman. Tim Industri Hankam ini bertugas membantu Presiden, antara lain untuk merumuskan kebijaksanaan dalam mengembangkan industri peralatan Hankam dengann memanfaatkan industri nasional yang telah ada. "Arahnya, kita mau membuat peralatan dan senjata sendiri," kata Ketua Tim, Menteri Ristek B.J. Habibie. Sebelum Indonesia mampu ke arah itu, tim akan menyusun suatu kebijaksanaan dalam pembelian sistem persenjataan. Misalnya senjata standar apa yang akan dipakai, dari negara mana harus dibeli dan sejauh mana kebutuhan ABRI. Usaha ke arah itu sebenarnya sudah dimulai secara tidak resmi sejak beberapa tahun lalu: Habibie adalah orang yang selalu diminta pertimbangan tiap kali ABRI mau membeli peralatan baru. Beberapa industri yang berkaitan dengan hankam, misalnya Pindad (Perindustrian Angkatan Darat) dan PAL (Perum Dok dan Galangan Kapal) Surabaya sejak tahun lalu ditaruh di bawah wewenang Habibie -- yang juga membawahkan PT Nurtanio. Langkah untuk membuat dan mendisain sendiri senjata buatan Indonesia juga sudah dimulai dengan pengembangan senapan ringan SS (senjata serbu)-77. Diharapkan senapan made in Indonesia ini sudah akan bisa diproduksi mulai 1984 dan akan dipakai menggantikan senapan M-16. Dengan kata lain, apa yang dipamerkan dalam perayaan 5 Oktober 1980 tampaknya baru satu langkah awal. Berbagai peralatan itu kebanyakan masih merupakan perlengkapan dasar yang perlu disempurnakan terus menerus. Apakah perkembangan ini akan menyebabkan personil ABRI kelak kurang terlibat langsung dalam pelbagai urusan di luar bidang utamanya, yakni hankam? Pertanyaan ini tampaknya selalu muncul -- meski orang tahu dwifungsi sebagai ide tak akan hilang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus