BERBAGAI laskar yang lahir di zaman revolusi itu banyak
mempengaruhi dan mewarnai pertumbuhan ABRI. Berikut ini adalah
cuplikan dari makalah Prof Dr. Sartono Kartodirdjo dari
Universitas Gajah Mada: The Role of Struggle Organizations as
Mass Movements in the Indonesian Revolution. Karya ini
dibacakannya dalam Konperensi ke-8 IAHA (International
Association Historian of Asia) di Kuala Lumpur akkir Agustus
yang lalu. Dan oleh TEMPO disajikan berkaitan dengan HUT
ABRI 5 Oktober 1980.
Pada September 1945, para pemimpin RI meresmikan pembentukan
Lasjkar Rakjat Alasannya, perjuangan nasional lewat diplomasi
tidak akan berhasil tanpa perjuangan rakyat di desa dan kota. LR
diharapkan akan bisa menyatukan semua organisasi para militer
dan mendukung Tentara Keamanan Rakyat.
Pada akhir November 1945, para pemimpin pusat di Jakarta
menyatakan bahwa pembentukan organisasi itu resmi disahkan.
Sembilan organisasi bekerja sama erat dalam kegiatan militer:
(1) Angkatan Pemoeda Indonesia (2) Angkatan Pemoeda Indonesia
Ambon (3) PKI (4) Gaboengan Gerakan Pegawai Angkatan Moeda
(5) Partai Rakjat Djelata (6) Pelopor (7) Ikatan Peladjar
Indonesia (8) TKR (9) KRIS.
Hisbullah
Sekalipun persenjataannya kurang mobilisasi massa yang sampai di
kampung-kampung telah membuat LR suatu kekuatan yang hebat. Pada
mulanya, LR dibentuk untuk menyatukan berbagai kesatuan
perjuangan, tapi setelah beberapa bulan jelas terlihat
keengganan untuk itu. Lebih lagi, cabang-cabang LR mempunyai
susunan organisasi yang berbeda hingga menyulitkan penyeragaman
dan koordinasi.
Guna memperkuat organisasi, suatu kongres nasional
diselenggarakan pada akhir Februari 1946. Dalam kongres itu
dinyatakan bahwa LR adalah federasi dari berbagai kesatuan
perjuangan dan merupakan bagian khusus dari Persatuan
Perdjuangan, yang menjadi payung dari emua badan perjuangan.
Hisbullah dibentuk atas anjuran Masjoemi pada 21 Juli 1945.
Selain untuk dipertahanan Pulau Jawa, organisasi ini juga
ditujukan untuk membela dan menyebarkan Islam. Pedoman llmu yang
ditentukan oleh Masjoemi, sedang pimpinannya dipegang oleh ulama
dan kiai. Sebagian besar anggotanya berasal dari pesantren dan
madrasah.
Dalam kongres Masjoemi. pada 7 dan 8 November 1945, diputuskan
untuk membentuk suatu badan perjuangan lain, Sabilillah.
Pimpinannya terdiri dari K.H Masjkoer, Wondoamiseno, H. Hasjim
dan Soelio Adikoesoemo. Pria di bawah usia 35 tahun menjadi
anggota Hisbullah, sedang yang berumur di atasnya masuk
Sabilillah. Organisasi untuk pemuda adalah GPII (Gerakan Pemuda
Islam Indonesia).
Dalam 3 bulan pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan, BPRI
(Barisan Pemberontak Republik Indonesia) menjulang tinggi dan
menyebar luas ke seluruh Jawa. Pusatnya di Surabaya sedang
kegiatannya terutama bertumpu pada pemimpinnya, Bung Tomo -- 24
tahun - yang sangat populer berkat pidato-pidato radionya yang
bersemangat dan membakar. Bung Tomo dan pengikutnya bangga
dengan julukan mereka "kaum ekstremis".
Ideologi mereka yang ekstrim-revolusioner diterima oleh
masyarakat luas termasuk pengikut Masjoemi. Pada kenyaaannya,
berkat agitasi massanya yang terus menerus, BPRI berhasil
memainkan peranan sebagai pemersatu. Perkembangannya yang cepat
menimbulkan juga kekacauan organisasi seiring dengan kecondongan
anarki mereka. Beberapa cabang di Jawa Barat pernah dituduh
menjadi tempat penampungan perampok dan penjahat.
Radikal Revolusioner
Barisan Banteng Republik Indonesia, juga disingkat Barisan
Banteng, semula dibentuk atas anjuran penguasa Jepang. Pada
Desember 1942, Soekarni diminta oleh Shimizu dari Sendenbu (Biro
Propaganda) untuk membentuk suatu organisasi yang tujuannya
membangkitkan semangat rakyat dan melakukan latihan militer.
Organisasi ini, Barisan Pelopor, berkembang menjadi barisan
penggempur yang memperoleh latihan militer yang intensif.
Segera setelah Proklamasi, Barisan Pelopor bersama Seinandan dan
Kebodan dimobilisasikan untuk menjaga keamanan dan ketertiban
serta melakukan tugas kepolisian Pada Desember 1945 namanya
diubah menjadi Barisan Banteng RI. Pimpinannya ditunjuk
Presiden Soekarno, antara lain Soepeno, Singgih. Moeffreni
Moe'min, Asmara Hadi, Sajoeti Melik dan Moewardi sebagai
komandannya.
Kelompok sosialis tidak membentuk badan perjuangan. Yang
dimiliki adalah suatu organisasi pemuda, Pemoeda Sosialis
Indonesia atau Pesindo yang kemudian berkembang menjadi badan
perjuangan. Organisasi ini dibentuk dalarm longres Nasional
Pemuda pada 10 dan 11 November 1945 di Yogyakarta.
Revolusi Dalam Revolusi
Sejak akhir 1946 Pesindo berpaling ke kiri dan bergabung pada
Sayap Kiri, yang terdiri dari PKI, PBI (Partai Buruh) dan
Lasjkar Rakjat yang dibentuk pada 11 Desember 1945 oleh Cordian,
seorang anggota Barisan Banteng dan sekaligus juga anggota PKI.
Sekitar akhir masa pendudukan Jepang, kelompok Manado di bawah
pimpinan Maramis membentuk suatu organisasi pemuda bernama
Angkatan Moeda Soelawesi yang kemudian bergabung dengan Barisan
Pelopor. AMS memainkan peranan penting dalam kesatuan tempur ini
karena ketrampilan militer sebagian anggotanya. Setelah
Proklamasi, AMS dilebur dalam BKR, karenanya kemudian dibentuk
suatu organisasi baru: KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia
Soelawesi).
Patut dicatat, KRIS bekerjasama erat dengan badan-badan
pro-Republik lain seperti Pemoeda Indonesia Maloekoe, Ikatan
Perdjoeangan Kalimantan dan Gerakan Rakjat Indonesia Soenda
Ketjil.
Di samping Pesindo sebagai anggota Dewan Pimpinan Perserikatan
Pemoeda RI, ada 131 badan perjuangan dan parpol kiri yang hadir
dalam konperensi di Solo pada 15-16 Januari 1946. Program yang
minimum yang diusulkan Tan Malaka diterima bulat. Begitu juga
usulnya untuk mengubah nama Front Persatuan menjadi Front
Rakyat. Program itu antara lain meliputi (1) kemerdekaan 100%
(2) pembentukan pemerintahan rakyat (3) pembentukan tentara
rakyat, (4) nasionalisasi modal Belanda.
Program itu merupakan tantangan pada pemerintah, malah
pelaksanaannya akan berarti "revolusi dalam revolusi". Ini
merupakan konfrontasi langsung antara Tan Malaka dan Soekarno.
Tatkala dihadapkan pada pilihan antara keduanya, sebagian besar
peserta dipimpin oleh Bung Tomo dari BPRI dan Ibnu lama dari
Pesindo memihak Soekarno-Hatta. Ini mengakibatkan pecahnya Front
Persatuan.
Sementara itu TKR diganti menjadi TRI (Tentara Republik
Indonesia). Perpecahan di berbagai badan perjuangan di pusat
kemudian menyebar ke daerah dan cabang. Persaingan keras muncul
antara BPRI dan Pesindo di suatu pihak, dengan Barisan Banteng
dan Lasjkar Rakjat di pihak lain.
Peristiwa Cirebon merupakan puncak permusuhan. Antara 8-10
Februari 1946, Mohamad Jusuf menyelenggarakan kongres Front
Persatuan di Cirebon tanpa mengundang badan-badan perjuangan dan
pemuda yang mendukung pemerintah Soekarno-Hatta. Sekitar 200
anggota pasukan Lasjkar Merah hadir. Tatkala Mohamad Jusuf
memerintahkan agar bendera nasional diturunkan, TRI bertindak
dan pertempuran terjadi. Baru pada 14 Februari, dengan datangnya
bala bantuan, TRI berhasil merebut kembali Cirebon.
Pertikaian antara kelompok Tan Malaka dan kelompok PKI belum
berakhir. Yang satu tergabung dalam Gerakan Rakjat Revolusi
sedang yang lain dalam Front Demokrasi Rakjat. Dalam Peristiwa
Madiun FDR berusaha merebut kekuasaan dengan senjata.
Bentrokan akibat pertikaian antara kekuatan pemerintah terutama
TRI dengan organisasi-organisasi kiri antara lain Lasjkar Rakjat
terjadi di banyak tempat. Di timur Jakarta, pengikut-pengikut
Tan .\alaka menyusupi banyak badan perjuangan, khususnya
Lasjkar Rakjat Djakarta Raja. Salah satu tokoh organisasi ini
adalah Soetan Akbar yang pernah behelapa kali ditahan oleh TRI.
Memimpin Lasjkar Rakjat, ia menyerang TRI pada Maret 1947
tatkala ia menentang perundingan Indonesia-Belanda. Setelah
kalah, ia bergabung dengan TNI namun secara diam-diam membentuk
pasukan Bamboe Roentjing di Jawa Barat. Dia juga terlibat
dalam perdagangan senjata yang menguntungkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini